SELAMAT DATANG TO MY
Rumah karya moh. ghufron cholid, anda bisa bertamasya sambil membaca semua karya dan bisa mengomentarinya dengan penuh perenungan dan berdasar selera masing-masing. Jangan lupa ngisi data kehadiran.Ok!

Kamis, 16 Oktober 2014

MENYANDINGKAN PUISI MOH. GHUFRON "MENGGAMBAR RUPA CINTA BANGSA" DAN PUISI SUTARDJI "TANAH AIRMATA" DALAM PERSPEKTIF MENCINTAI INDONESIA

Oleh Janus A Setya

"Indonesia lahir dari puisi. Teks Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 1928 adalah puisi yang berisi tentang imajinasi Indonesia yang satu."
(Sutardji Calzoum Bachri)
-----
SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di
Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928.
-----
Saya kutip 2 (dua) transkrip di atas dalam rangka membangun sebuah korespondensi antara puisi di satu sisi dan cinta tanah air di sisi yang lain. Betapa puisi telah menjadi benih dari kelahiran Indonesia sebagai sebuah tanah air dan bangsa. Indonesia meng-ada dari sebuah puisi. Maka tidaklah berlebihan apabila puisi pada gilirannya selalu menjadi pengawal dan kekasih sejati Indonesia. Hingga kapanpun akan tercipta puisi untuk Indonesia. Ungkapan rasa cinta dari penyair tentang mencintai Indonesia. Cinta yang berawal dari rasa memiliki Indonesia seutuhnya. Cinta bangsa cinta tanah air: Indonesia. Cinta yang menurut Erich Fromm sebagai cinta yang memberi, memberikan diri, hidup, sukacita dan dukacita.
-----
MENGGAMBAR RUPA CINTA BANGSA

Ketika cinta jadi sukma
Segala duka tiada berbunga
Ketika bangsa adalah nyawa
Menyematkan muruah tiada kecewa

Retak bangsa retak tubuh
Tiada utuh segala mahabbah
Kibarkan merah putih di hati
Nyeri menepi tiada henti

Cinta bangsa tanda iman
Gugur perang tanda pahlawan
Menyemai merdeka sepenuh pengabdian
Tiadalah gusar menempati badan

Indonesia bangsa besar jaya
Jangan dilepas ragam daerah
Biarkan tapa segala cinta
Saatnya bersatu kalahkan penjajah

Madura, 12 Oktober 2014
Moh. Ghufron Cholid
Puisi 444

TANAH AIRMATA
tanah airmata tanah tumpah darahku
mataair airmata kami
airmata tanah air kami

di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka kami
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke manamana

bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami

ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami

1997
Sutardji Calzoum Bachri

Membaca puisi Moh. Ghufron berjudul MENGGAMBAR RUPA CINTA BANGSA, saya membayangkan Moh Gufron sebagai seorang pelukis yang telah membuat sebuah lukisan naturalis bertemakan kecintaan terhadap Indonesia yang dituangkannya dalam sebuah puisi pola 444.
Saya mencoba menyandingkan lukisan naturalis Moh. Ghufron tersebut dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul TANAH AIRMATA yang dalam imajinasi saya adalah sebuah lukisan ekspresionis. Rasa baca saya bergeser menjadi rasa penghayatan sebagaimana jika menikmati sebuah lukisan.

Ternyata kesimpulan awal saya mengatakan bahwa kedua lukisan tersebut memiliki kesamaan tema dan cita rasa. Keduanya mampu memberi resapan rasa cinta terhadap tanah air Indonesia. Yang satu dalam gaya naturalis dan satunya lagi dalam gaya ekspresionis. Keduanya sama-sama memberi imaji yang kuat tentang cinta Indonesia.
Moh. Ghufron membesut tajuk puisinya dengan judul yang bertumpu pada diksi /bangsa/. Diksi bangsa yang diasosiasikan sebagai Indonesia terus dipergunakan penyair dalam isi puisi. Galibnya ciri lukisan naturalis sejak judul hingga isi, puisi ini sangat kental dengan kecermatan detail obyek lukis. Penyair melalui judul puisi sudah mulai mengimajinasikan cinta Indonesia. Jika kita rujuk makna bangsa dalam KBBI, bangsa adalah kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.

