SELAMAT DATANG TO MY
Rumah karya moh. ghufron cholid, anda bisa bertamasya sambil membaca semua karya dan bisa mengomentarinya dengan penuh perenungan dan berdasar selera masing-masing. Jangan lupa ngisi data kehadiran.Ok!

Sabtu, 20 Februari 2016

BUKU PUISI DAN KESEPRITUALAN YANG BLAKBLAKAN



BUKU PUISI DAN KESEPRITUALAN YANG BLAKBLAKAN
(Esai Apresiasi Atas Buku Puisi Panyalai Hilda Winar)
Oleh Moh. Ghufron Cholid*

Hilda dan Panyalai bagaikan bunga dan tangkai saling memberi makna,Hilda menggali cahaya yang tersembunyi dengan santun kadang pula dengan mata sinis. Moh. Ghufron Cholid

Panyalai merupakan buku puisi Hilda Winar yang diterbitkan oleh HW Project tahun 2015 dengan dua bahasa yakni Indonesia-Inggris dengan tebal buku 47 halaman, dengan penerjemah Narudin dengan judul Light, memuat 20 puisi.
Panyalai adalah nama yang begitu menyita pemikiran saya selaku pembaca, saya pun diburu rasa penasaran kemudian saya memutuskan untuk mengetahui Panyalai dengan cara berselancar di dunia maya dan mendapatkan pengetahuan seputar Panyalai seperti yang dituturkan di wikipedia, Suku Panyalai merupakan salah satu suku di Minangkabau. Saat ini banyak ditemui di daerah rantau Pariaman (Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman) seperti Nagari Kayutanam, Kuraitaji, Ulakan, Sintuk Toboh Gadang, Tapakis, Sicincin, Lubuk Alung, dsb. Jika dirunut dari asal muasalnya dapat disimpulkan suku Panyalai berasal dari Nagari Batipuh X Koto Luhak Tanah Datar, daerah ketiga didiami oleh nenek moyang orang Minangkabau setelah Pariangan (daerah asal), Sungai Tarab dan Limo Kaum.
Langkah kedua yang saya tempuh untuk lebih mengakrabi Panyalai yakni dengan mencarinya di dalam buku, apakah diambil dari salah satu judul puisi yang termuat dalam buku tersebut, jawabannya tidak. Dalam pengembaraan atau pembacaan saya seputar buku Panyalai ditemukan bahwa Hilda Winar dalam memberikan judul atau nama pada tiap puisi-puisinya terkesan sederhana, saya menduga yang ditempuh Hilda adalah jalan untuk lebih mengakrabkan puisi-puisinya pada pembaca dengan mempertaruhkan amanat pesan dengan mengenyampingkan judul-judul yang rumit.
            Tema spritual lebih dominan dibandingkan tema cinta dan tema pahlawan maupun sosial. Kita bisa menemukannya dalam puisi-puisi berikut DI PEMAKAMAN IBU, NYANYIAN SETENGAH ABAD, HUJAN dll.
            Berulangkali saya membaca puisi-puisi dalam buku ini dan pilihan saya jatuh pada KANDANG HAUR, saya seakan tak bisa berpaling untuk membacanya dan terus diburu rasa penasaran, dalam puisi tersebut saya menduga puisi ini lahir dari pengamatan yang berulang-ulang. Berikut saya posting utuh puisinya,
Hilda Winar
KANDANG HAUR

Rembulan kandang haur tak akan pernah bulat
Sepenuh bulat
Sampai indonesia benar benar merdeka
Bisik jaka sembung sepanjang palimanan

Kandang Haur, 8 April 2015
Puisi ini semacam menjadi puisi kesaksian Hilda Winar atas segala yang disaksikan secara berulang, larik pertama dan kedua adalah penegasan penyair atas hasil pengamatan yang dilakukan, sementara larik ketiga dan keempat merupakan sudut pandang penyair atau tafsiran penyair atas kejadian aneh yang disaksikannya.
Dalam puisi tersebut Hilda menyebutkan nama seorang tokoh yakni Jaka Sembung, jika kita membaca berulang-ulang mengingatkan akan suatu hal yang sangat populer didengar oleh telinga kita yakni jaka sembung bawa golok nggak nyambung goblok, sepintas kita memang mempopulerkan nama tersebut namun tidak pada tempatnya kalau tidak mau dikatakan memberikan pandangan sinis pada tokoh bernama Jaka Sembung yang merupakan pahlawan dan pernah hidup di negara bernama Indonesia.
Puisi ini hendak menegaskan bahwa hakikatnya seandainya Jaka Sembung masih hidup dan mendengar namanya disebut berulang-ulang namun memekakkan telinga tentu akan menimbulkan rasa kesal bisa berujung pada kutukan namun karena Jaka Sembung sudah tiada dan Kandang Haur merupakan tempat saksi mata keberadaan Jaka Sembung maka daerah tersebut tak pernah benar-benar menikmati keindahan bulan purnama dengan sempurna.
Selain puisi berjudul Kandang Haur. Puisi berjudul Ziarah 2 merupakan puisi yang saya suka meski disajikan dengan bahasa yang sederhana. Puisi ini menerangkan tentang kematian. Tentang tiga hal yang akan menjadi teman sejati saat kematian menyapa yakni amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh, jika ketiga hal itu tak dimiliki sama sekali maka yang akan didapat hanyalah kesepian dan rasa cekam.
Hilda menuturkan, suatu ketika kita akan berbaring bersama/berteman kamboja meranggas (Ziarah 2), puisi ini hanya disajikan dalam sebait yang hanya berisi dua larik namun mampu membahas kematian dengan sangat mendalam.
Ziarah 2 juga sebagai penegasan bahwa pada hakikatnya semua makhluk hidup akan binasa, kecuali Allah yang kekal abadi. Karena manusia tak abadi maka perbekalan pulang harus ada, jika tidak ada maka hanya pedih-perih yang akan senantiasa menemani.
Paling tidak Panyalai telah terbit dan telah diperkenalkan kepada pembacanya dengan ragam rupa dalam memandang ragam aspek kehidupan. Dalam buku ini, terkadang Hilda berada dalam dunia spritual yang begitu nakal dan terkesan sangat blakblakan. Puisi berjudul Hujan merupakan puisi yang tak mau berbasa basi kepada dirinya dan kepada kita pada para pembaca. Berikut saya posting utuh puisinya,
HUJAN

Sabar,
Tuhan sedang sibuk
mengajarkan tanda koma pada hujan
yang bersikeras mengajariku
arti gigil

Cilangkap, 9 Februari 2015
Puisi ini bisa jadi merupakan cara Hilda menggambarkan keinginan manusia yang serba instan, yang selalu ingin mendapatkan apa yang dipinta. Kendati dalam hadits qudsi Allah menegaskan, Panggil Aku (berdoalah padaKu) niscaya Aku kabulkan namun puisi hujan Hilda seakan menegaskan bahwa segalanya ada proses. Kendati Allah telah menjamin setiap doa pasti dikabulkan namun harus ada penyeimbangan antara usaha dan doa, sebagaimana Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya dalam enam masa, tidak langsung menggunakan Kun FayakunNya.

Biodata Penulis
Moh. Ghufron Cholid adalah nama pena Moh. Gufron, S.Sos.I lahir di Bangkalan, 7 Januari 1986 M. Menulis puisi, cerpen, pantun dan esai terbit di beberapa media baik di dalam maupun luar negeri. Pendiri Pesantren Penyair Nusantara bermukim di Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. HP 087759753073

Sumber tulisan Esastera Kritikan
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10206016081108038&set=gm.1679345635672787&type=3&theater

Tidak ada komentar: