Tulisan
ini hanya sebentuk catatan kecil atas kekaguman saya kepada penyair
santri dari Madura bernama Moh. Ghufron Cholid (MGC), membaca
puisi-puisi alitnya saya memasuki dunia asing di mana kata-kata menjadi
sedemikian mahal, hingga di setiap puisinya kita menemukan kata-kata
yang terkesan begitu selektif.
Bagaimanapun Puisi ditulis oleh seorang penyair minimal karena dua alasan. Pertama, adalah dorongan hati penyair untuk mengejawantahkan kemampuan mencipta, merealisasikan bakat dengan mewujudkan sebuah karya puitis, mencapai kepuasan karena memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan, semacam peninggalan dari perasaan dan pengalamannya atau rapor bakat dan kemampuannya. Kedua, puisi dimanfaatkan sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu yang lain. Dalam pada ini, MGC menjadikan kebolehannya memilah-memilih-membuang kata untuk mencipta puisi alit sebagai media menyampaikan sesuatu yang besar.
Metafora ziarah
Di sini saya akan mengaji dua puisi ziarah MGC. Sebagaimana kita tahu ziarah adalah perenungan panjang sebagai kunjungan untuk daya spiritualitas manusia dalam membersihkan pikiran, perasaan, dan jiwanya. Dalam pada ini, makam memiliki banyak simbol yang dapat dipahami dalam berbagai terminologi. Makam-makam para wali selalu menjadi kunjungan banyak orang untuk berdoa karena diyakini sebagai tempat suci. Bagi MGC berziarah adalah sebagai pengingat eksistensi manusia di dunia ini yang akan melewati alam kubur.
DI MAKAM SYEICHONA CHOLIL
Di makam Syeichona Cholil
Reruh tak lagi binal
Dalam merapal masa depan
Yang penuh keridlaan
Di makam Syeichona Cholil
Runtuh langit keangkuhan
Saksikan makam yang anggun
Lukiskan kefanaan
Kamar Hati, 13 Mei 2012
MGC mengingatkan bahwa ketika sudah berhadapan dengan Tuhan—dengan jalan mengingat kematian melalui ziarah—seketika itu juga / Reruh tak lagi binal/, hati menjadi tertata sehingga dalam merapal masa depan, manusia seyogyanya melewati jalan yang penuh keridlaan Tuhan. Ketika maqom (baca; tingkatan) itu sudah didapatkan, maka Runtuh Langit Keangkuhan, sebab segala yang ada di dunia ini pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan, maka apalah artinya sebuah keangkuhan? Toh semuanya akan ditinggalkan saat menghadapTuhan?
Dalam perspektif budaya, makam adalah sebuah tempat suci yang mengandung aura yang berbeda dengan kekuatan tempat lainnya yang dianggap tidak sakral. Sebagai tempat suci, makam memiliki aura yang berbeda sehingga penghormatan yang diberikan tentunya juga berbeda (Syam, 128: 2011). Maka, di hampir semua makam, tidak diperkenankan untuk berkata kotor, membuang sampah sembarang, dan di makam-makam tertentu—seperti halnya makam-makam para wali—bahkan diselubungi lambu putih juga wewangian dan bunga-bunga. Dari situ dengan ziarah, kita saksikan makam yang anggun¸sebagai media muhasabah (introspeksi diri) untuk mengerti lukisan kefanaan yang sebenar-benarnya.
Ziarah juga sebagai cara untuk menapak tilas tentang spiritualitas seseorang, bahkan tentang kepahlawanan (baca; ketokohan) seseorang, yang dapat diambil pelajaran untuk bisa mengilhami dalam menghadapi kehidupan. Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Hal itu dapat ditemukan dalam ziarah para wali, selain dijadikan momen berdoa, ziarah juga untuk mempelajari kehidupan terdahulu para wali, sehingga bisa dijadikan motivasi dalam menjalani kehidupan di dunia.
TENTANG KWANYAR
Memuncak cerita jejak surga
Sunan Cendana, rahasia
Kamar Cinta, 2006-2013
MGC—dengan keeksotisan puisi alitnya—mengajak kita untuk merenungi apa yang ia sembunyikan dalam puisinya. Dalam “Tentang Kwanyar”, MGC mangabarkan betapa abadi sebuah nama yang telah memberikan kontribusi konkrit kepada masyarakat, yaitu dengan jalan penyebaran agama Islam, yaitu Sunan Cendana.
Dalam puisi ini MGC mengajak kita “napak tilas” kehidupan Sunan Cendana, sebab apa nama Sunan Cendana menjadi nama yang selalu dikenang, dan makamnya selalu menjadi salah satu tujuan wisata religi, tentu ada sejarah yang melatarbelakanginya dan tujuan yang melatardepaninya. Satu hal yang khas adalah MGC memotret realitas yang tidak biasa, jika judul “Tentang Kwanyar” diterawang, barangkali kita hanya akan menemukan informasi tentang apa itu Kwanyar secara definitive, namun MGC menyuguhkan sesuatu yang lain, bahwa ada “rahasia yang tersembunyi” di sebuah tempat bernama Kwanyar. MGC mengatakan bahwa di Kwanyar memuncak cerita jejak surga. yaitu jejak suci yang telah ditinggalkan Sunan Cendana.