Sementara Sutardji melukis dalam gaya ekspresionis yang begitu kuat dengan sapuan kuas dan permainan warna yang sangat ekspresif. Tardji lebih memilih diksi /tanah air/ sebagai asosiasi Indonesia. Terasa lebih sublim dan tidak sekadar Indonesia secara fisik artifisial. Bahkan judul yang digoreskan dalam kanvas lukisnya sudah ditajuki "Tanah Air Mata". Tanah yang basah bukan hanya karena air tapi karena air mata. Dan air mata adalah simbolisme dari duka yang mendalam. Duka yang disebabkan oleh cinta yang mendalam.
Menurut KBBI, tanah air adalah negeri tempat kelahiran.
-----
Selanjutnya saya akan telisik bait perbait dari masing-masing puisi. Kebetulan keduanya sama-sama memiliki 4 bait puisi walau masing-masingnya berbeda pola tuang dan jumlah larik setiap baitnya.
-----
Bait 1 Puisi Moh. Ghufron:
Ketika cinta jadi sukma
Segala duka tiada berbunga
Ketika bangsa adalah nyawa
Menyematkan muruah tiada kecewa

Bait 1 Puisi Sutardji:
tanah airmata tanah tumpah darahku
mataair airmata kami
airmata tanah air kami

Bait 1 kedua puisi secara tersirat sama-sama menegaskan tentang klaim memiliki Indonesia dengan segala kehormatan dan harga diri. Jika Moh. Ghufron menegaskannya lewat "muruah tiada kecewa" maka Tardji menyatakannya dengan "tanah air mata tanah tumpah darahku".
Pernyataan Moh. Ghufron bahwa Indonesia adalah nyawanya dinyatakan oleh Tardji sebagai "air mata mata air kami"
Kedua puisi seolah sama-sama menegaskan bahwa cinta mereka kepada Indonesia bukanlah cinta yang ala kadarnya, tapi cinta yang bertaruhkan nyawa.
-----
Bait 2 Puisi Moh. Ghufron:
Retak bangsa retak tubuh
Tiada utuh segala mahabbah
Kibarkan merah putih di hati
Nyeri menepi tiada henti

Bait 2 Puisi Sutardji:
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka kami
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke manamana

Kedua puisi lagi-lagi membuat pernyataan yang sama, merintihkan sesuatu yang sama.
Kesakitan karena retak tubuh yang dirasakan oleh Moh. Ghufron dan perih yang dirasakan oleh Tardji di balik gembur subur tanah dan etalase megah gedung.

Di bait 2 inilah ungkapan rasa cinta kepada Indonesia berbuntut rasa khawatir kedua penyair disebabkan begitu banyaknya ketidak senonohan yang terjadi. Tersirat misalnya perilaku saling berebut kuasa, juga berlomba-lombanya anak bangsa korupsi dan manupulasi yang merongrong bangsa. Di bait inilah sesungguhnya duka terasa begitu pedih. Duka yang disebabkan oleh rasa cinta kedua penyair pada Indonesia.
-----
Bait 3 Puisi Moh. Ghufron:
Cinta bangsa tanda iman
Gugur perang tanda pahlawan
Menyemai merdeka sepenuh pengabdian
Tiadalah gusar menempati badan

Bait 3 Puisi Sutardji:
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke mana pun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke mana pun berlayar
kalian arungi airmata kami

Bait 3 menjadi semacam pernyataan sikap dari kedua penyair terhadap keadaan mutakhir yang terjadi di negeri ini. Kedua penyair sama-sama tak rela jika kekasihnya, Indonesia dikhianati dan disakiti, baik oleh bangsa lain maupun oleh perilaku anak bangsa sendiri.Moh. Ghufron menyatakannya dengan "gugur perang tanda pahlawan" sementara Tardji dengan lebih mengiris-iris menyatakan: "kalian tak bisa menyingkir, ke manapun melangkah kalian pijak air mata kami" Secara dramaturgi bait 3 kedua puisi menjadi klimaks dari perjalanan rasa cinta yang digambarkan oleh kedua penyair.
-----
Bait 4 Puisi Moh. Ghufron:
Indonesia bangsa besar jaya
Jangan dilepas ragam daerah
Biarkan tapa segala cinta
Saatnya bersatu kalahkan penjajah

Bait 4 Puisi Sutardji:
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami

Pada bait 4 inilah kedua penyair sama-sama mendiskripsikan sebuah harapan tentang kelanggengan cinta keduanya kepada Indonesia. Cinta yang harus selalu diselamatkan dan terus disempurnakan sebagai cinta abadi.
Moh. Ghufron dengan pernyataannya "saatnya bersatu kalahkan penjajah" dan Sutardji dengan sebuah himbauan kalau tidak mau disebut sebuah ancaman: "menyerahlah pada kedalaman air mata kami".
-----
Sampai kapanpun puisi akan menjadi kekasih sejati Indonesia.
Wassalam.
Sumber: google

Tidak ada komentar: