SELAMAT DATANG TO MY
Rumah karya moh. ghufron cholid, anda bisa bertamasya sambil membaca semua karya dan bisa mengomentarinya dengan penuh perenungan dan berdasar selera masing-masing. Jangan lupa ngisi data kehadiran.Ok!

Kamis, 10 April 2014

PUISI-PUISI MOH. GHUFRON DI LUMBUNG PUISI

Moh. Ghufron Cholid : LANGIT JUNGLORONG

LANGIT JUNGLORONG

1/

langit begitu cerah
di sini gotong-royong selaksa mawar rekah
dedaung pengertian
tangkai kesetiaan
memperindah bunga kebersamaan

2/

subuh lepas dalam doa
kepompong-kepompong mempersiapkan diri jadi kupu-kupu
menebar cinta buat generasi baru

3/

angin berdesir berbagi kabar
merpati-merpati temukan dahan
sirnalah segala gusar
dalam gema zikir

4/

langit berubah warna
tirakat cinta
moyang, masih terbaca
di segenap cuaca jiwa

2014

SEBAB INDONESIA ADALAH KITA

Indonesia takkan pernah sirna
selama degup cinta
bermukin dalam jiwa
selama pohon tatakrama
tumbuh di tiap mata
mata hari
mata jiwa
mata doa
yang tak kenal purba

Indonesia takkan musnah dalam peta
jika kita tak mengamini ramalan-ramalan asing
yang menanam benih-benih asing
dalam jiwa kerontang

sebab Indonesia adalah kita
sebab
Indonesia adalah kita
yang penuh cinta

2014

SALAM BUNGA PADA TANGKAI

tangkai, kau aku
satu
dalam menyempurnakan waktu

2013

BERSATULAH INDONESIA

Bersatulah Indonesia
Masuklah dalam dada
Yang paling doa
Hidup bukan hanya airmata
Melainkan rekah bunga

2014

Biodata Penulis
Moh. Ghufron Cholid adalah nama pena Moh. Gufron, S.Sos.I, lahir di
Bangkalan, 7 Januari 1986 M. Karya-karyanya tersiar di Mingguan
Malaysia, Mingguan Wanita Malaysia, Mingguan Warta Perdana, Harian
Ekspress Malaysia, Tunas Cipta Malaysia, Utusan Borneo, New Sabah Time
dll juga termuat dalam berbagai antologi bersama terbit di dalam dan
luar negeri. Beberapa puisinya pernah dibacakan di Jakarta, Madura,
Surabaya, Jogja, Pekalongan, Sragen, UPSI Perak Malaysia, Rumah PENA
Malaysia dan Ipoh Malaysia. Alamat Rumah Pondok Pesantren Al-Ittihad
Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. HP 087759753073
 
Sumber http://lumbung-puisi.blogspot.com/2014/01/moh-ghufron-cholid-langit-junglorong.html

PUISI SEBAGAI MEDIA ASPIRASI DALAM MENGUBAH NASIB BANGSA

Benarkah menulis puisi adalah kegiatan sia-sia dan tak memberi
kontribusi apa-apa dalam keberlangsungan sebuah bangsa? Pertanyaan ini
begitu akrab menyapa, terlebih dalam masa pemilihan legislatif saat ini.
Saya meyakini tak ada pekerjaan yang sia-sia terlebih dilakukan dengan
niatan baik untuk keberlangsungan sebuah negara yang lebih bermartabat.


Bukankah selain membangun bangsa dengan tangan juga bisa dibangun lewat
pemikiran. Barangkali kecintaan pada puisi dan keinginan untuk memiliki
bangsa/negara yang lebih maju serta bermartabat, ragam puisi dicipta.
Saat masyarakat merasa jenuh dengan kepenatan hidup, jenuh dengan wakil
rakyat yang belum mampu menjadi yang diharapkan maka para pecinta
puisi, menulis puisi, menebar keyakinan baru, masa ada waktu untuk
berbenah, masih ada waktu menata muruah.

Group 2koma7 yang
diprakarsai Imron Tohari dengan Dimas Arika Mihardja sebagai penggas
untuk membuat ragam puisi bertema harapan, lalu mengajak segenap warga
menumpahkan segala buah pikir dalam puisi.
Langkah ini bisa jadi
dilatar belakangi keinginan untuk menyaksikan wajah Indonesia yang lebih
asri, keinginan untuk lebih proaktif menyikapi pesta demokrasi, dengan
memiliki wakil-wakil rakyat yang lebih bernurani.
Barangkali pula
terciptanya puisi merupakan pengamalan dari surat al-Qalam ayat 1-2
yakni Nun (1) wal qalami wa ma yasturun (2) dan pengamalan dari surat
al-'alaq ayat 1-5.

Kepekaan dalam membaca tanda lalu diurai dalam tulisan, merupakan sumbangsih yang tak bisa diabaikan.
Keberadaan puisi, yang dikenalkan pada khalayak pembaca menunjukkan
betapa puisi bisa menjadi media untuk menumbuhkan rasa percaya.

Pesta demokrasi, pemilihan para wakil rakyat, atau pemimpin yang
diterjemahkan dalam bentuk puisi, bisa jadi pengobat jenuh dari
demokrasi tahun lalu, untuk kembali bermimpi, kembali bersemangat menata
negeri.
Misalkan Ade Ubaidillah, kawan kita dari Cilegon yang
menulis puisi berjudul Aku Satu Suara, sebuah puisi yang melukiskan
harapan, betapa harapan membuat api perjuangan begitu bara dalam jiwa.
Betapa harapan telah membuat hati tergerak dan kaki melangkah menuju
TPS, menerjemahkan harapan baru, dengan ikut menyoblos para
wakil/pemimpin yang dipercaya untuk memajukan negeri.
Berikut saya posting utuh puisi, agar kita bisa membaca buah pikir Ade Ubaidillah dalam puisi yang ditulisnya.

Ade Ubaidillah
Aku Satu Suara

satu kotak terisi
lima tahun berharap revolusi

Cilegon,08042014


Puisi tersaji dua baris tujuh kata yang digagas oleh penyair Imron
Tohari. Pada baris pertama 3 kata dan baris kedua 4 kata. Baris pertama
menjadi pembuka ide dan baris kedua inti dari ide yang disajikan./satu kotak terisi/ yang terlintas dalam benak saat membaca 3 kata
hanyalah kotak yang menyimpan suara, bisa saja diumpamakan kotak suara
adalah raga atau hanya bentuk luarnya saja, tak ada hal istimewa selain
hanya benda mati, jika ditarik pada pesta demokrasi maka bisa disebut
adalah kotak yang begitu rahasia, menyimpan nasib bangsa lima tahun ke
depan. Namun lain halnya jika kita teruskan pada baris kedua, yang
berisi empat kata yang berbunyi,/lima tahun berharap revolusi/ ada mimpi
yang hendak diraih, ada harap yang hendak didekap, ada rasa yang dijaga
degupnya.

Betapa keberadaan suara begitu menentukan nasib
bangsa, betapa keinginan mendapatkan hidup yang lebih layak begitu
menggerakkan batin, menyadarkan diri bahwa suara sangat penting untuk
digunakan dengan baik. Mengabaikan hak pilih bisa diartikan mengabaikan
nasib bangsa lima tahun ke depan.

Paling tidak puisi ini
menyadarkan kita, betapa pesta demokrasi harus kita sikapi dengan
dewasa, tak boleh dilewatkan begitu saja tanpa makna.

Apakah
Golput adalah tindakan yang mubazir saat mengetahui pentingnya suara
yang ada untuk digunakan dengan baik, barangkali yang memilih golput
adalah mereka yang terlalu jenuh dengan hasil pesta demokrasi yang telah
berlalu, barangkali pula tak mau terjebak dalam lubang yang sama.
Barangkali pula tak mau disibukkan dengan hal-hal yang pernah membuat
putus asa. Namun apapun alasan kaum golput harus dihargai tapi tak bisa
dinafikan, menggunakan pesta demokrasi tahun ini dengan baik merupakan
gambaran bahwa kita masih punya mimpi dan kita berusaha merubah nasib
bangsa ke arah lebih baik.

Lain halnya dengan Ade Ubaidillah, Eka
Nuraini menerjemahkan pesta demokrasi tahun ini dengn puisi berjudul
cap jempol. Cap Jempol merupakan prosesi yang lazim ada dalam pesta
demokrasi. Cap Jempol menjadi penanda kehadiran, penanda telah
menggunakan hak pilih dengan baik, jadi penanda telah ikut menyukseskan
pesta demokrasi, berikut saya posting utuh puisinya

CAP JEMPOL

bukti hadir, saksi
bertempuk harapan di sini

Taiwan, 8 April 2014

Puisi ini disajikan dengan gaya 2koma7, baris pertama 3 kata dan baris kedua empat kata.
Eka Nuraini lebih mengungkap tentang fungsi jap jempol, yang selalu
menjadi prosesi penting dalam perjalanan pesta demokrasi, yakni menjadi
bukti kehadiran, saksi mata pada kematangan memilih.

Perjalanan harap penuh liku, kadang menumbuhkan ragu demikian kiranya yang hendak dilukiskan DiAz Kaminari dalam puisi berjudul Hakikat Harap. Saya posting utuh puisinya

Hakikat Harapan

Abadikan harap dalam doa
setelah usaha ditunaikan.


Sidoarjo, 09 April 2014

Usaha dan doa adalah dua element penting dalam kehidupan yang saling mendukung, doa tanpa usaha adalah sia-sia, usaha tanpa doa adalah sombong. Usaha dan doa menjadi simbol betapa sekuat apapun manusia, sehebat apapun yang dimiliki manusia, kendati Allah telah berfirman tidakkan pernah merubah nasib suatu kaum selama kaum itu tak berusaha merubah nasib keputusan akhir hanya Allah yang tahu. Belum tentu yang kita minta adalah yang terbaik bagi kita, Allah menyiapkan kejutan dengan tidak langsung mengabulkan permintaan.

Hakikat Harap bisa jadikeraguan yang menyergap keyakinan penyair tentang dikabulkan atau masih ditunda harapannya. Paling tidak puisi ini memberikan daya renung meski dihadirkan dengan bahasa puisi sehari-hari yang mudah diterka maknanya. Hal ini bisa jadi disebabkan karena penyair tak mau terlalu merumitkan pembaca dalam menafsirkan, yang ingin dicapai penyair bagaimana pembaca bisa ikut masuk dalam dunia yang dipikirkan syukur-syukur bisa ikut memperoleh pemahaman bahwa hanya Tuhan yang kuasa atas segla sesuatu, betapa pun kita telah berdoa dan berusaha dengan sebaik mungkin, karena kebaikan bagi para hamba hanya Tuhan saja yang tahu.

Dengan demikian buah pikir yang dituang dalam puisi bukanlah sampah belaka, yang tidak memiliki manfaat, sebab puisi bisa menjadi media aspirasi untuk menumbuhkan rasa percaya bahwa hidup harus tetap memiliki mimpi dan menerjemahkan mimpi dalam tindakan, sama seperti halnya menyikapi pesta demokrasi dalam memilih wakil rakyat, paling tidak ikut menyoblos sesuai keyakinan telah membangkitkan semangat kita masih peduli dengan nasib bangsa lima tahun ke depan. 

Madura, 11April 2014