SELAMAT DATANG TO MY
Rumah karya moh. ghufron cholid, anda bisa bertamasya sambil membaca semua karya dan bisa mengomentarinya dengan penuh perenungan dan berdasar selera masing-masing. Jangan lupa ngisi data kehadiran.Ok!

Minggu, 30 November 2014

TIGA PUISI TERBIT DI KONFRONTASI (16 JULI 2014)

KAMAR USIA
: Ulfatun Ni'mah Cholid

memasuki kamar usia yang baru, adikku
ada yang semakin akrab bertamu
angin haru
mengingatkan rupa masa lalu

ada yang berganti lagu
hatimu
gigil waktu yang membentukmu karang
telah pun sampai pada utuh sembahyang
lalu, kau alpa
pada bidak-bidak duka
yang pernah merapatkan barisan
menghantam keyakinan

memasuki kamar usia yang baru, adikku
sama artinya kau tinggalkan debu-debu ragu
membersihkan hatimu
menatap hidup lebih maju
atau serupa kupu yang telah tinggalkan kepompong waktu

Madura, 14 Juli 2014

MEMBINGKAI RINDU

membingkai rindu
pada debur yang getarkan kalbu
pada pepasir waktu
yang mengajarkan keakraban zaman
ada yang belum tuntas diurai
nyeri yang belum terlerai
percik-percik tabah yang telah terkulai

membingkai rindu
pada akar waktu yang mengingatkan sendu
ada yang merayapi kalbu
ragu
yang belum menyusu
pada kearifan
yang menumbuhkan pohon ketabahan

membingkai rindu
pada renda matamu
yang tak pijar
hanya menambah getir
pada tiap bibir zikir

membingkai rindu
barangkali telah sampai waktu
keharibaan duhai Maha Kasih
betapa riuh
masih mendiami tubuh
resah masih kuat memeluk
saat rahmah tak singgah

perempuan yang dikepung rindu
tak jua mampu
taklukkan kalbu

sejatinya hidup mengantri kematian
seberapa siap pertemuan
diterjemahkan dalam kemesraan

membingkai rindu
barangkali hanya kesetian
yang mampu merajam segenap ketakutan

2014

GAZA

telah kau lamar iman
peluru, meriam dan bom
tak merundukkan langit yakin

sebab kematian
lebih getarkan batin
melebihi menikahi perawan
syuhada jadi impian paling pikat hati zaman

Gaza
Kau bumi syuhada
Peluh, airmata dan regang nyawa
Tanda cinta sepanjang masa

Madura, 10 Juli 2014

DUA PUISI TERBIT DI KONFRONTASI (6 NOVEMBER 2014)

MASIH TENTANG PERU
:Shasha Shakierah

shasha, keterasingan menepi
kau tinggalkan kamar-kamar nyeri

peru, puisi
mimpi dan cinta
yang menempati dada

sebab impian mesti dijemput
keterasingan terus kau rajam
sebab peru degup waktu
degup puisi
ada yang tak henti kau gali
keyakinan dalam diri

peru, puisi
mimpi dan cinta
yang menempati dada
tak pernah kau biarkan
sunyi menerkam keyakinan

peru, puisi
seruh, setubuh
yang menguatkan
yakin
menguatkan masa depan
yang penuh keberkahan

shasha, hanya doa
yang bisa kuberikan
semoga duka
tak menempati dada
tak menyayat sukma
semoga peru
melahirkan kalbu
yang baru
yang penuh restu

Madura, 6 November 2014

KALAU AKU TAK SAMPAI DI PERU

kalau aku tak sampai di peru
lihatlah langit masih biru
sebiru hatimu
menghidupkan puisi
menghidupkan nurani

kalau aku tak sampai di peru
percayalah, puisi takkan mati
percayalah
nurani akan tetap wangi
sebab hati kita
selalu bertemu dalam doa

Madura, 5 November 2014

TERBIT DI KONFRONTASI (18 JULI 2014)

