SELAMAT DATANG TO MY
Rumah karya moh. ghufron cholid, anda bisa bertamasya sambil membaca semua karya dan bisa mengomentarinya dengan penuh perenungan dan berdasar selera masing-masing. Jangan lupa ngisi data kehadiran.Ok!

Sabtu, 20 Februari 2016

KETAM LADAM RUMAH INGATAN: MENGGALI MADURA, MENGGALI PESANTREN.


KETAM LADAM RUMAH INGATAN: MENGGALI MADURA, MENGGALI PESANTREN.
Pengantar Jamal D. Rahman

aku ombak
Berdebur
Memanjang
Mencari diam
yang hilang
di dalam engkau.
(Muhammad Ali Fakih, “Di Laut Musik”, dimuat dalam buku ini).
Dalam kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, Madura adalah taman subur bagi puisi Indonesia. Bunga-bunga puisi tumbuh dan mekar dari pulau kecil ini dalam jumlah relatif tinggi, menghiasi berbagai media massa di berbagai daerah Indonesia, baik cetak maupun online. Banyak juga puisi dimuat dalam beberapa bunga rampai yang terbit di luar Madura untuk beberapa dalam rangka. Tumbuh pula sejumlah sanggar dan komunitas sastra, yang tentu saja menyediakan likungan kondusif bagi gairah kehidupan puisi dan sastra pada umumnya. Terbangun juga jaringan antara beberapa komunitas sastra di Madura dengan komunitas-komunitas sastra di Jawa, Sumatera, dan lain sebagainya. Beberapa penyair asal pulau ini menerbitkan buku puisi, meluncurkannya di berbagai kota, menghadiri forum-forum sastra baik di dalam maupun di luar negeri, dan lain sebagainya. Beberapa karya mereka mendapatkan perhatian dan dibicarakan oleh kritikus sastra. Secara berlebihan dapat dikatakan bahwa dalam satu dekade terakhir terjadi ledakan puisi Indonesia di Madura.
Seiring dengan gairah kehidupan puisi (dan sastra pada umumnya) itu, yang tak kalah menarik adalah bahwa para penyair Madura yang muncul dalam dekade terakhir tampak benar-benar bergulat dalam puisi: mencari tema, bentuk, corak, dan gaya bahasa khas masing-masing. Sebagiannya melakukan percobaan-percobaan menantang dan berani. Hasilnya adalah corak puisi yang relatif beragam di antara generasi ini. Sudah tentu keragaman corak itu telah memperkaya corak umum puisi penyair-penyair Madura, sekaligus menandai perbedaan penyair Madura generasi ini dengan penyair Madura generasi sebelumnya. Lebih dari itu, keragaman corak itu bukan saja punya arti penting bagi puisi dari penyair-penyair Madura sendiri, melainkan juga bagi puisi Indonesia secara umum.
Perbedaan corak puisi yang cukup mencolok terlihat misalnya pada M Fauzi dan Faidi Rizal Alif, dua penyair yang dari segi usia sedikit lebih senior dibanding beberapa penyair dalam antologi puisi Ketam Ladam Rumah Ingatan ini. Fauzi mengeksplorasi gaya dan tenaga bahasa hampir-hampir dengan kebebasan penuh: menciptakan bunyi, memainkan kata-kata Madura dan Arab atau Al-Quran (yang kadang-kadang terasa sebagai mantra), membangun suasana magis, memainkan tanda baca, dan mengeksplorasi tipografi. Penyair yang kini dosen STKIP PGRI Sumenep ini sudah cukup lama menemukan gaya puisinya, dan terus mengembangkannya hingga sekarang. Salah satu puisi M Fauzi (Horison, Desember 2015):
7.23 SEHABIS MENUNGGUMU
7.23 aku menunggumu, sayang. tangis anakku sehabis bunda mengerang-mengedan. antara sakit dan bahagia.
7.23 istriku, di rumah sakit ini, aku teteskan air mata saat kau merasa sakit tak kepalang. wahnan ala wahnin. wahnan ala wahnin. wahnan ala wahnin. dadaku sesak seperti ada besi berkarat di tenggorokanku. sesak yang entah. luka yang entah. bahagia yang entah. bingung yang entah. aku diserbu rasa takut yang mengabut di runcing kuku dan waktu.
istriku, penantian ini hanyalah tuhan yang tahu. doa apa yang tak kubaca saat kau miring ke kanan ke kiri. sakitmu, sayang, aku tak mampu membaca, seperti warna kematian jadi bayang di atas awan pikirku.
7.23 istri dan anakku. 7 juni 2014 istri dan anakku, dokter, perawat, bidan, ibu, mbak indri, dinding warna krem, dan infus yang ngukus. kau pun mengedan dalam sandaran. tangis itu, sayangku, mengalahkan amuk deru dan mesiu.
7.23 anakku, kau buka mata, dan dunia lebih dingin dari tangismu. lebih gelap dari kulitmu. lebih kejam dari waktu.
7.23 sayang, genap sudah. Tuhan!
Sampang, 7 Juni 2014.
