Oleh Moh.Ghufron Cholid
PEMBUKAAN
Puisi selalumenjadi hal yang menarik untuk dikaji dan ditelisik. Puisi
selalu menjadisahabat terdekat dalam meraungkan risalah hati. Mengapa
harus puisi yangditulis untuk mengabadikan harapan, pandangan,
pengalaman dan semacamnya,barangkali karena puisi bisa menyapa tiap sisi
kehidupan.
Berbicarapuisi, saya pun terkenang dengan Hamid
Jabbar, penyair yang menghembuskan nafasterakhir di atas panggung,
kesetiaannya pada puisi hingga setianya hidupmenutup mata. Paling tidak,
Hamid Jabbar menjadi salah satu contoh dari beragamcontoh betapa puisi
sangat memikat mata hati.
Kita tinggalkansejenak cerita tentang
penyair legendaris Hamid Jabbar, lalu kita memasukisebuah rumah karya
yang bernama Dua Koma Tujuh, sebuah rumah puisi yangdiperkenalkan oleh
Mas Imron Tohari di sebuah jejaring social bernama FB.
Group
yangsangat menarik, yang paling sering melahirkan puisi, puisi telah
menjadirumput-rumput yang semakin rimbun, menjadi pohon-pohon yang
semakin rindangdaunannya. Banyak bertebaran puisi, yang ditebarkan oleh
penghuni rumah ini. Beragam pandangandipaparkan, beragam harapan
disajikan yang kesemuanya hanya ingin menunjukkanbetapa puisi sangat
tumbuh subur dan sangat diminati.
Saya pun sangat
betahberkunjung dan berlama-lama singgah di rumah bernama Dua Koma Tujuh
yang diperkenalkan oleh Mas Imron Tohari dan dirawatnya rumah tersebut
bersamarekan-rekannya dengan penuh semangat karya dan semangat
kekeluargaan.
Mengenai lebih detail pengenalan rumah puisi Dua
Koma Tujuh bisa dibaca langsung di dokumengroup. Namun saya tak hanya
ingin berbicara tentang rumah tersebut, saya jugaingin membahas beberapa
puisi yang selaksa bunga rekah yang bermekaran dipekarangan rumah.
Saya pun berniat membahas beberapa puisi bertema rindu yang ditulis oleh
beberapapenyair yang menghuni rumah Dua Koma Tujuh, mengapa harus
mengambil tema yangsama dan judul yang sama? Barangkali karena kesamaan
adalah suatu hal yangsunnatullah, namun seberapa besar penyair
menyajikan tema dan judul yangpastinya akan berbeda cara penyajiannya.
Menulis puisi bisa diibaratkan memasak.Bumbu boleh sama, menu masakan
boleh sama namun lain yangmemasak, lain pula rasa yang akan diterima
oleh penikmatnya. 1. Rindu karya Fahmi Mcsalem 2. Rindu karya Yusti
Aprilina 3. Rindu karya Dian Ambarwati.
MEMASUKI PEMBAHASAN
Penyair Rindu,ya bagaimana kalau penyair dilanda rindu apa yang akan
dilakukannya? Berdiam diriataukah akan ditulis kisahnya dalam puisi. Hal
ini yang ingin saya ketahui,oleh sebab itu, saya mengumpulkan puisi
rindu yang ditulis oleh ketiga penyair.
Tema dan judulboleh sama,
lalu apakah diksi yang disajikan akan sama, untuk mengetahuinya, takada
salahnya kalau kita membaca puisi rindu berikut ini;
RINDU
Menggelegar magma di relung batin
Wajahmu tumpah
2013
Fahmi Mcsalem, mewakilkan segenap perasaan rindunya dalam puisi yang
hanyatersaji dalam dua larik pada satu bait puisinya. Ia mengerahkan
segala pikiran,tenaga dan segala upaya, agar rindu yang begitu magma tak
hanya dirasakannyaseorang diri.
Pada baris pertama ia menulis,
Menggelegar magma di relung batin,betapa rindu yang menggelegar seperti
magma di relung batinnya. Betaparindu, telah mengusik ketenangannya.
Betapa rindu sangat bertahta dalamhidupnya.
Ia menambahkan daya
pada katanyadengan menambahkan imbuhan me-ng, kata-kata bertenaga yang
diharapkanmampu memberikan kesan, bahwa rindu yang mendera tak sekedar
main-main. Bahwa rinduyang menyapa mampu menimbulkan goncangan yang
begitu dahsyat bagi batinpenyair.
Menggelegar magma di relung
batinyang ditulis pada baris pertama adalah pemilihan diksi untuk
menimbulkan dayarenung, agar kita sebagai pembaca bisa ikut dalam rindu
yang dialamipenyairnya. Penyair sengaja tak melanjutkan perasaan yang ia
alami, agar kitaselaku pembaca bisa menebak-nebak, apakah yang akan
terjadi saat rindu menjadigelegar magma di relung batin.
Setelah
kita puas, menebak-nebakkelanjutan diksinya berdasarkan versi kita
selaku pembaca atau penikmat, makasecara tegas, penyair melanjutkan
magma rindu dalam relung batinnya, ia punmenulis Wajahmu tumpah.
Jika mengacu pada ‘mu’ maka kitaselaku pembaca bisa menduga bahwa yang
dimaksud ‘mu’ dalam puisi ini adalah seseorangyang sangat berarti dalam
hidupnya. Bisa ibu, bisa ayah, bisa kakak, bisa adik,bisa guru atau pun
kekasih.
Hal ini menjadi semakin jelas, setelah membaca kata‘tumpah’. Yang bisa ditatap dengan jelashanyalah orang-orang terdekat yang masih
makhluk ciptaan, karena tidak mungkinciptaan bisa melihat wajah
pencipta.
Karena wajah pencipta takkan pernah mampudiindra oleh
pencipta. Kalau pun mau dipaksakan bisa diindra, hanya seolah-olahbisa
disaksikan seperti konsep ihsan yang ada dalam hadits Arba’ien Nawawi. Rindu yang dialami penyair dalampuisi ini bisa dinamakan rindu yang
bersifat duniawi yakni rindu pada segalahal ciptaan Tuhan yang begitu
memikat batinnya.
Rindu yang dialami penyair dalampuisi ini, masih
belum tegas, apakah kerinduan yang dialami menimbulkan rasakecewa. Ia
hanya menyajikan dengan datar, wajahmu tumpah, tak kesan kesedihandan
kebahagiaan yang ingin ia tampakkan dengan begitu menonjol, hanya
sebatasmengabarkan, bahwa wajahnya masih lekat dalam ingatan.
Marilah kita berpindah pada rinduyang disajikan oleh Yusti Aprilina, saya kutippuisinya secara utuh;
RINDU
bertengger di ranting ingatan
terjatuh melukai sukma
2013
Yusti Aprilina menghadirkan puisinya dalam satubait berpola dua koma
tujuh , lalu kita kaji bagaimana seorang Yusti Aprilina memaknai rindu
yang menyapajiwanya. Pada baris pertama ia menulis, bertengger di
ranting ingatan, apa yangbertengger? Bukankah yang biasa bertengger
adalah burung.
Dalam puisi,kita mengenal diksi (pilihan kata), di
sinilah kepekaan penyair dipertaruhkan. Iabegitu piawai mengawinkan
bertengger dengan ranting ingatan, karena yangdimaksud bertengger dalam
puisi ini bukan burung melainkan rindu maka rantingingatan bisa kita
maknai kenangan masa lalu yang masih lekat dalam ingatan.
Jika
kita teruskan mengkaji puisi ini pada baris kedua maka akan kita temukan
betapategas penyair memandang rindu, di baris kedua ia tulis¸ terjatuh
melukaisukma.
Rindu memangserupa mata pisau, bisa bermanfaat
namun bisa juga sangat membahayakan jiwabila salah memakainya. Begitu
pula rindu yang dialami oleh penyair, betaparindu sangat pekat. Tak ada
yang ia temukan dalam rindu. Rindu hanya memberinyaluka. Rindu hanya
memberinya pengalaman pahit.
Penyair inginberbagi rasa pada
kita, betapa manusia juga memiliki sisi yang sangat rapuhbila berhadapan
dengan rindu. Betapa ketegaran manusia begitu jelas teruji saatia
berpapasan dengan yang namanya rindu.
Rindu dalampuisi ini bisa
dimaknai pengalaman pahit. Pengalaman yang sangat mengiris hati.Mengapa
harus dinamai rindu, bukankah rindu itu sangat indah. Bukankah
rinduselalu membuat orang bahagia, karena ada moment indah yang tak
ingin dihapuswaktu.