JIWA-JIWA YANG MENGHIDUPKAN TUHAN


                                                                    Oleh : Moh Ghufron Cholid*)
Meski ruh adalah urusan Allah Yang Maha Agung, penyair juga memiliki hak membahasnya, barangkali sebagai bahan permenungan meski hanya membahas ruh secara permukaan. Moh. Ghufron Cholid
Siang ini saya berhadapan dengan puisi-puisi jiwa Dewi Nurhalizah yang disiarkan di media konfrontasi yang diasuh oleh penyair Warih W Subekti.
Dewi Nurhaliza menghadirkan ragam puisi yang membahas tentang jiwa, ada pun puisi-puisi tersebut berjudul 1) Jiwa yang Tenggelam 2) Jiwa yang Tidak Terpaku Aksara dan Angka 3) Jiwa Yang Bergetar, Jiwa Yang Terjaga.
Saya mencoba berdamai dengan hati, meski saya tahu permasalahan ruh adalah hak Allah sepenuhnya, rasanya kurang arif bila saya mengabaikan pandangan penyair Dewi Nurhaliza yang membahas tentang ruh.
Sebagai manusia yang bertuhan saya meyakini tak ada yang tahu tentang ruh kecuali Allah namun sebagai manusia yang ingin tahu dan ingin menambah ilmu, tak ada salahnya bila saya bersabar mengembara di tiga puisi yang telah dipaparkan penyair.
Saya meyakini ilmu yang dimiliki manusia serba terbatas oleh sebab itulah saya beranggapan mendengarkan pandangan orang lain bukanlah suatu dosa.
Mendengarkan dengan khidmat barangkali akan menambah pengetahuan tentang ruh lewat pandangan manusia, yang dalam hal ini diwakili oleh penyair Dewi Nurhalizah, Malang.
Jiwa yang tenggelam, kata Dewi. Saya seakan tersentak dan langsung bergerak memasuki dunia idea yang dicipta penyair.
Bukankah telah jelas difirmankan Allah bahwa manusia hanya diberi sedikit ilmu, dari yang sedikit jika terus dikumpulkan akan menjadi bukit, begitulah pepatah lama berbunyi seakan ingin menanamkan keyakinan bahwa yang saya lakukan tidaklah salah.
Jiwa yang Tenggelam, kembali Dewi berucap seakan ingin menggerakkan hati saya untuk terus memantapkan keyakinan bahwa yang saya tempuh bukanlah jalan dosa. Bahwa bisa jadi tambahan ilmu baru khususnya bagi saya pribadi dan bagi kawan pembaca lain yang ingin mengetahui sebuah pandangan orang lain, yang kadang kala sangat enggan untuk ditempuh.
Saya teringat peribahasa Arab yang terjemahan bebasnya kurang lebih seperti ini, gerakkan tanganmu niscaya engkau makan. Yang kalau ditarik ke lain permasalahan, dengarkan pandangan orang lain niscaya kau dapatkan tambahan ilmu.
Yang dilakukan Dewi Nurhaliza membahas ruh saya kira baik sebagai tambahan informasi bagi yang lain. Bukankah ruh sangat halus dan penyair Dewi mencoba membuka tabir ruh dengan tangan halusnya dan tentunya dengan pandangan yang tak utuhnya sempurna, sebab kesempurnaan hanya milik Allah.
Apakah yang dimaksud jiwa yang tenggelam dalam puisi Dewi? Suatu keinginan untuk meniadakan diri dan yang ada hanya Allah hanya saja yang dilakukan Dewi untuk menjadi jiwa yang tenggelam dilakukan dalam bentuk doa.
Dalam puisi ini sejatinya penyair mengakui tak memiliki pengetahuan untuk membahas ruh, maka jalan yang ditempuh untuk menjadi jiwa yang tenggelam dengan melakukan doa-doa.
Paling tidah wahdatul wujud yang telah dicapai oleh Syeikh Siti Jenar dan konsep ana alhaq yang dimiliki alhallaj sejatinya bentuk penghormatan pada Allah, ketika manusia mencapai maqom puncak sejatinya yang tampak hanyalah Allah, sejatinya kedua tokoh tersebut secara gamblang ingin berucap kami hanya milik Allah, tiada kuasa menyatakan diri kami ada sebab yang membuat kami ada semata-mata kuasa Allah.
Lewat puisi jiwa yang tenggelam sejatinya Dewi Nurhalizah telah melakukan upaya seperti yang pernah dilakukan oleh Syeikh Siti Jenar dan Alhallaj bedanya Dewi melakukan dengan ritual doa untuk senantiasa dekat dengan Allah.
Hal ini bisa dimaklumi mengingat penyair memposisikan diri sebagai hamba yang sangat ingin dekat dengan TuhanNya walau disadari belum memiliki tingkatan sebagai kekasih yang begitu menyatu dengan Tuhannya.
Paling tidak keingan Dewi begitu sangat tampak ingin berdekatan dengan Allah pada larik, dan tidalah aku/walau sedebu. Bisa dikatakan Dewi secara tujuan dan kekerabatan makna telah melakukan upaya serupa Syeikh Siti Jenar lewat Wahdatul Wujud dan Alhallaj lewat konsep ana alhaq.
Dalam puisi berjudul Jiwa yang Tidak Terpaku Aksara dan Angka sejatinya penyair ingin mengungkap bahwa keindahan hanya milik Sang Maha. Tak ada keindahan, di atas keindahan melebihi keindahan Allah. Konsep yang dipakai adalah Allah itu indah dan menyukai keinda han.
Dalam puisi Jiwa Yang Bergetar, Jiwa Yang Terjaga sejatinya penyair ingin berbagi pandangan bahwa kecintaan hamba pada Allah mampu membuat seorang hamba terjaga meninggalkan rayuan bantal, kasur dan guling yang menawarkan mimpi indah. Keindahan Allah telah meredupkan segala bentuk keindahan yang ada.
Malam laylatul qotal adalah salah satu bentuk keindahan yang menjadi media penggerak untuk mencapai keindahan sejati, cinta yang sejati, ampunan yang sejati yang hanya mampu diberikan Allah.
Puisi-puisi jiwa Dewi Nurhalizah selengkapnya bisa dibaca di media konfrontasi, selamat membaca dan menemukan ragam hikmah.
Jiwa yang Tenggelam
yaa robbana yaa robbana oh yaa robb
izinkan kuletakkan cinta di ujung malam
pada sunyi tatkala luh menetes perlahan
ketika pedih dan malu menikam dalam
oh yaa robb yaa robbana yaa robbana
tenggelamkanku dalam diam
seperti kehendakMU
dan tiadalah aku
walau sedebu
malang, 072014
Jiwa yang Tidak Terpaku Aksara dan Angka
utas-utas kemilau mengintip dari kisi-kisi langit
mencari jiwa sunyi yang ditetapkan dalam perjanjian
jiwa yang diam dalam keramaian
tak berangka tanpa aksara
tenang bertabur bintang
tak mengombak di luasan samudera
melandai lembut di tepian
menghapus jejak silam
dalam diam
utas kemilau menanti
serasa tak sabar segera bertebar
jemput kekasih yang dimulyakan zaman
yang tak silau dalam kemilau fatamorgana
tak merisau mega-mega ilusi, tenang meniti gelombang
adalah jiwa yang tidak terpaku pada hitungan hari
tak terpedaya segala ikhwal janji sorgawi
tak risau akan siksa tak terperih
tetapi sepenuh cinta di ketulusan hati
seyakin penuh akan nikmat kumandang dari arasy
tiada lebih indah selain leluasa menatap keindahan Sang Maha
malam bertaburan cahaya
malam kudus yang sejuk dan tenang
bertabur bintang mengiring helai cahaya seribu bulan
malam yang mengantarkan lelap pada jiwa-jiwa lena
malam uji pada ketulusan hati akan sebenar cinta
kesejatian yang tak perlu diungkap dalam kata
tanpa menghitung putaran tasbih, bergulir
menderas airmata berharap maghfira
malang, 072014

Jiwa Yang Bergetar, Jiwa Yang Terjaga
oleh dewi nurhalizah
dan pada malam seribu bulan
jiwa-jiwa tafakur dalam
selisiki daki diri
mendaki tangga iman
menadah pinta pengharapan
bias emas cahaya illahi
pada siapakah DIA berkenan
guyur percikan cahaya di atas cahaya
adalah jiwa yang tulus mencinta
berserah meniti seutas dibelah tujuh,
tanpa prasangka
lepaskan dhalim tertatih melangkah
mencapai puncak dari segala ketinggian,
pada rahman dan rahim jungjung asmaNYA
Maha Pengasih Maha Penyayang
satu di dalam SATU
lalu gerbang langit terbuka
sambut jiwa sang pecinta
hamparan permadani cahaya
dan shalawat selamat datang
mengumandang langit tujuh petala
semesta diam menunduk dalam
angin tak mampu mendesau
dan serangga malam tak suara
dedaun membisu terpesona
malam hening, sunyi senyap
hanya kerlip bintang berpendar
saksi limpahan kemulyaan
la ilaha ilallah
la ilaha ilallah
la ilaha ilallah
l a i l a h a i l a l l a h
rumput-rumput bergetar
daun-daun bergetar
semesta bergetar
jiwa terjaga gemetar
dalam hening,
bening
oh, jiwa-jiwa yang terlelap
bangunlah bangunlah bangun
sambut dengan suka cita
malam seribu bulan
malam ampunan
malam cahaya
duhai jiwa,
nikmat yang mana lagi dari Tuhanmu yang engkau dustakan
probolinngo, 072014