Sementara itu, Faidi Rizal Alif pada mulanya menulis puisi sebagaimana umumnya puisi Indonesia modern, yakni puisi bebas dan puisi prosais. Belakangan, dia mulai menulis bentuk puisi yang mengacu pada bentuk puisi tradisional Arab dengan metrum (bahr/`arûdh) dan rima akhir (qâfiyah) yang ketat dan teratur. Tidaklah mengherankan kalau Faidi Rizal mengambil bentuk puisi tradisional Arab, sebab dia pernah belajar di pesantren di mana teori sastra Arab (ilmu balâghah) diajarkan dan puisi tradisional Arab cukup dikenal. Penting dikemukakan bahwa koneksi antara puisi Indonesia modern dengan ilmu balâghah ini merupakan fenomena baru di Madura, yang nanti akan disinggung sekilas lagi. Salah satu puisi Faidi Rizal Alif (Horison, September 2015):
MATA CANGKUL
Kucangkul saja hatimu yang gersang. Setelah tak ada lagi hujan datang
Sampai keringatku mengucur perlahan. Menyusup ke dalam ‘lah-celah harapan
Lalu kutanam ‘ji-biji doa segar. Yang sengaja kupilih agar tak liar
Sampai hatimu yang semak tidak lagi. Seperti hutan rimbun tanpa nurani
Setelahnya kubasuh cangkulku ini. Dengan air matamu menetes sunyi
Sebab masih ada yang belum selesai. Dan perlu kucangkul lagi sampai usai
Sampai hatimu benar-benar subur. Dan doaku tumbuh semakin segar
Nanti kita akan menikmati buah. Buah matang di balik resah gelisah
Bandungan, 2015.
Sebagaimana telah dikatakan, puisi Faidi Rizal Alif di atas mengadopsi bentuk puisi tradisional Arab. Setiap barisnya terdiri dari dua bagian, bagian pertama dan bagian kedua, yang masing-masingnya berima akhir (qâfiyah). Setiap bagiannya menggunakan metrum (bahr/`arûdh) secara sama dan teratur, masing-masing terdiri dari 11-12 suku kata. Dalam puisi tradisional Arab, metrum (bahr/`arûdh) beragam: pendek, sedang, dan panjang. Faidi Rizal mengambil bentuk metrum sedang. Hanya saja, karena persoalan teknis, tipografinya tidak bisa menyerupai tipografi puisi tradisional Arab. Dalam puisi tradisional Arab, bagian pertama tersusun bersama bagian pertama berikutnya (di bawahnya) dengan komposisi rata kiri dan kanan, sehingga membentuk satu pilar; demikian juga bagian kedua tersusun bersama bagian kedua berikutnya (di bawahnya) dengan komposisi rata kiri dan kanan juga, sehingga membentuk satu pilar lagi. Maka, puisi itu secara tipografis membentuk dua buah pilar. Itu sebabnya, puisi tradisional Arab disebut berpilar (`amûdȋ).
Tentang sejauhmana percobaan para penyair Madura ini berhasil, tentu perlu pembicaraan tersendiri. Poin saya di sini adalah bahwa usaha penyair-penyair Madura dalam pergulatan mereka menciptakan puisi paling tidak telah membuahkan suatu hasil, yakni corak puisi yang secara cukup mencolok beragam, corak yang berbeda antara satu penyair dengan penyair lainnya. Corak yang, sekali lagi, sedikit-banyak membedakan generasi ini dengan generasi sebelumnya. Memang, puisi setiap penyair pada dasarnya berbeda satu sama lain, terutama menyangkut tema, detail, dan intensitas puisi masing-masing penyair. Tetapi tanpa perbedaan yang mencolok antara satu penyair dengan penyair lain, bentuk atau corak puisi seakan berhenti. Penemuan tema dan bentuk baru puisi bagaimanapun merupakan tantangan kreatif penyair, dan percobaan adalah salah satu cara untuk mencapainya. Itu sebabnya, percobaan yang intens dan menjanjikan patut diapresiasi.
Maraknya kehidupan puisi (dan sastra pada umumnya) di Madura khususnya dalam satu dekade terakhir telah melahirkan cukup banyak penyair dengan corak puisi yang relatif beragam: M Faizi, Mahwi Air Tawar, Timur Budi Raja, Ali Ibnu Anwar, Harkoni Madura, Fendi Kachonk, Benazir Nafilah, dan banyak lagi. Ditambah lagi dengan produksi cerpen dan novel dari sastrawan-sastrawan Madura, yang juga muncul dalam dekade terakhir, antara lain Joe Mawardy, Nun Urnoto, dan Vita Agustina. Ini merupakan babak baru sejarah perkembangan puisi dan sastra Indonesia di Madura. Belum pernah terjadi sebelumnya kehidupan sastra Indonesia di Madura sedemikian maraknya seperti dalam satu dekade terakhir, yang dibarengi dengan produksi karya sastra yang relatif tinggi. Sudah tentu ini merupakan salah satu fenomena penting sastra Indonesia, yang dalam hal produksi karya sastra memang begitu bergairah di mana-mana, tersebar di berbagai daerah Indonesia. Madura kini merupakan satu daerah sastra Indonesia yang layak mendapat perhatian sebagai satu eksemplar fenomena dan perkembangan sastra Indonesia mutakhir.
Sebagaimana halnya Madura, banyak daerah memiliki kehidupan dan perkembangan sastra Indonesianya sendiri, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Riau, Kepulauan Riau, Bali, Kalimantan, Aceh, Kupang, Tasikmalaya, Tegal, dan lain-lain. Saya menyebutnya sastra kawasan, yakni fenomena kehidupan dan perkembangan sastra Indonesia di suatu kawasan atau daerah. Fenomena sastra kawasan itu ditandai dengan produksi dan publikasi karya sastra, forum sastra, kritik sastra, leksikon sastra, dan penghargaan untuk tokoh yang memberikan kontribusi penting di bidang sastra di kawasan atau daerah itu sendiri. Menyebarnya produksi dan gairah kehidupan sastra Indonesia di berbagai daerah ini tidak bisa tidak menuntut akademisi, kritikus, pengamat, dan peneliti sastra untuk mengarahkan perhatian khusus pada sastra kawasan, antara lain di Madura, yang bukan tak mungkin menyajikan corak lokal dan khas mereka masing-masing.