Tapi apapun itu, penyair telah mengambil
keputusan dan telah memaknairindu dalam puisinya maka kita sebagai
pembaca harus bijak menyikapinya, karenatiap orang memiliki
pandangan-pandangan yang tak mungkin sama, kalau pun adakesamaan pasti
ada yang membedakanseperti puisi-puisi yang disajikan oleh para
penyair, tema dan judul sama namundiksinya berbeda.
Lalu bagaimanaseorang Dian Ambarwati memaknai rindu dalam puisinya, marilah kita simak pandangannya,
RINDU
Tak terasa menggantung air mata
Padamu: putriku
PC, 11072013
Rindu bisa ditujukan pada siapasaja, Tuhan ataupun orang-orang terdekat
kita, namun Dian Ambarwati menjatuhkanpilihan rindu pada putrinya. Mengapa rindu ia tujukan padaputrinya? Barangkali karena ia seorang ibu.
Seorang yang penuh cinta, yangtelah mengizinkan janin bertapa dalam
rahimnya selama Sembilan bulan lamanya. Seorangyang telah berjuang
mati-matian untuk mengantarkan buah hatinya untuk pertamakalinya menatap
dunia (baca betapa sakitnya melahirkan). Karena buah hati adalah
pelitabagi keluarga yang dilanda gulita. Karena buah hati perekat bagi
keluarga yang hamperretak. Karena buah hati adalah sosok yang paling
dekat dengan ibu.
Pada bait pertama ia menulis Tak terasa
menggantung air mata , betapa kerinduan begitu dekat dan begitubertahta
di hati seorang ibu kepada buah hatinya. Betapa cinta seorang
ibumelebihi apa pun yang berharga di dunia ini.
Betapa keinginan seorang ibu,menatap buah hatinya bahagia, adalah hal yang paling diminati.
Betapa kecemasan seorang ibu saatberpisah dengan putrinya adalah
kecemasan yang tak bisa ditemukan lawantandingnya maka ketika rindu
begitu anggun mendera tak terasa airmata jatuh.
Di baris kedua ia
menulis,Padamu: putriku. Kecintaan ibu pada putrinya adalah kecintaan
ibu yang melebihinyawanya. Betapa daun-daun usia seorang ibu gugur akan
tak terasa saatmenyaksikan anaknya bahagia.
Betapa perpisahan
seorang ibudengan putri kesayangannya adalah perpisahan yang penuh
airmata, Perpisahan yangtak henti meminta ketabahan, maka kerinduan pada
kenangan masa lalu, saat-saatkebersamaan masih menyapa adalah surga
yang tak bisa dilupakan.
PENUTUP
Betapa menariknya membaca
puisi,mengetahui wajah rindu yang ditulis para penyair dalam puisinya.
Betapa tiap penyair memiliki diksi yang berbeda dalammenyampaikan rindu.
Betapa kesamaan tema dan judul, tak membuat penyairmemiliki diksi yang
sama persis karena setiap penyair memiliki rasa yangberbeda yang kelak
menunjukkan ciri khasnya.
Betapa rinduserupa dua mata pisau yang
kadang membuat kita bahagia, kadang pula membuatkita terluka. Betapa
dengan rindu, ketegaran dan kerapuhan seseorang begitujelas terasa.
Betapa rinduseorang ibu pada buah hati adalah rindu yang bertabur airmata. Rindu yangselalu meminta ketabahan. Betapa seorang ibu, tidak
bisa dipisahkan dengan buahhati karena perpisahan bermakna airmata.
Betapa kita (sebagaipembaca)dituntut lebih arif dan bijaksana dalam
menafsirkan rindu yang dialamioleh pengkarya sebab pengkarya juga
manusia yang memiliki kerapuhan dalammemaknai rindu. Maka tak salah jika
ada pepatah manusia tempat salah danlupa.
Namun darisinilah
kita dituntut untuk lebih bijaksana dalam menempatkan rindu,
sehinggarindu tak hanya memberikan airmata melainkan juga memberikan
kebahagiaan.
Kamar Cinta, 23 Juli 2013/14 Ramadhan 1434 H
Daftar Pustaka
http://www.opoae.com/2013/04/betapa-sakitnya-proses-melahirkan-bayi.html http://bahasa.kompasiana.com/2010/10/09/diksi-diksi-dalam-puisi-284254.html