Sumber http://www.konfrontasi.com/content/budaya/jiwa-jiwa-yang-menghidupkan-tuhan

ESAI TERBIT DI UTUSAN BORNEO MALAYSIA (29 nOVEMBER 2014)


MATA PENYAIR YANG MENGUNGKAP RINDU
Oleh Moh. Ghufron Cholid

Rindu rasa yang tak pernah berlari, ketika rindu menyesakkan dada puisipun bercerita. Moh. Ghufron Cholid

KANGEN


Bukit biru membeku
Telah dinginkah api cintamu....

Esti Ismawati, 2014

KERINDUAN

kubidik rembulan, pyarr!
wajahmu jatuh dalam mimpi

Frieska, 18.05.2014

TITIK NADIR

Detak jantungku, lirih memanggilMu
Engkaulah hela nafasku!

Hayat Abi Cikal, 180414


Puisi selalu menjadi salah satu alasan dari ragam alasan yang bisa ditempuh dalam menyampaikan rindu. Kali ini saya hadirkan tiga rupa rindu yang ditulis oleh Esti Ismawati dengan judul Kangen, Frieska dengan judul Kerinduan, Hayat Abi Cikal dengan judul Titik Nadir.

Ketiga penyair menghadirkan rindu dengan rupa menurut cara pandanganya masing-masing. Inilah yang membuat rindu semakin kaya dan bervariasi, semakin mengasyikkan untuk ditelusuri.

KANGEN dalam puisi ini, Esti Ismawati tidak menghadirkan diksi kangen dalam tubuh puisinya. Esti hanya memporsoalkan rindu yang sedang dijalaninya dengan orang yang sangat istimewa bagi dirinya.

Bukit biru membeku, di larik pertama Esti menyorot rindu yang dalam pandangannya berada dalam suasana yang sangat menyayat hati. Esti memanfaatkan larik pertama dengan tiga kata. Kata bukit merupakan simbol dari ketinggian atau keadaan yang sedang memuncak. Kata biru mewakili lukisan hati akan adanya rasa cinta yang jika ditarik ke judul merupakan sisi cinta yang membahas rindu. Kata beku mewakili simbol yang membahas keakraban yang mengalami kekakuan. Tak ada keriangan di dalamnya. Hubungan yang digambarkan meski berdekatan namun merasa asing oleh ianya saling menahan, tiada yang berkenan memulai memperbaiki hubungan.

Jika larik pertama ditafsirkan secara bebas maka diperoleh kesimpulan sementara bahwa hubungan asmara yang terjalin mulai retak oleh tidak adanya saling sapa. Berdekatan semisal hidup di tengah kota semakin menuju keterasingan oleh ianya tiada kemesraan, bukit biru membeku bisa bisa dikatakan keakraban yang kaku.

Telah dinginkah api cintamu.... Larik kedua yang dipaparkan Esti semakin mempertegas kegalauan seorang Esti dalam merasakan degup kangen. Esti tak lagi menemukan kemesraan, yang kegelisahan yang terus berdatangan, menyesaki dada. Hanya keraguan yang tak henti merayapi badan.

Kangen yang dihadapi Esti adalah kangen yang menyayat hati oleh ianya tak bermukim kebahagiaan di dalamnya. Kangen dalam pandangan Esti hanya cambuk yang menguliti keakraban dan semakin memadamkan api cinta. Kangen yang hanya mampu menumbuhkan keraguan. Jika Esti memilih diksi kangen untuk melukiskan rindu maka Frieska tak mau ketinggalan dalam menyuarakan rindu, segala rasa rindu Frieska ia tumpahkan dalam puisi berjudul kerinduan.

Puisi ini ditulis dengan menggunakan pola tuang dua baris tujuh kata dengan memanfaatkan larik pertama berisi tiga kata yang melukiskan tentang permulaan risalah rindu, larik kedua berisi empat kata yang membahas suasa hati rindu yang berlabuh.

Kubidik rembulan, pyarr! Frieska mewali rasa rindunya dengan pandangan optimis, ianya bergerak untuk menaklukkan rindu. Larik pertama begitu tegas digambarkan dengan kegiatan membidik rembulan yang berakhir dengan kata pyarr! Semacam ada keberhasilan yang sudah diraih frieska dalam menaklukkan rindu.  Kata rembulan yang menjadi simbol ketinggian telah berhasil dibidik suasana hati yang semula hening menjadi pecah, tumpah ruah menjadi suasana yang khidmat.

Wajahmu jatuh dalam mimpi, larik kedua semakin mempertegas keberhasilan dalam menaklukkan rindu. Wajah yang begitu asing, tatapan yang tak terjangkau karena adanya jarak tempuh telah bisa disiasati. Kerinduan telah ditemukan obat mujarab, obat itu adalah pertemuan yang meski tak terjalin dalam pertemuan di alam nyata hanya terjadi dalam pertemuan yang berlangsung lewat mimpi.

Frieska seakan ingin membuka jalan untuk bisa melaklukkan rindu ketika pertemuan tatap muka tak bisa ditempuh, sejatinya rindu itu bisa diobati lewat pertemuan batiniah. Pertemuan yang abstrak. Mimpi adalah abstrak doa pun juga abstrak oleh keduanya sama abstrak maka bisa jadi pertemuan itu bisa ditempuh lewat jalur doa. Lewat ikatan batiniah. Mimpi adalah simbol atau kiasan yang menjadi lawan dari dunia nyata.

Jika boleh dikiaskan mimpi (pertemuan yang abstrak) pada pertemuan batiniah (doa) yang keduanya sama abstraknya maka Frieska telah melakukan jalan kebaikan khususnya dalam menaklukkan rindu.

Namun Hayat Abi Cikal punya cara lain dalam mengapresiasi rindu. Jika rindu Esti dan Frieska adalah rindu yang ditujukan pada sesama manusia maka Hayat Abi Cikal lewat puisi berjudul Titik Nadir mengalamatkan rindu kepada Allah. Rindu yang dijalani adalah rindu yang menumbuhkan harap yakni Allah hadir dalam tiap helaan nafas. Hayat memposisikan rindu seorang hamba pada Tuhannya yang selalu ingin dekat sampai ajal menjemput.

Madura, 16 November 2014

Biodata Penulis

Moh. Ghufron Cholid adalah nama pena Moh. Gufron, S.Sos.I, beberapa karyanya tersiar di Mingguan Malaysia, Mingguan Wanita Malaysia, Mingguan WartaPerdana, Utusan Borneo, Tunas Cipta, Daily Ekspres, New Sabah Time dll juga terbit dalam berbagai antologi bersama baik terbit di Indonesia maupun terbit di luar negeri. Beberapa puisinya pernah dibacakan di Japan Foundation Jakarta (2011), di Rumah PENA Malaysia (2012), UPSI Perak Malaysia (2012) Kongres Penyair Sedunia ke-33 di Ipoh Malaysia (2013), menetap di Madura Indonesia.