Dari Perubahan Dramatis Pesantren
Apa yang memungkinkan Madura menjadi taman subur bagi puisi Indonesia? Sudah tentu ada banyak faktor atau variabel, dan penelitian yang seksama tentang itu perlu dilakukan. Tapi dari data sekadarnya saja dari buku ini, kita akan mendapatkan jawaban cukup menarik, yaitu bahwa maraknya fenomena sastra Indonesia di Madura berkaitan dengan konteks makro tuntutan modernisasi pendidikan Islam.
Buku ini memuat puisi karya 41 penyair, yang diseleksi oleh kurator dari 131 penyair kelahiran Madura yang mengirimkan karya masing-masing kepada penyelenggara. Kurator adalah Syaf Anton Wr dan M Faizi, dua penyair yang tekun membina komunitas-komunitas sastra di Madura. Di antara ketentuan teknis penyelenggara adalah usia penyair maksimal 30 tahun. Itu berarti, para penyair dalam buku ini merupakan generasi penyair Madura terkini, katakanlah generasi yang memulai karir kepenyairan mereka sekitar sepuluh tahun terakhir. Kiranya para penyair dalam buku ini masih akan berkembang, barangkali dengan eksplorasi, percobaan, dan intensitas yang lebih dalam. Demikianlah kita berharap.
Tapi dalam kerangka pertanyaan di atas, yang penting adalah hal berikut: dari 41 penyair ini, 38 orang berlatar belakang pendidikan pesantren dalam pengertian formal atau tradisional. Hanya 3 penyair berlatar belakang pendidikan non-pesantren (Royyan Julian, Sule Subaweh, dan Lukman Hakim AG). Angka ini mengkonfirmasi asumsi umum tentang besarnya peranan pesantren dalam kehidupan masyarakat Madura secara umum.
Apa yang dapat kita katakan tentang data tersebut? Tanpa bermaksud mengecilkan peran pendidikan non-pesantren, tak diragukan lagi bahwa pesantren-pesantren di Madura telah menyediakan lingkungan gembur yang memungkinkan puisi tumbuh dengan subur. Dalam 30 tahun terakhir, di berbagai pesantren sanggar sastra bermunculan, kegiatan-kegiatan sastra (dan seni) digalakkan, dan sejumlah publikasi sastra diterbitkan. Di sinilah bibit-bibit sastra khususnya puisi mula-mula disemai di pesantren. Dan demikianlah kehidupan sastra di pesantren kemudian begitu marak. Banyak penyair Madura memulai karir kepenyairannya dari pesantren.
Dilihat dari corak tradisional pesantren sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan khususnya di Madura, fenomena ini sebenarnya agak mengejutkan. Puisi dan sastra Indonesia modern bagaimanapun relatif baru di dunia pesantren. Bagaimanapun, secara tradisional pesantren adalah lembaga pendidikan ilmu-ilmu agama (Islam), dimana ilmu-ilmu agama (Islam) seringkali dibedakan secara diametral dengan ilmu-ilmu umum (“sekuler”). Dan, bukankah puisi dan sastra Indonesia tidak termasuk kategori ilmu agama (Islam)?
Dalam konteks ini kita perlu menelusuri bagaimana puisi Indonesia masuk ke pesantren, khususnya di Madura. Dan di sini kita masuk ke situasi makro yang dihadapi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam di Indonesia. Situasi makro itu dimulai setidaknya di awal abad ke-20, yaitu dengan munculnya gerakan modernisasi (pembaruan) Islam Indonesia. Seiring dengan gerakan modernisasi Islam yang cukup agresif pada masa itu, muncul pula kebutuhan atau bahkan tuntutan modernisasi pendidikan Islam. Maka muncullah dua model lembaga pendidikan Islam, yaitu sekolah Belanda yang diberi muatan pelajaran Islam, dan sekolah Islam yang dalam batas tertentu mengadopsi model pendidikan Belanda, yakni menggunakan sistem klasikal, kurikulum yang terencana, dan memasukkan mata pelajaran umum (“sekuler”). Tentu saja lembaga pendidikan modern Islam ini dimulai oleh kalangan Islam modernis.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren harus merespon tuntutan tersebut. Meskipun komunitas pesantren tidak setuju dengan agenda-agenda keagamaan kaum modernis, misalnya dalam menyikapi bid’ah dan khurafat, bagaimanapun pesantren harus “menyesuaikan diri” dengan perkembangan dan tuntutan-tuntutan baru. Tetapi, proses “penyesuaian diri” pesantren ini berlangsung alot. Pesantren cenderung sangat hati-hati dalam memodernisasi sistem pendidikan mereka, yang dalam arti tertentu merefleksikan ketegangan atau bahkan resistensi kalangan Islam tradisional terhadap kalangan Islam modernis. Mereka tidak dengan serta-merta mentransformasi diri menjadi lembaga pendidikan modern. Alih-alih, mereka mempertahankan tradisionalisme mereka dengan hanya mengadopsi segi-segi tertentu secara sangat terbatas dari pendidikan modern, di antaranya dengan memasukkan keterampilan, khususnya di bidang pertanian.
Di tengah kuatnya desakan modernisasi pendidikan, baik dari masyarakat maupun pemerintah, dari zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan, bagaimanapun pesantren menunjukkan kemampuannya dalam bertahan dengan tetap menjaga tradisionalisme mereka. Dalam konteks ini, pesantren tanpa ragu-ragu menjaga tradisionalisme pendidikan mereka dengan gigih, tetapi juga dengan daya lentur yang lambat-laun kian akomodatif. Terutama sejak zaman kemerdekaan dan seterusnya, dengan terus menjaga tradisionalisme mereka, pesantren kian terbuka dalam mengadopsi segi-segi modern dalam pendidikan. Dengan cara itulah pesantren tetap bertahan dan bahkan berkembang. Ini berbeda dengan lembaga pendidikan tradisional Islam di beberapa negara Muslim. Di negara-negara Muslim, misalnya di Turki, banyak lembaga pendidikan tradisional Islam mengalami kemunduran atau bahkan tutup sama sekali akibat kegagalan mereka memenuhi tuntutan modernisasi pendidikan, di samping karena desakan sosial dan politik yang kompleks.
Di masa-masa selanjutnya, pesantren kian akomodatif terhadap modernisme pendidikan. Mereka memang terus merawat segi-segi tradisional yang dipandang perlu terus dirawat sebagai tradisi yang baik, namun mereka kian intensif dan ekstensif mengakomodasi hal-hal baru yang dipandangnya relevan dengan tuntutan aktual dunia pendidikan. Kaidah al-muhâfadhatu `ala ‘l-qadȋm-i ‘s-shâlih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-jadȋd-i ‘l-ashlah (merawat tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) diterapkan pada berbagai bidang kehidupan secara luas. Demikianlah misalnya pesantren mempertahankan sistem sorogan, pada saat sama mereka menerapkan sistem klasikal. Demikianlah misalnya lagi pesantren menjaga sistemnya yang mandiri dan otonom, pada saat yang sama mereka mengakomodasi sistem pendidikan nasional. Dalam arti itu pesantren memiliki daya lentur, daya adaptif, daya adoptif, dan daya akomodatif.
Dengan cara itu pula, inovasi-inovasi baru di pesantren berkembang. Mereka tak hanya melayani pendidikan dengan sistem yang terus diperbaharui, melainkan juga melakukan inovasi di bidang pembangunan pertanian, pengembangan sektor-sektor ekonomi, dan lain sebagainya. Dengan cara itu pulalah pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga berkembang dan tetap relevan dengan tuntutan masyarakat modern ―dan di sini Sutan Takdir Alisjahbana, yang dalam Polemik Kebudayaan memandang pesantren sebagai masa lalu yang ketinggalan zaman dan karenanya harus ditinggalkan, keliru.
Kemampuan pesantren beradaptasi dengan tuntutan modernisasi pendidikan Islam dan mengadopsi sistem pendidikan modern ini berimplikasi pada terjadinya perubahan-perubahan cukup dramatis di tubuh pesantren. Kurikulikum direvisi secara radikal, dengan memasukkan ilmu-ilmu umum (“sekuler”) sebagai bagian integral dari kurikulum tradisional. Jurusan-jurusan umum dibuka bahkan sampai perguruan tinggi. Kategori ilmu agama dan ilmu umum (“sekuler”) pun kian cair dan tak lagi normatif. Sistem klasikal diterapkan secara lebih luas, dari tingkat paling bawah sampai perguruan tinggi. Dengan tetap mempertahankan sarung dan peci sebagai pakaian tradisional pesantren, celana dan sepatu serta dasi dan jas mulai digunakan sebagai pakaian sah pesantren. Perubahan-perubahan cukup dramatis ini hampir secara keseluruhan mengubah wajah pesantren tanpa kehilangan tradisionalisme mereka.
Dalam pada itu, seiring dengan mobilitas sosial-ekonomi umat Islam terutama dengan lahirnya kelas menengah Muslim ―apa pun definisi kita tentang itu― di banyak daerah, pesantren menyediakan sistem pendidikan untuk melayani kebutuhan pendidikan anak-anak kelas menengah Muslim ini. Kelas menengah Muslim ini memiliki gairah keislaman yang tinggi, namun tidak melulu berorientasi pada ilmu-ilmu Islam, melainkan pada berbagai disiplin ilmu yang kelak akan memberikan peluang sosial lebih luas. Sudah pasti mereka berorientasi pada sistem pendidikan modern, dengan fasilitas pendidikan yang lebih memadai dan wawasan yang lebih terbuka. Dalam konteks itu, pesantren secara kreatif mengakomodasi tuntutan-tuntutan baru pendidikan anak-anak kelas menengah Muslim. Ini adalah contoh kasus lain di mana pesantren mengakomodasi tuntutan modernisasi pendidikan Islam.
Apa yang penting dari perubahan cukup dramatis di dunia pesantren itu adalah bahwa dengan kelenturan dan kemampuan mereka beradaptasi dengan tuntutan modernisasi pendidikan, pesantren telah membuka diri terhadap dunia luar. Setelah terbukti berhasil menjaga tradisionalisme mereka di satu sisi, dan kian menyadari bahwa modernisasi pendidikan tak mungkin dielakkan di lain sisi, pesantren selanjutnya membuka diri lebar-lebar. Demikianlah maka pesantren telah membuka jalan bagi masuknya hal-hal baru dari luar: olahraga, kesenian, keterampilan, dan lain-lain, termasuklah sastra Indonesia modern terutama melalui pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai mata pelajaran umum. Dari sinilah puisi dan sastra Indonesia mulai hidup dan tumbuh di pesantren.
Memang, di pesantren secara tradisional diajarkan ilmu sastra Arab, yakni ilmu balâghah, dari tingkat yang sederhana hingga tingkat yang cukup tinggi. Tetapi, ilmu balâghah tampaknya tidak membuka jalan bagi masuknya sastra Indonesia ke pesantren. Puisi yang lahir dan tumbuh di pesantren pada mulanya adalah puisi Indonesia modern. Ia tidak mengacu pada puisi Arab tradisional sebagaimana diajarkan dalam ilmu balâghah. Dan, meskipun ilmu balâghah sudah diajarkan jauh sebelum sastra Indonesia masuk ke pesantren, bagaimanapun sastra Indonesia relatif terlambat masuk dan berkembang di pesantren itu sendiri. Bahkan hingga perkembangannya kemudian ketika sastra Indonesia sudah masuk ke pesantren, dapat dikatakan bahwa sastra Arab dan ilmu balâghah masih tetap teralienasi dari kehidupan sastra Indonesia di pesantren, atau sebaliknya sastra Indonesia di pesantren teralienasi dari ilmu balâghah.
Hal itu bisa difahami, karena tujuan diajarkannya ilmu balâghah adalah memberikan wawasan dan peralatan kepada santri untuk memahami dengan lebih baik ilmu-ilmu Islam dan sumber ajarannya, Al-Qur’an dan Hadis. Kiranya bisa difahami pula kalau di awal pertumbuhan puisi dan sastra Indonesia di pesantren, ilmu balâghahtidak turut menyuburkan maraknya kehidupan puisi dan sastra Indonesia di pesantren itu sendiri. Bahkan sampai sekarang, secara umum ilmu balâghah dan sastra Indonesia di pesantren masih teralienasi satu sama lain.
Khususnya dalam 30 tahun terakhir, pesantren di Madura tumbuh dalam dinamika dan ketegangan situasi makro tersebut. Tidak mengherankan kalau sastra Indonesia pun relatif terlambat masuk ke pesantren di Madura. Tetapi, pesantren di Madura secara kreatif dan intensif segera mengakselerasi dinamika kehidupan sastra Indonesia ―yang baru masuk itu― di dalam dirinya. Mereka melipatgandakan kegiatan-kegiatan sastra, mengintensifkan komunikasi dengan komunitas-komunitas sastra, mengikuti forum-forum sastra di luar pesantren, menambah buku-buku sastra untuk perpustakaan, menyemarakkan publikasi karya sastra, dan lain sebagainya. Maka, dibanding jenis-jenis seni modern lain, sastra Indonesia tampaknya merupakan jenis seni modern yang paling hidup di pesantren-pesantren di Madura hingga sekarang.
Tentu saja, fenomena lahirnya puisi Indonesia dari lingkungan pesantren di Madura hanyalah fenomena mikro dari fenomena lahirnya sastra Indonesia modern dari lingkungan pesantren yang lebih luas, baik secara diakronik maupun sinkronik. Sastrawan-sastrawan Indonesia berlatar belakang pendidikan pesantren bagaimanapun sudah lama muncul, seperti Djamil Suherman, A Mustof Bisri, Ahmd Tohari, dan Emha Ainun Nadjib. Juga dari generasi berikutnya seperti Acep Zamzam Noor, Abidah El-Khalieqy, dan Habiburrahman El-Syirazy ―untuk sekadar menyebut beberapa nama. Lahirnya penyair dan sastrawan berlatar pendidikan pesantren ini tentu saja secara kultural mengintegrasikan pesantren ke dalam sistem sastra Indonesia modern. Lebih dari itu, fenomena lahirnya penyair-penyair Madura menunjukkan sesuatu yang lebih jelas lagi, yaitu bahwa pesantren adalah satu faktor dalam sastra Indonesia, khususnya dalam skala lokal di Madura sendiri.
Dari Khazanah Madura dan Pesantren
Kita telah melihat latar sosial penyair-penyair Madura dalam buku ini. Mereka adalah orang Madura yang tentu saja hidup dengan segala tradisi dan khazanah Madura, pada saat yang sama kebanyakan dari mereka adalah orang pesantren yang tentu juga hidup dengan berbagai tradisi dan khazanah pesantren. Tidaklah mengherankan kalau dalam buku ini kita menemukan jejak-jejak kemaduraan dan kepesantrenan dengan relatif jelas. Jejak-jejak itu terlihat terutama dari tema dan berbagai diksi atau idiom yang secara langsung memberikan asosiasi pada Madura atau pesantren. Tapi bagaimanapun, mereka adalah penyair Indonesia, yang karenanya tidak mengherankan pula kalau banyak puisi mereka tidak memiliki acuan langsung baik pada Madura maupun pesantren.
Penting dikemukakan bahwa, meskipun kebanyakan penyair ini berlatar belakang pendidikan pesantren, penyair yang menggali tema atau menggunakan idiom-idiom Madura ternyata lebih banyak dibanding penyair yang menggali tema dan menggunakan idiom-idiom pesantren. Warna atau corak Madura dapat kita temukan misalnya pada puisi A Warits Rofi, Ahmad Subki, Badrul Munir Khair, Bernando J. Sujibto, Farid Kacong Alif, Kamil Dayasawa, Khairul Umam, Nurul Ilmi El-Banna, Selendang Sulaiman, Subaidi Pratama, Sule Subaweh, Syarifullah, Umar Fauzi Ballah, dan Zainul Muttaqin. Sementara, corak atau warna pesantren kita temukan misalnya dalam puisi Raedu Basha, Sofyan RH Zaid, dan Syarifullah. Dengan demikian, tampak bahwa Madura dengan segala seginya merupakan tempat mayoritas penyair mencari dan bergulat untuk puisi mereka, tentang alamnya, tradisinya, manusianya, kenangan tentangnya, dan lain sebagainya.
Sudah tentu perlu pembahasan tersendiri tentang bagaimana dan sejauhmana para penyair muda ini menimba inspirasi dari sumber-sumber khazanah Madura. Untuk memberikan sedikit gambaran tentang itu, di sini saya kutip puisi Subaidi Pratama (dimuat dalam buku ini):
KASIDAH AIR HUJAN
Rintik-rintik air hujan menitik
Jatuh ke tanah mengubur terik
Semak dan rumputan bersemi di tubuh bumi
Bunga siwalan manari-nari di ranting sunyi
Tinggal sepetak ladang kami
Lagi mungkin akan tercuri
“Yale’-yale’ aduh ghellang soko”
Tanah mengalunkan lagu
Langit menjerit sedalam kalbu
Anak-anak senang mandi air hujan
Para pembajak menyelamkan badan
Di sana, aku saksikan kasidah air hujan
Membelai segala ranting hingga dahan
“Yale’-yale’ aduh ghellang soko”
Kutatap burung-burung merunduk ke lereng-kali
Perlahan-lahan akar pohon pun menusuk rusuk bumi
Ketika hujan lama mengalir ke perasaan
Betapa dingin dekap Tuhan kurasakan
“Dingin, dingin,” kataku
“Sejuk, sejuk,” hujan terus berlagu
Dan terus berlagu di ruang kalbu.
“Yale’-yale’ aduh ghellang soko” adalah satu baris lirik lagu tradisional Madura. Secara harfiah ia berarti “Yale’-yale’ aduh gelang kaki”. Lagu itu merupakan ungkapan kekaguman yang romantis dari seorang pria yang jatuh hati terhadap seorang perempuan. Si pria mengantar perempuan itu pulang ke rumahnya melewati pinggiran sawah pepadian yang mulai menguning. Si pria benar-benar jatuh hati dan mengagumi kecantikannya: senyumnya, lambaian tangannya, cara berjalannya. Misalnya dikatakan bahwa senyum perempuan itu bagai bulan purnama. Dia juga mengagumi pakaian tradisional yang dikenakan perempuan pujaannya: gelang kaki,sampèr (sarung wanita) cingkrang, dan anting-anting. Mengikuti sang perempuan dari belakang, si pria merasa cemas kalau-kalau perempuannya jatuh di jalan setapak yang licin itu. Juga cemas bisakah si pria mendapatkan gadis pujaannya. Dalam suasana itu semua, lagu tersebut bernada romantis dan berbunga-bunga, namun juga dibayangi perasaan cemas.
Dengan mengutip larik “Yale’-yale’ aduh ghellang soko”, Subaidi Pratama membawa suasana romantis dan berbunga-bunga yang dibayangi kecemasan itu ke dalam puisinya. Dan suasana lagu tradisional Madura itu memang sejalan dengan suasana dalam puisi tersebut, namun dalam konteks yang berbeda. Dalam lagu tradisional Madura, suasana romantis terbangun oleh jatuh hati seorang pria pada seorang perempuan. Dalam puisi Subaidi Pratama, suasana romantis terbangun oleh perasaan gembira seorang petani karena hujan turun, yang dibayangi perasaan cemas kalau-kalau pertaniannya dicuri orang. Tapi bagaimanapun, sebagaimana juga dalam lagu tradisional Madura itu, dalam puisi Subaidi perasaan senang lebih besar dibanding perasaan cemas:Ketika hujan lama mengalir ke perasaan/ Betapa dingin dekap Tuhan kurasakan//…//“Dingin, dingin,” kataku/ “Sejuk, sejuk,” hujan terus berlagu/ Dan terus berlagu di ruang kalbu.
Kalau Subaidi Pratama menggali khazanah Madura dari tradisi keseniannya, Selendang Sulaiman menggali segi lain dari tanah kelahirannya, yaitu idiom-idiom Madura dan manusianya. Dalam hal terakhir adalah petani tembakau. Puisinya “Daun Kehidupan” (dimuat dalam buku ini) secara eksplisit ditujukan kepada mereka. Yang dikemukakannya tentang petani tembakau adalah pandangan romantik: hijau daun tembakau adalah kilau yang segar. Sebab, bertani tembakau tak lain adalah ibadah siang-malam yang tak kenal waktu, bahkan tak kenal cuaca:dingin dan panas sebatas pertemuan/ antara kehadiran dan kepergian di sajadah alam. Selebihnya adalah rasa syukur: puji-pujian dipanjatkan/…/ lalu semerbak kebahagiaan berkabar ke kota-kota.
