KETAM LADAM RUMAH INGATAN: MENGGALI MADURA, MENGGALI PESANTREN.
Pengantar Jamal D. Rahman
…
aku ombak
Berdebur
Memanjang
Mencari diam
yang hilang
di dalam engkau.
(Muhammad Ali Fakih, “Di Laut Musik”, dimuat dalam buku ini).
Dalam kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, Madura adalah taman subur
bagi puisi Indonesia. Bunga-bunga puisi tumbuh dan mekar dari pulau
kecil ini dalam jumlah relatif tinggi, menghiasi berbagai media massa di
berbagai daerah Indonesia, baik cetak maupun online. Banyak juga puisi
dimuat dalam beberapa bunga rampai yang terbit di luar Madura untuk
beberapa dalam rangka. Tumbuh pula sejumlah sanggar dan komunitas
sastra, yang tentu saja menyediakan likungan kondusif bagi gairah
kehidupan puisi dan sastra pada umumnya. Terbangun juga jaringan antara
beberapa komunitas sastra di Madura dengan komunitas-komunitas sastra di
Jawa, Sumatera, dan lain sebagainya. Beberapa penyair asal pulau ini
menerbitkan buku puisi, meluncurkannya di berbagai kota, menghadiri
forum-forum sastra baik di dalam maupun di luar negeri, dan lain
sebagainya. Beberapa karya mereka mendapatkan perhatian dan dibicarakan
oleh kritikus sastra. Secara berlebihan dapat dikatakan bahwa dalam satu
dekade terakhir terjadi ledakan puisi Indonesia di Madura.
Seiring dengan gairah kehidupan puisi (dan sastra pada umumnya) itu,
yang tak kalah menarik adalah bahwa para penyair Madura yang muncul
dalam dekade terakhir tampak benar-benar bergulat dalam puisi: mencari
tema, bentuk, corak, dan gaya bahasa khas masing-masing. Sebagiannya
melakukan percobaan-percobaan menantang dan berani. Hasilnya adalah
corak puisi yang relatif beragam di antara generasi ini. Sudah tentu
keragaman corak itu telah memperkaya corak umum puisi penyair-penyair
Madura, sekaligus menandai perbedaan penyair Madura generasi ini dengan
penyair Madura generasi sebelumnya. Lebih dari itu, keragaman corak itu
bukan saja punya arti penting bagi puisi dari penyair-penyair Madura
sendiri, melainkan juga bagi puisi Indonesia secara umum.
Perbedaan corak puisi yang cukup mencolok terlihat misalnya pada M Fauzi
dan Faidi Rizal Alif, dua penyair yang dari segi usia sedikit lebih
senior dibanding beberapa penyair dalam antologi puisi Ketam Ladam Rumah
Ingatan ini. Fauzi mengeksplorasi gaya dan tenaga bahasa hampir-hampir
dengan kebebasan penuh: menciptakan bunyi, memainkan kata-kata Madura
dan Arab atau Al-Quran (yang kadang-kadang terasa sebagai mantra),
membangun suasana magis, memainkan tanda baca, dan mengeksplorasi
tipografi. Penyair yang kini dosen STKIP PGRI Sumenep ini sudah cukup
lama menemukan gaya puisinya, dan terus mengembangkannya hingga
sekarang. Salah satu puisi M Fauzi (Horison, Desember 2015):
7.23 SEHABIS MENUNGGUMU
7.23 aku menunggumu, sayang. tangis anakku sehabis bunda mengerang-mengedan. antara sakit dan bahagia.
7.23 istriku, di rumah sakit ini, aku teteskan air mata saat kau merasa
sakit tak kepalang. wahnan ala wahnin. wahnan ala wahnin. wahnan ala
wahnin. dadaku sesak seperti ada besi berkarat di tenggorokanku. sesak
yang entah. luka yang entah. bahagia yang entah. bingung yang entah. aku
diserbu rasa takut yang mengabut di runcing kuku dan waktu.
istriku, penantian ini hanyalah tuhan yang tahu. doa apa yang tak kubaca
saat kau miring ke kanan ke kiri. sakitmu, sayang, aku tak mampu
membaca, seperti warna kematian jadi bayang di atas awan pikirku.
7.23 istri dan anakku. 7 juni 2014 istri dan anakku, dokter, perawat,
bidan, ibu, mbak indri, dinding warna krem, dan infus yang ngukus. kau
pun mengedan dalam sandaran. tangis itu, sayangku, mengalahkan amuk deru
dan mesiu.
7.23 anakku, kau buka mata, dan dunia lebih dingin dari tangismu. lebih gelap dari kulitmu. lebih kejam dari waktu.
7.23 sayang, genap sudah. Tuhan!
Sampang, 7 Juni 2014.
Sementara itu, Faidi Rizal Alif pada mulanya menulis puisi sebagaimana
umumnya puisi Indonesia modern, yakni puisi bebas dan puisi prosais.
Belakangan, dia mulai menulis bentuk puisi yang mengacu pada bentuk
puisi tradisional Arab dengan metrum (bahr/`arûdh) dan rima akhir
(qâfiyah) yang ketat dan teratur. Tidaklah mengherankan kalau Faidi
Rizal mengambil bentuk puisi tradisional Arab, sebab dia pernah belajar
di pesantren di mana teori sastra Arab (ilmu balâghah) diajarkan dan
puisi tradisional Arab cukup dikenal. Penting dikemukakan bahwa koneksi
antara puisi Indonesia modern dengan ilmu balâghah ini merupakan
fenomena baru di Madura, yang nanti akan disinggung sekilas lagi. Salah
satu puisi Faidi Rizal Alif (Horison, September 2015):
MATA CANGKUL
Kucangkul saja hatimu yang gersang. Setelah tak ada lagi hujan datang
Sampai keringatku mengucur perlahan. Menyusup ke dalam ‘lah-celah harapan
Lalu kutanam ‘ji-biji doa segar. Yang sengaja kupilih agar tak liar
Sampai hatimu yang semak tidak lagi. Seperti hutan rimbun tanpa nurani
Setelahnya kubasuh cangkulku ini. Dengan air matamu menetes sunyi
Sebab masih ada yang belum selesai. Dan perlu kucangkul lagi sampai usai
Sampai hatimu benar-benar subur. Dan doaku tumbuh semakin segar
Nanti kita akan menikmati buah. Buah matang di balik resah gelisah
Bandungan, 2015.
Sebagaimana telah dikatakan, puisi Faidi Rizal Alif di atas mengadopsi
bentuk puisi tradisional Arab. Setiap barisnya terdiri dari dua bagian,
bagian pertama dan bagian kedua, yang masing-masingnya berima akhir
(qâfiyah). Setiap bagiannya menggunakan metrum (bahr/`arûdh) secara sama
dan teratur, masing-masing terdiri dari 11-12 suku kata. Dalam puisi
tradisional Arab, metrum (bahr/`arûdh) beragam: pendek, sedang, dan
panjang. Faidi Rizal mengambil bentuk metrum sedang. Hanya saja, karena
persoalan teknis, tipografinya tidak bisa menyerupai tipografi puisi
tradisional Arab. Dalam puisi tradisional Arab, bagian pertama tersusun
bersama bagian pertama berikutnya (di bawahnya) dengan komposisi rata
kiri dan kanan, sehingga membentuk satu pilar; demikian juga bagian
kedua tersusun bersama bagian kedua berikutnya (di bawahnya) dengan
komposisi rata kiri dan kanan juga, sehingga membentuk satu pilar lagi.
Maka, puisi itu secara tipografis membentuk dua buah pilar. Itu
sebabnya, puisi tradisional Arab disebut berpilar (`amûdȋ).
Tentang sejauhmana percobaan para penyair Madura ini berhasil, tentu
perlu pembicaraan tersendiri. Poin saya di sini adalah bahwa usaha
penyair-penyair Madura dalam pergulatan mereka menciptakan puisi paling
tidak telah membuahkan suatu hasil, yakni corak puisi yang secara cukup
mencolok beragam, corak yang berbeda antara satu penyair dengan penyair
lainnya. Corak yang, sekali lagi, sedikit-banyak membedakan generasi ini
dengan generasi sebelumnya. Memang, puisi setiap penyair pada dasarnya
berbeda satu sama lain, terutama menyangkut tema, detail, dan intensitas
puisi masing-masing penyair. Tetapi tanpa perbedaan yang mencolok
antara satu penyair dengan penyair lain, bentuk atau corak puisi seakan
berhenti. Penemuan tema dan bentuk baru puisi bagaimanapun merupakan
tantangan kreatif penyair, dan percobaan adalah salah satu cara untuk
mencapainya. Itu sebabnya, percobaan yang intens dan menjanjikan patut
diapresiasi.
Maraknya kehidupan puisi (dan sastra pada umumnya)
di Madura khususnya dalam satu dekade terakhir telah melahirkan cukup
banyak penyair dengan corak puisi yang relatif beragam: M Faizi, Mahwi
Air Tawar, Timur Budi Raja, Ali Ibnu Anwar, Harkoni Madura, Fendi
Kachonk, Benazir Nafilah, dan banyak lagi. Ditambah lagi dengan produksi
cerpen dan novel dari sastrawan-sastrawan Madura, yang juga muncul
dalam dekade terakhir, antara lain Joe Mawardy, Nun Urnoto, dan Vita
Agustina. Ini merupakan babak baru sejarah perkembangan puisi dan sastra
Indonesia di Madura. Belum pernah terjadi sebelumnya kehidupan sastra
Indonesia di Madura sedemikian maraknya seperti dalam satu dekade
terakhir, yang dibarengi dengan produksi karya sastra yang relatif
tinggi. Sudah tentu ini merupakan salah satu fenomena penting sastra
Indonesia, yang dalam hal produksi karya sastra memang begitu bergairah
di mana-mana, tersebar di berbagai daerah Indonesia. Madura kini
merupakan satu daerah sastra Indonesia yang layak mendapat perhatian
sebagai satu eksemplar fenomena dan perkembangan sastra Indonesia
mutakhir.
Sebagaimana halnya Madura, banyak daerah memiliki
kehidupan dan perkembangan sastra Indonesianya sendiri, seperti Jakarta,
Yogyakarta, Bandung, Riau, Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan, Aceh,
Kupang, Tasikmalaya, Tegal, dan lain-lain. Saya menyebutnya sastra
kawasan, yakni fenomena kehidupan dan perkembangan sastra Indonesia di
suatu kawasan atau daerah. Fenomena sastra kawasan itu ditandai dengan
produksi dan publikasi karya sastra, forum sastra, kritik sastra,
leksikon sastra, dan penghargaan untuk tokoh yang memberikan kontribusi
penting di bidang sastra di kawasan atau daerah itu sendiri. Menyebarnya
produksi dan gairah kehidupan sastra Indonesia di berbagai daerah ini
tidak bisa tidak menuntut akademisi, kritikus, pengamat, dan peneliti
sastra untuk mengarahkan perhatian khusus pada sastra kawasan, antara
lain di Madura, yang bukan tak mungkin menyajikan corak lokal dan khas
mereka masing-masing.
Dari Perubahan Dramatis Pesantren
Apa yang memungkinkan Madura menjadi taman subur bagi puisi Indonesia?
Sudah tentu ada banyak faktor atau variabel, dan penelitian yang seksama
tentang itu perlu dilakukan. Tapi dari data sekadarnya saja dari buku
ini, kita akan mendapatkan jawaban cukup menarik, yaitu bahwa maraknya
fenomena sastra Indonesia di Madura berkaitan dengan konteks makro
tuntutan modernisasi pendidikan Islam.
Buku ini memuat puisi
karya 41 penyair, yang diseleksi oleh kurator dari 131 penyair kelahiran
Madura yang mengirimkan karya masing-masing kepada penyelenggara.
Kurator adalah Syaf Anton Wr dan M Faizi, dua penyair yang tekun membina
komunitas-komunitas sastra di Madura. Di antara ketentuan teknis
penyelenggara adalah usia penyair maksimal 30 tahun. Itu berarti, para
penyair dalam buku ini merupakan generasi penyair Madura terkini,
katakanlah generasi yang memulai karir kepenyairan mereka sekitar
sepuluh tahun terakhir. Kiranya para penyair dalam buku ini masih akan
berkembang, barangkali dengan eksplorasi, percobaan, dan intensitas yang
lebih dalam. Demikianlah kita berharap.
Tapi dalam kerangka
pertanyaan di atas, yang penting adalah hal berikut: dari 41 penyair
ini, 38 orang berlatar belakang pendidikan pesantren dalam pengertian
formal atau tradisional. Hanya 3 penyair berlatar belakang pendidikan
non-pesantren (Royyan Julian, Sule Subaweh, dan Lukman Hakim AG). Angka
ini mengkonfirmasi asumsi umum tentang besarnya peranan pesantren dalam
kehidupan masyarakat Madura secara umum.
Apa yang dapat kita
katakan tentang data tersebut? Tanpa bermaksud mengecilkan peran
pendidikan non-pesantren, tak diragukan lagi bahwa pesantren-pesantren
di Madura telah menyediakan lingkungan gembur yang memungkinkan puisi
tumbuh dengan subur. Dalam 30 tahun terakhir, di berbagai pesantren
sanggar sastra bermunculan, kegiatan-kegiatan sastra (dan seni)
digalakkan, dan sejumlah publikasi sastra diterbitkan. Di sinilah
bibit-bibit sastra khususnya puisi mula-mula disemai di pesantren. Dan
demikianlah kehidupan sastra di pesantren kemudian begitu marak. Banyak
penyair Madura memulai karir kepenyairannya dari pesantren.
Dilihat dari corak tradisional pesantren sebagai lembaga pendidikan dan
keagamaan khususnya di Madura, fenomena ini sebenarnya agak mengejutkan.
Puisi dan sastra Indonesia modern bagaimanapun relatif baru di dunia
pesantren. Bagaimanapun, secara tradisional pesantren adalah lembaga
pendidikan ilmu-ilmu agama (Islam), dimana ilmu-ilmu agama (Islam)
seringkali dibedakan secara diametral dengan ilmu-ilmu umum (“sekuler”).
Dan, bukankah puisi dan sastra Indonesia tidak termasuk kategori ilmu
agama (Islam)?
Dalam konteks ini kita perlu menelusuri bagaimana
puisi Indonesia masuk ke pesantren, khususnya di Madura. Dan di sini
kita masuk ke situasi makro yang dihadapi pesantren sebagai lembaga
pendidikan tradisional Islam di Indonesia. Situasi makro itu dimulai
setidaknya di awal abad ke-20, yaitu dengan munculnya gerakan
modernisasi (pembaruan) Islam Indonesia. Seiring dengan gerakan
modernisasi Islam yang cukup agresif pada masa itu, muncul pula
kebutuhan atau bahkan tuntutan modernisasi pendidikan Islam. Maka
muncullah dua model lembaga pendidikan Islam, yaitu sekolah Belanda yang
diberi muatan pelajaran Islam, dan sekolah Islam yang dalam batas
tertentu mengadopsi model pendidikan Belanda, yakni menggunakan sistem
klasikal, kurikulum yang terencana, dan memasukkan mata pelajaran umum
(“sekuler”). Tentu saja lembaga pendidikan modern Islam ini dimulai oleh
kalangan Islam modernis.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional,
pesantren harus merespon tuntutan tersebut. Meskipun komunitas
pesantren tidak setuju dengan agenda-agenda keagamaan kaum modernis,
misalnya dalam menyikapi bid’ah dan khurafat, bagaimanapun pesantren
harus “menyesuaikan diri” dengan perkembangan dan tuntutan-tuntutan
baru. Tetapi, proses “penyesuaian diri” pesantren ini berlangsung alot.
Pesantren cenderung sangat hati-hati dalam memodernisasi sistem
pendidikan mereka, yang dalam arti tertentu merefleksikan ketegangan
atau bahkan resistensi kalangan Islam tradisional terhadap kalangan
Islam modernis. Mereka tidak dengan serta-merta mentransformasi diri
menjadi lembaga pendidikan modern. Alih-alih, mereka mempertahankan
tradisionalisme mereka dengan hanya mengadopsi segi-segi tertentu secara
sangat terbatas dari pendidikan modern, di antaranya dengan memasukkan
keterampilan, khususnya di bidang pertanian.