Kamis, 27 November 2014

TIGA PUISI DALAM BUKU SANG PENEROKA



DOA YANG BERJALAN
: Kurniawan Junaedhie

enam puluh tahun doa berjalan
mencari istijab
merayapi keraguan
menginsafi ketakberdayaan
menyalakan api pengabdian

aksara-aksara rapatkan barisan
membentuk peradaban
mengakarkan kebudayaan
sepanjang tanah perjuangan

enam puluh tahun doa berjalan
ibarat daun telah menguning
selaksa purnama mengencani kamar remang-remang
bimbang tak datang
segala semakin benderang

Madura, 2014

KISAH HATI SEORANG SABBY

telah kau tanam cinta begitu megah
melepas kepergian dengan hamdalah
tabah begitu tumbuh
di matamu
di hatimu
sabby

telah kau tancapkan tiang anugerah
kepergian buah hati
kau maknai sebagai titipan
yang sudah habis puncak percaya
dan kau
jadi mata doa buat buah hatimu
sabby

betapa pohon kagum
rindang, di mataku
di hatiku
ketika kau letakkan kematian
tanda cinta Tuhan
yang paling anggun
kesabaran, begitu mengakar di hatimu
sabby

Madura, 25 Agustus 2014
Sabby nama seorang rekan yang sudah saya anggap saudara dari Malaysia,
begitu tabah melepas kepergian (kematian) buah hatinya.

LANGIT YANG GUGUP

kabar dari seberang
menyemat linang
kepergianmu, merindang kenang

tak mampu tegak di batas sabar
ada belukar gusar
menjalari tubuh, aku gemetar

kematian telah mendekap
langit dalam tubuhku, gugup
doa-doa kubariskan
semoga tenang di pembaringan

Madura, 22 Agustus 2014
(terbit di Indonesia untuk mengenang ultah KJ 60, 2014
)

ANGIN YANG SAMA



Ini angin yang sama
Menyalami jiwa begitu mesra
Membuka kembali lembaran masa
Tempat kita mengeja
Airmata
Tempat kita menerjemahkan
Doa

Ini angin yang sama
Bawa kabar duka
Kau daun gugur dari ranting
Kecup tanah sembahyang
Lalu berwajah nisan
Memusiumkan harapan

Ini angin yang sama
Bumi kuyup doa
Hari pemakaman penuh ridha
Namamu bergema di kamar jiwa
Berkat ikhlasmu berdharma

Madura, 26 Januari 2014

(Salah satu puisi dari tiga puisi yang termuat dalam mengenang r hamzah dua, terbit di Malaysia, 2014)

Minggu, 23 November 2014

TERBIT DI SASTRA HARIAN CAKRAWALA MAKASAR (22 NOVEMBER 2014 )

TERKENANG PENYAIR MAROCO
: Fatimah Bennis

selalu ada percakapan ombak
ketika pangkor jadi sajak
malam yang begitu karib
gugurkan dedaun gusar

selalu ada percakapan ombak
pada segenap ingat
yang melamar malam
dari keterasingan yang nisbi

ada yang tak bisa berlalu
lentik waktu
ketika coral bay
meliput haru

kita, impian yang saling mencari
wangi puisi

Madura, 28 Oktober 2014

SERIBU HARI KESUNYIAN

nisan, kamar pulang
telah sampai
seribu hari kesunyian
rindu, tak pernah benar-benar berlari
padamu, paman

2014

Rabu, 12 November 2014

TERBIT DI UTUSAN BORNEO 18 MEI 2014


TERBIT DI DENPOS 9 NOVEMBER 2014

MEMPELAI SEJARAH

pahlawan kaulah mempelai sejarah
padamu, aku berguru
mengasah ketajaman batin
mengasah pengabdian
di segenap desah

Madura, 27 Oktober 2014

MENGENANG GAJAH MADA

mengenang gajah mada
mengenang nusantara
seruh, seraga

dalam sumpah palapa
kita satu airmata
satu merdeka
nusantara

Madura, 2014

TERBIT DI DENPOS 26 OKTOBER 2014



MERUMUSKAN ALAMAT PENGERTIAN

telah kurumuskan alamat pengertian
telah kuabai peluk keterasingan
yang aku mau
kilau binar matamu
tak lagi mengisahkan ngilu pilu waktu

telah aku rumuskan alamat pengertian
sampai batas penantian
memastikan rupa waktu lebih ceria
hingga aku lupa tatapan mata duka

Taman Ismail Marzuki, 1 Juni 2014

ANAK-ANAK WAKTU

Kami anak-anak waktu
Tak pernah usai diburu peluru
Tak adakah mata haru
Tangan haru
Kalbu haru
Beri kesempatan cicipi madu
Ketenangan, kemerdekaan
Ini bulan suci
Tempat jernihkan hati
Ke manakah nurani berlari

Tak tahukah kau
Kematian lebih karib
Dari sesuap nasi
Tak tahukah kau
Kami, anak-anak waktu
Juga mau hidup sepertimu
Setenang telaga kalbu
Secerah matahari mencumbu
Semesra hujan menghumuskan tanah pengabdian

Madura, 10 Juli 2014

TERBIT DI MINGGUAN MA;AYSIA (29 APRIL 2012)


TERBIT DI NEW SABAH TIME (22 JULI 2012)


Kongres Penyair Sedunia Ke 33 Di Ipoh Tak Sekedar Euforia




Foto ini diambil di Lenggong selepas peserta kongres penyair sedunia baca puisi





Kongres Penyair Sedunia ke 33 di Ipoh adalah kongres yang menarik sangat menarik perhatian, sebab para penyair dari berbagai negara yang memiliki kesempatan hadir dan mengikuti kongres bisa ditemukan. Apakah kongres ini diadakan hanya sekedar euforia belaka? Tentu tidak, dengan adanya kongres di Ipoh, para peserta bisa menyaksikan secara langsung bagaimana puisi dibacakan oleh penyairnya, dengan bahasa yang asing masih bisa dinikmati, lewat gerak tubuh dan intonasi yang diucapkan.

Kongres akbar ini diketuai oleh Penyair Malim Ghozali Pk, penyair yang tahun ini mendapatkan SEA Writer dari Thailand, para peserta yang datang dari tanggal 20 Oktober 2013 dijemput panitia langsung ke KLIA lalu ditempatkan di Syuen Hotel Ipoh dan berkesempatan tampil membacakan puisi, menikmati musik serta pemandangan di sekitar Gerbang Malam.

Yang hadir tanggal 20 Oktober dari Indonesia Bundo Free, Ibu Ariani Isnamurti (PDS HB Jassin), Bapak Shafwan (Medan), Moh. Ghufron Cholid (Madura), dari Meksiko Maria Eugenia, Fatima Azzahra Bennis (Maroko), dan banyak penyair lainnya.

Di samping membacakan puisi, para peserta juga disuguhkan keindahan alam yang berada di Ipoh, tak hanya itu berkesempatan bertemu dengan Zambry Abdul Kadir (Menteri Besar Ipoh), yang pada saat bersamaan diumumkan para penerima anugerah seperti Dato Abd Ramli Abdullah (penerima anugerah di bidang literature), Dato Awang Sariyan (penerima anugerah bidang bahasa), ini terlaksana pada 21 Oktober 2013.

Perjalanan ke Lenggong, mengenal Malaysia lebih dekat lewat museum Lenggong, juga diadakan baca puisi oleh penyair yang ditunjuk panitia, dilanjutkan dengan mengunjungi Kuala Sepetang yang dibahului dengan sajian makan bersama, taklimat, pembacaan puisi dan penanaman pohon oleh para penyair sebagai wujud cinta lingkungan, malam harinya pergi ke Tambun Ipoh, menikmati keindahan alam, pembacaan pantun dan musik.


Ipoh Malaysia, 20-22 Oktober 2013