Dalam perspektif berbeda, Ahmad Subki juga berbicara tentang petani tembakau Madura. Puisinya yang berjudul “Fragmen Hujan dalam Sebuah Lukisan” dia persembahkan kepada mereka. Dengan halus sekali puisi Ahmad Subki mengemukakan jeritan pedih mereka. Banyak petani tembakau Madura memang seringkali menderita kerugian akibat ketidakpastian cuaca dan terutama ketidakpastian harga tembakau. Bahkan harga tembakau terkesan dipermainkan di musim panen. Tapi dalam puisi Ahmad Subki, jeritan pedih petani terutama disebabkan oleh ketidakpastian cuaca, dimana hujan bisa turun tiba-tiba dan pasti merusak tanaman tembakau: sejenak ingin kukemas hujan dari lukisanmu/ sebab tak kuasa kurahasiakan derai airmata/ kalau senyum yang tertampung di ujung setiap daun/ harus sirna dirampas deras tetesannya
Meskipun tak ada kepastian cuaca dan harga, petani tembakau tetap bertani bila musim kemarau tiba ―masa pertanian tembakau memang di musim kemarau. Sebab, pada pertanian tembakaulah mereka menaruh harapan ekonomi sementara tak ada pilihan pertanian lain di musim kemarau. Pada titik itu tembakau seakan sebuah misteri yang tak terpahami: petani tembakau akan menderita kerugian, tapi toh pertanian tembakau tetap mesti dijalankan. Berkatalah seorang ayah kepada anaknya: anakku, kapan engkau akan paham?/ bahwa selaksa mimpi yang kita rangkai/ tersimpan pada lembaran daunnya yang menjuntai.
Saya kutip puisi Ahmad Subki, penyair asal Bangkalan, itu selengkapnya (dimuat dalam buku ini):
FRAGMEN HUJAN DALAM SEBUAH LUKISAN
: kepada para petani tembakau di Madura
kenapa tak kaugoreskan saja kemarau
dalam lukisanmu, anakku?
agar tembakau yang kita tanam
sempurna memaknai hijau
sejenak ingin kukemas hujan dari lukisanmu
sebab tak kuasa kurahasiakan derai airmata
kalau senyum yang tertampung di ujung setiap daun
harus sirna dirampas deras tetesannya
anakku, kapan engkau akan paham?
bahwa selaksa mimpi yang kita rangkai
tersimpan pada lembaran daunnya yang menjuntai
Pare, 2011.
Sementara itu, hubungan penyair Madura dengan khazanah pesantren merupakan satu dinamika sendiri. Telah dikemukakan bahwa penyair Madura pada mulanya hampir sepenuhnya berorientasi pada puisi Indonesia modern. Meskipun berlatar pendidikan pesantren, hampir sepenuhnya pula mereka tidak berorientasi pada khazanah pesantren, termasuk puisi Arab yang secara tradisional hidup di pesantren. Telah dikatakan pula bahwa ilmu balâghah pada mulanya tidak memberikan kontribusi langsung pada pertumbuhan sastra Indonesia di pesantren, bahkan keduanya teralienasi satu sama lain. Namun dalam perkembangan belakangan ini, tak syak lagi penyair Madura mulai mengarahkan orientasi kepenyairan mereka pada pesantren sebagai khazanah yang dapat digali untuk puisi, baik dari segi bentuk maupun tema.
Di atas telah dikutip puisi Faidi Rizal Alif yang mencoba mengadopsi bentuk puisi tradisional Arab untuk puisinya, dengan menjaga metrum (bahr/`arûdh) dan rima akhir (qâfiyah) secara ketat dan teratur. Hal serupa dilakukan oleh Sofyan RH Zaid, penyair yang puisinya dimuat dalam buku ini. Secara sadar Sofyan juga mengadopsi bentuk puisi tradisional Arab yang hidup di pesantren, yang dikenal dengan syi’ir dan nadham. Hanya saja, dia mengadopsinya secara agak longgar, terutama menyangkut metrum. Dia hanya mengadopsi larik yang terdiri dari dua bagian, dan menjaga rima akhir (qâfiyah) di setiap bagian akhir pada setiap larik puisinya. Berbeda pula dengan puisi tradisional Arab, dia memberi tanda pagar (#) di antara bagian pertama dan bagian kedua setiap larik puisinya. Tanda pagar (#) seperti itu biasa digunakan santri dalam menyalin syi’ir atau nadham. Bagaimanapun, dengan mengadopsi syi’ir dan nadham secara terbatas itu Sofyan mengaitkan puisi Indonesia dengan ilmubalâghah sebagai tradisi keilmuan pesantren.
Kiranya perlu dijelaskan sedikit tentang syi’ir dan nadham dalam tradisi pesantren. Sebagai bentuk puisi tradisional Arab, syi’ir dan nadham sebenarnya sama, dan seringkali memang digunakan sebagai sinonem. Namun pada umumnya keduanya dibedakan berdasarkan isi atau temanya. Syi’ir berisi nasihat, renungan keagamaan, doa, ajaran moral, dan sejenisnya, seperti syi’ir Abu Nuwas dan syi’ir Imam Syafi’i. Sedangkannadham berisi ilmu-ilmu Islam yang ditulis dalam bentuk puisi tradisional Arab (syi’ir), seperti ilmu nahwu dan ilmu aqidah. Di pesantren, baik syi’ir maupun nadham biasanya dinyanyikan. Dari kata nadham inilah di pesantren baik di Madura, Jawa, maupun Sunda dikenal istilah nadom atau nadoman, yang secara umum berarti puisi Arab yang biasanya dinyanyikan.
Berikut ini salah satu puisi Sofyan RH Zaid (dimuat dalam buku ini):
KAWIN BATIN
ruhku menikahi ruhmu # pusat jagat bertemu
maharku syahadat serta selawat # dalam penerimaan yang hakekat
wali malaikat saksi Allah # Nabi Muhammad mengucap sah
pengantin ruh menuju sungai # terseret arus ke pantai
di bawah janur bercumbu # butir pasir pecah seribu
perlahan menaiki perahu # melayari lautan hu
ombak hu, riak hu # seluruh penjuru jadi hu
huku dan humu berpelukan # sepanjang angin surga pelayaran
berenang Rumi dan Hafis # gerimis perlahan turun tipis
bulan meleleh madu # bintang saling berpadu
Bakar dan Umar hadir # Usman dan Ali mencair
ruh kita satu tuju # lebur menyatu dalam hu
berloncatan ikan abad # menuju pulau ahad
saat perahu berlabuh # hu begitu riuh
: hu hu hu hu # hu hu hu hu
2014.
Penyair yang juga intens menggali khazanah pesantren adalah Raedu Basha, terutama secara tematik. Dalam puisi-puisinya, Raedu menulis tentang ulama-ulama pesantren, yang secara umum mengekspresikan hubungan khas antara seorang santri dengan kiainya. Lebih dari sekadar hubungan murid dan guru atau mahasiswa dan dosen, hubungan santri dengan kiainya adalah juga hubungan moral, emosional, dan kerohanian sekaligus. Hubungan santri dengan kiainya adalah hubungan batin hampir-hampir secara total dan kekal, dengan berbagai seginya yang kompleks. Kiai senantiasa memancarkan emanasi kerohaniannya, dan sang santri selalu ingin mendapatkan berkah emanasi kerohaniannya itu.
Demikianlah maka hubungan santri dan kiainya terus berlangsung meskipun sang santri tak lagi belajar secara formal pada sang kiai, atau bahkan meskipun sang kiai telah lama meninggal dunia. Hubungan mereka abadi secara moral dan terutama secara spiritual. Ziarah ke makan seorang kiai bukan saja untuk mendoakan sang kiai (dan diri sendiri), melainkan juga mengintensifkan hubungan batin dan kerohanian sang santri dengan kiai itu sendiri, dan pada akhirnya untuk memupuk dimensi-dimensi kerohanian santri itu sendiri: … di tubuh makammu bunga-bunga/ pernah kupetik setangkai lantas membangga/ manakala darahku dan mawar sama merahnya/ tapi kadang nafsu ini lupa bahwa esensi diri/ hanya sebatang dahan dari bunga makam tuan/ yang jatuh dan menjauh terhanyut aliran bengawan….
Petikan puisi Raedu Basha berikut mengemukakan segi-segi kompleks dari hubungan moral dan spiritual santri dengan kiainya dalam kultur pesantren (dimuat dalam buku ini):
BUNGA DI MAKAM KIAI SYARQAWI
aku titisan tuan, apa beda wajahku daripada nisan wajahmu
aku seonggok muda hakekatnya mati daripada tidurmu yang berarti
jariyah sejati, mengekal dalam ingatan setiap santri
kau membujur kini, di tubuh makammu bunga-bunga
pernah kupetik setangkai lantas membangga
manakala darahku dan mawar sama merahnya
tapi kadang nafsu ini lupa bahwa esensi diri
hanya sebatang dahan dari bunga makam tuan
yang jatuh dan menjauh terhanyut aliran bengawan
makna apa gerangan membujurkan tuan di sini
seorang Jawa tapi mematri di pulau Madura
barangkali asin garam dan bau sirih tembakau
mengetahui perihal lampau
rahasia-rahasia perjalanan sepulang berhaji
mendamparkanmu ke tanah ini, Guluk-guluk
cahaya terguling-guling dari bukit suci
menubuhkan aroma jannah ke bumi
menumbuhkan bunga dari rahim samadi
ke pekarangan seputar Kandang Jaran ini
tanah yang meminta jejak telapak kakimu menginjak
memohon kau khidmat menebarkan syafaat
….
***
Antologi puisi Ketam Ladam Rumah Ingatan setidaknya menunjukkan fenomena perpuisian Indonesia di Madura sebagai salah satu eksemplar puisi Indonesia mutakhir. Maraknya kehidupan dan cukup tingginya produksi puisi (dan sastra) Indonesia dari penyair-penyair Madura tentu saja menggembirakan, dengan mutu puisi mereka ―paling tidak sebagiannya― yang tidak mengecewakan. Penyair-penyair dalam antologi ini masih relatif muda. Pastilah mereka masih akan terus berkembang, terus menggali kemungkinan-kemungkinan yang selama ini mungkin tak terpikirkan dalam puisi Indonesia. Hal itu memberikan harapan dan membangkitkan optimisme, bahwa dari Madura akan terus lahir puisi-puisi yang akan memberikan sumbangan penting pada sastra dan kebudayaan Indonesia.
Sebagai penutup, satu pertanyaan perlu direnungkan bersama: bagaimana caranya agar Madura sebagai taman subur bagi puisi dan sastra Indonesia mampu bertahan, atau bahkan lebih subur lagi?
Sebab puisi adalah … ombak/ berdebur/ mamanjang/ mencari diam/ yang hilang/ di dalam engkau. Salam. []
Pondok Cabe, 29 Januari 2016
Tulisan ini merupakan pengantar buku Jamal D. Rahman (editor), Ketam Ladam Rumah Ingatan: Antologi Puisi Penyair Muda Madura (Jakarta: Lembaga Seni dan Sastra Reboeng, 2016).

Tidak ada komentar: