Oleh : Moh Ghufron Cholid*)
Meski ruh adalah urusan Allah Yang Maha Agung, penyair juga memiliki
hak membahasnya, barangkali sebagai bahan permenungan meski hanya
membahas ruh secara permukaan. Moh. Ghufron Cholid
Siang ini saya berhadapan dengan puisi-puisi jiwa Dewi Nurhalizah
yang disiarkan di media konfrontasi yang diasuh oleh penyair Warih W
Subekti.
Dewi Nurhaliza menghadirkan ragam puisi yang membahas tentang jiwa,
ada pun puisi-puisi tersebut berjudul 1) Jiwa yang Tenggelam 2) Jiwa
yang Tidak Terpaku Aksara dan Angka 3) Jiwa Yang Bergetar, Jiwa Yang
Terjaga.
Saya mencoba berdamai dengan hati, meski saya tahu permasalahan ruh
adalah hak Allah sepenuhnya, rasanya kurang arif bila saya mengabaikan
pandangan penyair Dewi Nurhaliza yang membahas tentang ruh.
Sebagai manusia yang bertuhan saya meyakini tak ada yang tahu tentang
ruh kecuali Allah namun sebagai manusia yang ingin tahu dan ingin
menambah ilmu, tak ada salahnya bila saya bersabar mengembara di tiga
puisi yang telah dipaparkan penyair.
Saya meyakini ilmu yang dimiliki manusia serba terbatas oleh sebab
itulah saya beranggapan mendengarkan pandangan orang lain bukanlah suatu
dosa.
Mendengarkan dengan khidmat barangkali akan menambah pengetahuan
tentang ruh lewat pandangan manusia, yang dalam hal ini diwakili oleh
penyair Dewi Nurhalizah, Malang.
Jiwa yang tenggelam, kata Dewi. Saya seakan tersentak dan langsung bergerak memasuki dunia idea yang dicipta penyair.
Bukankah telah jelas difirmankan Allah bahwa manusia hanya diberi
sedikit ilmu, dari yang sedikit jika terus dikumpulkan akan menjadi
bukit, begitulah pepatah lama berbunyi seakan ingin menanamkan keyakinan
bahwa yang saya lakukan tidaklah salah.
Jiwa yang Tenggelam, kembali Dewi berucap seakan ingin menggerakkan
hati saya untuk terus memantapkan keyakinan bahwa yang saya tempuh
bukanlah jalan dosa. Bahwa bisa jadi tambahan ilmu baru khususnya bagi
saya pribadi dan bagi kawan pembaca lain yang ingin mengetahui sebuah
pandangan orang lain, yang kadang kala sangat enggan untuk ditempuh.
Saya teringat peribahasa Arab yang terjemahan bebasnya kurang lebih
seperti ini, gerakkan tanganmu niscaya engkau makan. Yang kalau ditarik
ke lain permasalahan, dengarkan pandangan orang lain niscaya kau
dapatkan tambahan ilmu.
Yang dilakukan Dewi Nurhaliza membahas ruh saya kira baik sebagai
tambahan informasi bagi yang lain. Bukankah ruh sangat halus dan penyair
Dewi mencoba membuka tabir ruh dengan tangan halusnya dan tentunya
dengan pandangan yang tak utuhnya sempurna, sebab kesempurnaan hanya
milik Allah.
Apakah yang dimaksud jiwa yang tenggelam dalam puisi Dewi? Suatu
keinginan untuk meniadakan diri dan yang ada hanya Allah hanya saja yang
dilakukan Dewi untuk menjadi jiwa yang tenggelam dilakukan dalam bentuk
doa.
Dalam puisi ini sejatinya penyair mengakui tak memiliki pengetahuan
untuk membahas ruh, maka jalan yang ditempuh untuk menjadi jiwa yang
tenggelam dengan melakukan doa-doa.
Paling tidah wahdatul wujud yang telah dicapai oleh Syeikh Siti Jenar
dan konsep ana alhaq yang dimiliki alhallaj sejatinya bentuk
penghormatan pada Allah, ketika manusia mencapai maqom puncak sejatinya
yang tampak hanyalah Allah, sejatinya kedua tokoh tersebut secara
gamblang ingin berucap kami hanya milik Allah, tiada kuasa menyatakan
diri kami ada sebab yang membuat kami ada semata-mata kuasa Allah.
Lewat puisi jiwa yang tenggelam sejatinya Dewi Nurhalizah telah
melakukan upaya seperti yang pernah dilakukan oleh Syeikh Siti Jenar dan
Alhallaj bedanya Dewi melakukan dengan ritual doa untuk senantiasa
dekat dengan Allah.
Hal ini bisa dimaklumi mengingat penyair memposisikan diri sebagai
hamba yang sangat ingin dekat dengan TuhanNya walau disadari belum
memiliki tingkatan sebagai kekasih yang begitu menyatu dengan Tuhannya.
Paling tidak keingan Dewi begitu sangat tampak ingin berdekatan
dengan Allah pada larik, dan tidalah aku/walau sedebu. Bisa dikatakan
Dewi secara tujuan dan kekerabatan makna telah melakukan upaya serupa
Syeikh Siti Jenar lewat Wahdatul Wujud dan Alhallaj lewat konsep ana
alhaq.
Dalam puisi berjudul Jiwa yang Tidak Terpaku Aksara dan Angka
sejatinya penyair ingin mengungkap bahwa keindahan hanya milik Sang
Maha. Tak ada keindahan, di atas keindahan melebihi keindahan Allah.
Konsep yang dipakai adalah Allah itu indah dan menyukai keinda han.
Dalam puisi Jiwa Yang Bergetar, Jiwa Yang Terjaga sejatinya penyair
ingin berbagi pandangan bahwa kecintaan hamba pada Allah mampu membuat
seorang hamba terjaga meninggalkan rayuan bantal, kasur dan guling yang
menawarkan mimpi indah. Keindahan Allah telah meredupkan segala bentuk
keindahan yang ada.
Malam laylatul qotal adalah salah satu bentuk keindahan yang menjadi
media penggerak untuk mencapai keindahan sejati, cinta yang sejati,
ampunan yang sejati yang hanya mampu diberikan Allah.
Puisi-puisi jiwa Dewi Nurhalizah selengkapnya bisa dibaca di media konfrontasi, selamat membaca dan menemukan ragam hikmah.
Jiwa yang Tenggelam
yaa robbana yaa robbana oh yaa robb
izinkan kuletakkan cinta di ujung malam
pada sunyi tatkala luh menetes perlahan
ketika pedih dan malu menikam dalam
oh yaa robb yaa robbana yaa robbana
tenggelamkanku dalam diam
seperti kehendakMU
dan tiadalah aku
walau sedebu
malang, 072014
Jiwa yang Tidak Terpaku Aksara dan Angka
utas-utas kemilau mengintip dari kisi-kisi langit
mencari jiwa sunyi yang ditetapkan dalam perjanjian
jiwa yang diam dalam keramaian
tak berangka tanpa aksara
tenang bertabur bintang
tak mengombak di luasan samudera
melandai lembut di tepian
menghapus jejak silam
dalam diam
utas kemilau menanti
serasa tak sabar segera bertebar
jemput kekasih yang dimulyakan zaman
yang tak silau dalam kemilau fatamorgana
tak merisau mega-mega ilusi, tenang meniti gelombang
adalah jiwa yang tidak terpaku pada hitungan hari
tak terpedaya segala ikhwal janji sorgawi
tak risau akan siksa tak terperih
tetapi sepenuh cinta di ketulusan hati
seyakin penuh akan nikmat kumandang dari arasy
tiada lebih indah selain leluasa menatap keindahan Sang Maha
malam bertaburan cahaya
malam kudus yang sejuk dan tenang
bertabur bintang mengiring helai cahaya seribu bulan
malam yang mengantarkan lelap pada jiwa-jiwa lena
malam uji pada ketulusan hati akan sebenar cinta
kesejatian yang tak perlu diungkap dalam kata
tanpa menghitung putaran tasbih, bergulir
menderas airmata berharap maghfira
malang, 072014
Jiwa Yang Bergetar, Jiwa Yang Terjaga
oleh dewi nurhalizah
dan pada malam seribu bulan
jiwa-jiwa tafakur dalam
selisiki daki diri
mendaki tangga iman
menadah pinta pengharapan
bias emas cahaya illahi
pada siapakah DIA berkenan
guyur percikan cahaya di atas cahaya
adalah jiwa yang tulus mencinta
berserah meniti seutas dibelah tujuh,
tanpa prasangka
lepaskan dhalim tertatih melangkah
mencapai puncak dari segala ketinggian,
pada rahman dan rahim jungjung asmaNYA
Maha Pengasih Maha Penyayang
satu di dalam SATU
lalu gerbang langit terbuka
sambut jiwa sang pecinta
hamparan permadani cahaya
dan shalawat selamat datang
mengumandang langit tujuh petala
semesta diam menunduk dalam
angin tak mampu mendesau
dan serangga malam tak suara
dedaun membisu terpesona
malam hening, sunyi senyap
hanya kerlip bintang berpendar
saksi limpahan kemulyaan
la ilaha ilallah
la ilaha ilallah
la ilaha ilallah
l a i l a h a i l a l l a h
rumput-rumput bergetar
daun-daun bergetar
semesta bergetar
jiwa terjaga gemetar
dalam hening,
bening
oh, jiwa-jiwa yang terlelap
bangunlah bangunlah bangun
sambut dengan suka cita
malam seribu bulan
malam ampunan
malam cahaya
duhai jiwa,
nikmat yang mana lagi dari Tuhanmu yang engkau dustakan
probolinngo, 072014
Sumber http://www.konfrontasi.com/content/budaya/jiwa-jiwa-yang-menghidupkan-tuhan