Di tengah kuatnya
desakan modernisasi pendidikan, baik dari masyarakat maupun pemerintah,
dari zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan, bagaimanapun pesantren
menunjukkan kemampuannya dalam bertahan dengan tetap menjaga
tradisionalisme mereka. Dalam konteks ini, pesantren tanpa ragu-ragu
menjaga tradisionalisme pendidikan mereka dengan gigih, tetapi juga
dengan daya lentur yang lambat-laun kian akomodatif. Terutama sejak
zaman kemerdekaan dan seterusnya, dengan terus menjaga tradisionalisme
mereka, pesantren kian terbuka dalam mengadopsi segi-segi modern dalam
pendidikan. Dengan cara itulah pesantren tetap bertahan dan bahkan
berkembang. Ini berbeda dengan lembaga pendidikan tradisional Islam di
beberapa negara Muslim. Di negara-negara Muslim, misalnya di Turki,
banyak lembaga pendidikan tradisional Islam mengalami kemunduran atau
bahkan tutup sama sekali akibat kegagalan mereka memenuhi tuntutan
modernisasi pendidikan, di samping karena desakan sosial dan politik
yang kompleks.
Di masa-masa selanjutnya, pesantren kian
akomodatif terhadap modernisme pendidikan. Mereka memang terus merawat
segi-segi tradisional yang dipandang perlu terus dirawat sebagai tradisi
yang baik, namun mereka kian intensif dan ekstensif mengakomodasi
hal-hal baru yang dipandangnya relevan dengan tuntutan aktual dunia
pendidikan. Kaidah al-muhâfadhatu `ala ‘l-qadȋm-i ‘s-shâlih wa ‘l-akhdzu
bi ‘l-jadȋd-i ‘l-ashlah (merawat tradisi lama yang baik dan mengambil
hal baru yang lebih baik) diterapkan pada berbagai bidang kehidupan
secara luas. Demikianlah misalnya pesantren mempertahankan sistem
sorogan, pada saat sama mereka menerapkan sistem klasikal. Demikianlah
misalnya lagi pesantren menjaga sistemnya yang mandiri dan otonom, pada
saat yang sama mereka mengakomodasi sistem pendidikan nasional. Dalam
arti itu pesantren memiliki daya lentur, daya adaptif, daya adoptif, dan
daya akomodatif.
Dengan cara itu pula, inovasi-inovasi baru di
pesantren berkembang. Mereka tak hanya melayani pendidikan dengan sistem
yang terus diperbaharui, melainkan juga melakukan inovasi di bidang
pembangunan pertanian, pengembangan sektor-sektor ekonomi, dan lain
sebagainya. Dengan cara itu pulalah pesantren sebagai lembaga pendidikan
tradisional bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga berkembang dan
tetap relevan dengan tuntutan masyarakat modern ―dan di sini Sutan
Takdir Alisjahbana, yang dalam Polemik Kebudayaan memandang pesantren
sebagai masa lalu yang ketinggalan zaman dan karenanya harus
ditinggalkan, keliru.
Kemampuan pesantren beradaptasi dengan
tuntutan modernisasi pendidikan Islam dan mengadopsi sistem pendidikan
modern ini berimplikasi pada terjadinya perubahan-perubahan cukup
dramatis di tubuh pesantren. Kurikulikum direvisi secara radikal, dengan
memasukkan ilmu-ilmu umum (“sekuler”) sebagai bagian integral dari
kurikulum tradisional. Jurusan-jurusan umum dibuka bahkan sampai
perguruan tinggi. Kategori ilmu agama dan ilmu umum (“sekuler”) pun kian
cair dan tak lagi normatif. Sistem klasikal diterapkan secara lebih
luas, dari tingkat paling bawah sampai perguruan tinggi. Dengan tetap
mempertahankan sarung dan peci sebagai pakaian tradisional pesantren,
celana dan sepatu serta dasi dan jas mulai digunakan sebagai pakaian sah
pesantren. Perubahan-perubahan cukup dramatis ini hampir secara
keseluruhan mengubah wajah pesantren tanpa kehilangan tradisionalisme
mereka.
Dalam pada itu, seiring dengan mobilitas sosial-ekonomi
umat Islam terutama dengan lahirnya kelas menengah Muslim ―apa pun
definisi kita tentang itu― di banyak daerah, pesantren menyediakan
sistem pendidikan untuk melayani kebutuhan pendidikan anak-anak kelas
menengah Muslim ini. Kelas menengah Muslim ini memiliki gairah keislaman
yang tinggi, namun tidak melulu berorientasi pada ilmu-ilmu Islam,
melainkan pada berbagai disiplin ilmu yang kelak akan memberikan peluang
sosial lebih luas. Sudah pasti mereka berorientasi pada sistem
pendidikan modern, dengan fasilitas pendidikan yang lebih memadai dan
wawasan yang lebih terbuka. Dalam konteks itu, pesantren secara kreatif
mengakomodasi tuntutan-tuntutan baru pendidikan anak-anak kelas menengah
Muslim. Ini adalah contoh kasus lain di mana pesantren mengakomodasi
tuntutan modernisasi pendidikan Islam.
Apa yang penting dari
perubahan cukup dramatis di dunia pesantren itu adalah bahwa dengan
kelenturan dan kemampuan mereka beradaptasi dengan tuntutan modernisasi
pendidikan, pesantren telah membuka diri terhadap dunia luar. Setelah
terbukti berhasil menjaga tradisionalisme mereka di satu sisi, dan kian
menyadari bahwa modernisasi pendidikan tak mungkin dielakkan di lain
sisi, pesantren selanjutnya membuka diri lebar-lebar. Demikianlah maka
pesantren telah membuka jalan bagi masuknya hal-hal baru dari luar:
olahraga, kesenian, keterampilan, dan lain-lain, termasuklah sastra
Indonesia modern terutama melalui pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
sebagai mata pelajaran umum. Dari sinilah puisi dan sastra Indonesia
mulai hidup dan tumbuh di pesantren.
Memang, di pesantren secara
tradisional diajarkan ilmu sastra Arab, yakni ilmu balâghah, dari
tingkat yang sederhana hingga tingkat yang cukup tinggi. Tetapi, ilmu
balâghah tampaknya tidak membuka jalan bagi masuknya sastra Indonesia ke
pesantren. Puisi yang lahir dan tumbuh di pesantren pada mulanya adalah
puisi Indonesia modern. Ia tidak mengacu pada puisi Arab tradisional
sebagaimana diajarkan dalam ilmu balâghah. Dan, meskipun ilmu balâghah
sudah diajarkan jauh sebelum sastra Indonesia masuk ke pesantren,
bagaimanapun sastra Indonesia relatif terlambat masuk dan berkembang di
pesantren itu sendiri. Bahkan hingga perkembangannya kemudian ketika
sastra Indonesia sudah masuk ke pesantren, dapat dikatakan bahwa sastra
Arab dan ilmu balâghah masih tetap teralienasi dari kehidupan sastra
Indonesia di pesantren, atau sebaliknya sastra Indonesia di pesantren
teralienasi dari ilmu balâghah.
Hal itu bisa difahami, karena
tujuan diajarkannya ilmu balâghah adalah memberikan wawasan dan
peralatan kepada santri untuk memahami dengan lebih baik ilmu-ilmu Islam
dan sumber ajarannya, Al-Qur’an dan Hadis. Kiranya bisa difahami pula
kalau di awal pertumbuhan puisi dan sastra Indonesia di pesantren, ilmu
balâghahtidak turut menyuburkan maraknya kehidupan puisi dan sastra
Indonesia di pesantren itu sendiri. Bahkan sampai sekarang, secara umum
ilmu balâghah dan sastra Indonesia di pesantren masih teralienasi satu
sama lain.
Khususnya dalam 30 tahun terakhir, pesantren di Madura
tumbuh dalam dinamika dan ketegangan situasi makro tersebut. Tidak
mengherankan kalau sastra Indonesia pun relatif terlambat masuk ke
pesantren di Madura. Tetapi, pesantren di Madura secara kreatif dan
intensif segera mengakselerasi dinamika kehidupan sastra Indonesia ―yang
baru masuk itu― di dalam dirinya. Mereka melipatgandakan
kegiatan-kegiatan sastra, mengintensifkan komunikasi dengan
komunitas-komunitas sastra, mengikuti forum-forum sastra di luar
pesantren, menambah buku-buku sastra untuk perpustakaan, menyemarakkan
publikasi karya sastra, dan lain sebagainya. Maka, dibanding jenis-jenis
seni modern lain, sastra Indonesia tampaknya merupakan jenis seni
modern yang paling hidup di pesantren-pesantren di Madura hingga
sekarang.
Tentu saja, fenomena lahirnya puisi Indonesia dari
lingkungan pesantren di Madura hanyalah fenomena mikro dari fenomena
lahirnya sastra Indonesia modern dari lingkungan pesantren yang lebih
luas, baik secara diakronik maupun sinkronik. Sastrawan-sastrawan
Indonesia berlatar belakang pendidikan pesantren bagaimanapun sudah lama
muncul, seperti Djamil Suherman, A Mustof Bisri, Ahmd Tohari, dan Emha
Ainun Nadjib. Juga dari generasi berikutnya seperti Acep Zamzam Noor,
Abidah El-Khalieqy, dan Habiburrahman El-Syirazy ―untuk sekadar menyebut
beberapa nama. Lahirnya penyair dan sastrawan berlatar pendidikan
pesantren ini tentu saja secara kultural mengintegrasikan pesantren ke
dalam sistem sastra Indonesia modern. Lebih dari itu, fenomena lahirnya
penyair-penyair Madura menunjukkan sesuatu yang lebih jelas lagi, yaitu
bahwa pesantren adalah satu faktor dalam sastra Indonesia, khususnya
dalam skala lokal di Madura sendiri.
Dari Khazanah Madura dan Pesantren
Kita telah melihat latar sosial penyair-penyair Madura dalam buku ini.
Mereka adalah orang Madura yang tentu saja hidup dengan segala tradisi
dan khazanah Madura, pada saat yang sama kebanyakan dari mereka adalah
orang pesantren yang tentu juga hidup dengan berbagai tradisi dan
khazanah pesantren. Tidaklah mengherankan kalau dalam buku ini kita
menemukan jejak-jejak kemaduraan dan kepesantrenan dengan relatif jelas.
Jejak-jejak itu terlihat terutama dari tema dan berbagai diksi atau
idiom yang secara langsung memberikan asosiasi pada Madura atau
pesantren. Tapi bagaimanapun, mereka adalah penyair Indonesia, yang
karenanya tidak mengherankan pula kalau banyak puisi mereka tidak
memiliki acuan langsung baik pada Madura maupun pesantren.
Penting dikemukakan bahwa, meskipun kebanyakan penyair ini berlatar
belakang pendidikan pesantren, penyair yang menggali tema atau
menggunakan idiom-idiom Madura ternyata lebih banyak dibanding penyair
yang menggali tema dan menggunakan idiom-idiom pesantren. Warna atau
corak Madura dapat kita temukan misalnya pada puisi A Warits Rofi, Ahmad
Subki, Badrul Munir Khair, Bernando J. Sujibto, Farid Kacong Alif,
Kamil Dayasawa, Khairul Umam, Nurul Ilmi El-Banna, Selendang Sulaiman,
Subaidi Pratama, Sule Subaweh, Syarifullah, Umar Fauzi Ballah, dan
Zainul Muttaqin. Sementara, corak atau warna pesantren kita temukan
misalnya dalam puisi Raedu Basha, Sofyan RH Zaid, dan Syarifullah.
Dengan demikian, tampak bahwa Madura dengan segala seginya merupakan
tempat mayoritas penyair mencari dan bergulat untuk puisi mereka,
tentang alamnya, tradisinya, manusianya, kenangan tentangnya, dan lain
sebagainya.
Sudah tentu perlu pembahasan tersendiri tentang
bagaimana dan sejauhmana para penyair muda ini menimba inspirasi dari
sumber-sumber khazanah Madura. Untuk memberikan sedikit gambaran tentang
itu, di sini saya kutip puisi Subaidi Pratama (dimuat dalam buku ini):
KASIDAH AIR HUJAN
Rintik-rintik air hujan menitik
Jatuh ke tanah mengubur terik
Semak dan rumputan bersemi di tubuh bumi
Bunga siwalan manari-nari di ranting sunyi
Tinggal sepetak ladang kami
Lagi mungkin akan tercuri
“Yale’-yale’ aduh ghellang soko”
Tanah mengalunkan lagu
Langit menjerit sedalam kalbu
Anak-anak senang mandi air hujan
Para pembajak menyelamkan badan
Di sana, aku saksikan kasidah air hujan
Membelai segala ranting hingga dahan
“Yale’-yale’ aduh ghellang soko”
Kutatap burung-burung merunduk ke lereng-kali
Perlahan-lahan akar pohon pun menusuk rusuk bumi
Ketika hujan lama mengalir ke perasaan
Betapa dingin dekap Tuhan kurasakan
“Dingin, dingin,” kataku
“Sejuk, sejuk,” hujan terus berlagu
Dan terus berlagu di ruang kalbu.
“Yale’-yale’ aduh ghellang soko” adalah satu baris lirik lagu
tradisional Madura. Secara harfiah ia berarti “Yale’-yale’ aduh gelang
kaki”. Lagu itu merupakan ungkapan kekaguman yang romantis dari seorang
pria yang jatuh hati terhadap seorang perempuan. Si pria mengantar
perempuan itu pulang ke rumahnya melewati pinggiran sawah pepadian yang
mulai menguning. Si pria benar-benar jatuh hati dan mengagumi
kecantikannya: senyumnya, lambaian tangannya, cara berjalannya. Misalnya
dikatakan bahwa senyum perempuan itu bagai bulan purnama. Dia juga
mengagumi pakaian tradisional yang dikenakan perempuan pujaannya: gelang
kaki,sampèr (sarung wanita) cingkrang, dan anting-anting. Mengikuti
sang perempuan dari belakang, si pria merasa cemas kalau-kalau
perempuannya jatuh di jalan setapak yang licin itu. Juga cemas bisakah
si pria mendapatkan gadis pujaannya. Dalam suasana itu semua, lagu
tersebut bernada romantis dan berbunga-bunga, namun juga dibayangi
perasaan cemas.
Dengan mengutip larik “Yale’-yale’ aduh ghellang
soko”, Subaidi Pratama membawa suasana romantis dan berbunga-bunga yang
dibayangi kecemasan itu ke dalam puisinya. Dan suasana lagu tradisional
Madura itu memang sejalan dengan suasana dalam puisi tersebut, namun
dalam konteks yang berbeda. Dalam lagu tradisional Madura, suasana
romantis terbangun oleh jatuh hati seorang pria pada seorang perempuan.
Dalam puisi Subaidi Pratama, suasana romantis terbangun oleh perasaan
gembira seorang petani karena hujan turun, yang dibayangi perasaan cemas
kalau-kalau pertaniannya dicuri orang. Tapi bagaimanapun, sebagaimana
juga dalam lagu tradisional Madura itu, dalam puisi Subaidi perasaan
senang lebih besar dibanding perasaan cemas:Ketika hujan lama mengalir
ke perasaan/ Betapa dingin dekap Tuhan kurasakan//…//“Dingin, dingin,”
kataku/ “Sejuk, sejuk,” hujan terus berlagu/ Dan terus berlagu di ruang
kalbu.
Kalau Subaidi Pratama menggali khazanah Madura dari
tradisi keseniannya, Selendang Sulaiman menggali segi lain dari tanah
kelahirannya, yaitu idiom-idiom Madura dan manusianya. Dalam hal
terakhir adalah petani tembakau. Puisinya “Daun Kehidupan” (dimuat dalam
buku ini) secara eksplisit ditujukan kepada mereka. Yang dikemukakannya
tentang petani tembakau adalah pandangan romantik: hijau daun tembakau
adalah kilau yang segar. Sebab, bertani tembakau tak lain adalah ibadah
siang-malam yang tak kenal waktu, bahkan tak kenal cuaca:dingin dan
panas sebatas pertemuan/ antara kehadiran dan kepergian di sajadah alam.
Selebihnya adalah rasa syukur: puji-pujian dipanjatkan/…/ lalu semerbak
kebahagiaan berkabar ke kota-kota.
Dalam perspektif berbeda,
Ahmad Subki juga berbicara tentang petani tembakau Madura. Puisinya yang
berjudul “Fragmen Hujan dalam Sebuah Lukisan” dia persembahkan kepada
mereka. Dengan halus sekali puisi Ahmad Subki mengemukakan jeritan pedih
mereka. Banyak petani tembakau Madura memang seringkali menderita
kerugian akibat ketidakpastian cuaca dan terutama ketidakpastian harga
tembakau. Bahkan harga tembakau terkesan dipermainkan di musim panen.
Tapi dalam puisi Ahmad Subki, jeritan pedih petani terutama disebabkan
oleh ketidakpastian cuaca, dimana hujan bisa turun tiba-tiba dan pasti
merusak tanaman tembakau: sejenak ingin kukemas hujan dari lukisanmu/
sebab tak kuasa kurahasiakan derai airmata/ kalau senyum yang tertampung
di ujung setiap daun/ harus sirna dirampas deras tetesannya
Meskipun tak ada kepastian cuaca dan harga, petani tembakau tetap
bertani bila musim kemarau tiba ―masa pertanian tembakau memang di musim
kemarau. Sebab, pada pertanian tembakaulah mereka menaruh harapan
ekonomi sementara tak ada pilihan pertanian lain di musim kemarau. Pada
titik itu tembakau seakan sebuah misteri yang tak terpahami: petani
tembakau akan menderita kerugian, tapi toh pertanian tembakau tetap
mesti dijalankan. Berkatalah seorang ayah kepada anaknya: anakku, kapan
engkau akan paham?/ bahwa selaksa mimpi yang kita rangkai/ tersimpan
pada lembaran daunnya yang menjuntai.
Saya kutip puisi Ahmad Subki, penyair asal Bangkalan, itu selengkapnya (dimuat dalam buku ini):
FRAGMEN HUJAN DALAM SEBUAH LUKISAN
: kepada para petani tembakau di Madura
kenapa tak kaugoreskan saja kemarau
dalam lukisanmu, anakku?
agar tembakau yang kita tanam
sempurna memaknai hijau
sejenak ingin kukemas hujan dari lukisanmu
sebab tak kuasa kurahasiakan derai airmata
kalau senyum yang tertampung di ujung setiap daun
harus sirna dirampas deras tetesannya
anakku, kapan engkau akan paham?
bahwa selaksa mimpi yang kita rangkai
tersimpan pada lembaran daunnya yang menjuntai
Pare, 2011.
Sementara itu, hubungan penyair Madura dengan khazanah pesantren
merupakan satu dinamika sendiri. Telah dikemukakan bahwa penyair Madura
pada mulanya hampir sepenuhnya berorientasi pada puisi Indonesia modern.
Meskipun berlatar pendidikan pesantren, hampir sepenuhnya pula mereka
tidak berorientasi pada khazanah pesantren, termasuk puisi Arab yang
secara tradisional hidup di pesantren. Telah dikatakan pula bahwa ilmu
balâghah pada mulanya tidak memberikan kontribusi langsung pada
pertumbuhan sastra Indonesia di pesantren, bahkan keduanya teralienasi
satu sama lain. Namun dalam perkembangan belakangan ini, tak syak lagi
penyair Madura mulai mengarahkan orientasi kepenyairan mereka pada
pesantren sebagai khazanah yang dapat digali untuk puisi, baik dari segi
bentuk maupun tema.
Di atas telah dikutip puisi Faidi Rizal Alif
yang mencoba mengadopsi bentuk puisi tradisional Arab untuk puisinya,
dengan menjaga metrum (bahr/`arûdh) dan rima akhir (qâfiyah) secara
ketat dan teratur. Hal serupa dilakukan oleh Sofyan RH Zaid, penyair
yang puisinya dimuat dalam buku ini. Secara sadar Sofyan juga mengadopsi
bentuk puisi tradisional Arab yang hidup di pesantren, yang dikenal
dengan syi’ir dan nadham. Hanya saja, dia mengadopsinya secara agak
longgar, terutama menyangkut metrum. Dia hanya mengadopsi larik yang
terdiri dari dua bagian, dan menjaga rima akhir (qâfiyah) di setiap
bagian akhir pada setiap larik puisinya. Berbeda pula dengan puisi
tradisional Arab, dia memberi tanda pagar (#) di antara bagian pertama
dan bagian kedua setiap larik puisinya. Tanda pagar (#) seperti itu
biasa digunakan santri dalam menyalin syi’ir atau nadham. Bagaimanapun,
dengan mengadopsi syi’ir dan nadham secara terbatas itu Sofyan
mengaitkan puisi Indonesia dengan ilmubalâghah sebagai tradisi keilmuan
pesantren.
Kiranya perlu dijelaskan sedikit tentang syi’ir dan
nadham dalam tradisi pesantren. Sebagai bentuk puisi tradisional Arab,
syi’ir dan nadham sebenarnya sama, dan seringkali memang digunakan
sebagai sinonem. Namun pada umumnya keduanya dibedakan berdasarkan isi
atau temanya. Syi’ir berisi nasihat, renungan keagamaan, doa, ajaran
moral, dan sejenisnya, seperti syi’ir Abu Nuwas dan syi’ir Imam Syafi’i.
Sedangkannadham berisi ilmu-ilmu Islam yang ditulis dalam bentuk puisi
tradisional Arab (syi’ir), seperti ilmu nahwu dan ilmu aqidah. Di
pesantren, baik syi’ir maupun nadham biasanya dinyanyikan. Dari kata
nadham inilah di pesantren baik di Madura, Jawa, maupun Sunda dikenal
istilah nadom atau nadoman, yang secara umum berarti puisi Arab yang
biasanya dinyanyikan.
Berikut ini salah satu puisi Sofyan RH Zaid (dimuat dalam buku ini):
KAWIN BATIN
ruhku menikahi ruhmu # pusat jagat bertemu
maharku syahadat serta selawat # dalam penerimaan yang hakekat
wali malaikat saksi Allah # Nabi Muhammad mengucap sah
pengantin ruh menuju sungai # terseret arus ke pantai
di bawah janur bercumbu # butir pasir pecah seribu
perlahan menaiki perahu # melayari lautan hu
ombak hu, riak hu # seluruh penjuru jadi hu
huku dan humu berpelukan # sepanjang angin surga pelayaran
berenang Rumi dan Hafis # gerimis perlahan turun tipis
bulan meleleh madu # bintang saling berpadu
Bakar dan Umar hadir # Usman dan Ali mencair
ruh kita satu tuju # lebur menyatu dalam hu
berloncatan ikan abad # menuju pulau ahad
saat perahu berlabuh # hu begitu riuh
: hu hu hu hu # hu hu hu hu
2014.
Penyair yang juga intens menggali khazanah pesantren adalah Raedu
Basha, terutama secara tematik. Dalam puisi-puisinya, Raedu menulis
tentang ulama-ulama pesantren, yang secara umum mengekspresikan hubungan
khas antara seorang santri dengan kiainya. Lebih dari sekadar hubungan
murid dan guru atau mahasiswa dan dosen, hubungan santri dengan kiainya
adalah juga hubungan moral, emosional, dan kerohanian sekaligus.
Hubungan santri dengan kiainya adalah hubungan batin hampir-hampir
secara total dan kekal, dengan berbagai seginya yang kompleks. Kiai
senantiasa memancarkan emanasi kerohaniannya, dan sang santri selalu
ingin mendapatkan berkah emanasi kerohaniannya itu.
Demikianlah
maka hubungan santri dan kiainya terus berlangsung meskipun sang santri
tak lagi belajar secara formal pada sang kiai, atau bahkan meskipun sang
kiai telah lama meninggal dunia. Hubungan mereka abadi secara moral dan
terutama secara spiritual. Ziarah ke makan seorang kiai bukan saja
untuk mendoakan sang kiai (dan diri sendiri), melainkan juga
mengintensifkan hubungan batin dan kerohanian sang santri dengan kiai
itu sendiri, dan pada akhirnya untuk memupuk dimensi-dimensi kerohanian
santri itu sendiri: … di tubuh makammu bunga-bunga/ pernah kupetik
setangkai lantas membangga/ manakala darahku dan mawar sama merahnya/
tapi kadang nafsu ini lupa bahwa esensi diri/ hanya sebatang dahan dari
bunga makam tuan/ yang jatuh dan menjauh terhanyut aliran bengawan….
Petikan puisi Raedu Basha berikut mengemukakan segi-segi kompleks dari
hubungan moral dan spiritual santri dengan kiainya dalam kultur
pesantren (dimuat dalam buku ini):
BUNGA DI MAKAM KIAI SYARQAWI
aku titisan tuan, apa beda wajahku daripada nisan wajahmu
aku seonggok muda hakekatnya mati daripada tidurmu yang berarti
jariyah sejati, mengekal dalam ingatan setiap santri
kau membujur kini, di tubuh makammu bunga-bunga
pernah kupetik setangkai lantas membangga
manakala darahku dan mawar sama merahnya
tapi kadang nafsu ini lupa bahwa esensi diri
hanya sebatang dahan dari bunga makam tuan
yang jatuh dan menjauh terhanyut aliran bengawan
makna apa gerangan membujurkan tuan di sini
seorang Jawa tapi mematri di pulau Madura
barangkali asin garam dan bau sirih tembakau
mengetahui perihal lampau
rahasia-rahasia perjalanan sepulang berhaji
mendamparkanmu ke tanah ini, Guluk-guluk
cahaya terguling-guling dari bukit suci
menubuhkan aroma jannah ke bumi
menumbuhkan bunga dari rahim samadi
ke pekarangan seputar Kandang Jaran ini
tanah yang meminta jejak telapak kakimu menginjak
memohon kau khidmat menebarkan syafaat
….
***
Antologi puisi Ketam Ladam Rumah Ingatan setidaknya menunjukkan
fenomena perpuisian Indonesia di Madura sebagai salah satu eksemplar
puisi Indonesia mutakhir. Maraknya kehidupan dan cukup tingginya
produksi puisi (dan sastra) Indonesia dari penyair-penyair Madura tentu
saja menggembirakan, dengan mutu puisi mereka ―paling tidak sebagiannya―
yang tidak mengecewakan. Penyair-penyair dalam antologi ini masih
relatif muda. Pastilah mereka masih akan terus berkembang, terus
menggali kemungkinan-kemungkinan yang selama ini mungkin tak terpikirkan
dalam puisi Indonesia. Hal itu memberikan harapan dan membangkitkan
optimisme, bahwa dari Madura akan terus lahir puisi-puisi yang akan
memberikan sumbangan penting pada sastra dan kebudayaan Indonesia.
Sebagai penutup, satu pertanyaan perlu direnungkan bersama: bagaimana
caranya agar Madura sebagai taman subur bagi puisi dan sastra Indonesia
mampu bertahan, atau bahkan lebih subur lagi?
Sebab puisi adalah … ombak/ berdebur/ mamanjang/ mencari diam/ yang hilang/ di dalam engkau. Salam. []
Pondok Cabe, 29 Januari 2016
Tulisan ini merupakan pengantar buku Jamal D. Rahman (editor), Ketam
Ladam Rumah Ingatan: Antologi Puisi Penyair Muda Madura (Jakarta:
Lembaga Seni dan Sastra Reboeng, 2016).