Di baris terakhir MGC menuliskan /Sunan Cendana, rahasia/. Kata “rahasia” mengingatkan saya pada kitab “Nashoihul ‘ibad” karangan Muhammad Nawawi Bin ‘umar al Jawi yang dalam salah satu babnya mengatakan bahwa salah satu yang dirahasisakan Tuhan adalah perihal “waliyullah”. Menurut kitab itu, bahwa “waliyullah” diistimewakan Tuhan, sehingga keberadaannya dirahasiakan. Untuk kemudian orang-orang saling mencari “rahasia itu” dan seketika telah ditemukan, “Rahasia” itu menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, dikagumi dan dilestarikan.
Apa yang telah saya urai dari puisi alit MGC meyakinkan saya bahwa puisi sebagai media ekspresi spiritual, memberikan substansi bagi keindahan di dalam kata-kata, tetapi tidak mengurangi sisi moralitasnya. Puisi menjadi menarik karena adanya keterbatasan bahasa untuk menerangkan sisi keindahan, yakni keindahan pengalaman mistis yang telah dialami penyair. Sesungguhnya, pada sisi lain dunia, masih banyak kejadian-kejadian yang tidak dapat diterima oleh panca indera manusia tentang keindahan, pengetahuan, pemahaman dan wawasan.
Pengalaman religiusitas penyair telah mengendap di alam bawah sadarnya akan membentuk karakter bagi karya-karyanya. Ada keterkaitan antara religiusitas penyair dengan karyanya. Religiusitas penyair menghidupi teks, walaupun saat tertuliskan dan berada dalam pembacaan oranglain religiusitas teks tidak menjadi hilang, teks akan dihidupkan kembali oleh pembacanya menggunakan perspektif pembaca yang sangat mungkin tidak berbeda jauh dengan makna yang dikehendaki penyair, karena dalam ekspresinya penyair juga dibatasi ruang pemahaman publik dalam kebudayaan tertentu. Wallohu a’lam.
Dimas Indianto S. Penyair dan Esais, Lurah Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto. Pengelola Komunitas Pondok Pena Purwokerto.
Bagaimanapun Puisi ditulis oleh seorang penyair minimal karena dua alasan. Pertama, adalah dorongan hati penyair untuk mengejawantahkan kemampuan mencipta, merealisasikan bakat dengan mewujudkan sebuah karya puitis, mencapai kepuasan karena memberikan isi dan makna kepada suatu tindakan, semacam peninggalan dari perasaan dan pengalamannya atau rapor bakat dan kemampuannya. Kedua, puisi dimanfaatkan sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu yang lain. Dalam pada ini, MGC menjadikan kebolehannya memilah-memilih-membuang kata untuk mencipta puisi alit sebagai media menyampaikan sesuatu yang besar.
Metafora ziarah
Di sini saya akan mengaji dua puisi ziarah MGC. Sebagaimana kita tahu ziarah adalah perenungan panjang sebagai kunjungan untuk daya spiritualitas manusia dalam membersihkan pikiran, perasaan, dan jiwanya. Dalam pada ini, makam memiliki banyak simbol yang dapat dipahami dalam berbagai terminologi. Makam-makam para wali selalu menjadi kunjungan banyak orang untuk berdoa karena diyakini sebagai tempat suci. Bagi MGC berziarah adalah sebagai pengingat eksistensi manusia di dunia ini yang akan melewati alam kubur.
DI MAKAM SYEICHONA CHOLIL
Di makam Syeichona Cholil
Reruh tak lagi binal
Dalam merapal masa depan
Yang penuh keridlaan
Di makam Syeichona Cholil
Runtuh langit keangkuhan
Saksikan makam yang anggun
Lukiskan kefanaan
Kamar Hati, 13 Mei 2012
MGC mengingatkan bahwa ketika sudah berhadapan dengan Tuhan—dengan jalan mengingat kematian melalui ziarah—seketika itu juga / Reruh tak lagi binal/, hati menjadi tertata sehingga dalam merapal masa depan, manusia seyogyanya melewati jalan yang penuh keridlaan Tuhan. Ketika maqom (baca; tingkatan) itu sudah didapatkan, maka Runtuh Langit Keangkuhan, sebab segala yang ada di dunia ini pada akhirnya akan kembali kepada Tuhan, maka apalah artinya sebuah keangkuhan? Toh semuanya akan ditinggalkan saat menghadapTuhan?
Dalam perspektif budaya, makam adalah sebuah tempat suci yang mengandung aura yang berbeda dengan kekuatan tempat lainnya yang dianggap tidak sakral. Sebagai tempat suci, makam memiliki aura yang berbeda sehingga penghormatan yang diberikan tentunya juga berbeda (Syam, 128: 2011). Maka, di hampir semua makam, tidak diperkenankan untuk berkata kotor, membuang sampah sembarang, dan di makam-makam tertentu—seperti halnya makam-makam para wali—bahkan diselubungi lambu putih juga wewangian dan bunga-bunga. Dari situ dengan ziarah, kita saksikan makam yang anggun¸sebagai media muhasabah (introspeksi diri) untuk mengerti lukisan kefanaan yang sebenar-benarnya.
Ziarah juga sebagai cara untuk menapak tilas tentang spiritualitas seseorang, bahkan tentang kepahlawanan (baca; ketokohan) seseorang, yang dapat diambil pelajaran untuk bisa mengilhami dalam menghadapi kehidupan. Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Hal itu dapat ditemukan dalam ziarah para wali, selain dijadikan momen berdoa, ziarah juga untuk mempelajari kehidupan terdahulu para wali, sehingga bisa dijadikan motivasi dalam menjalani kehidupan di dunia.
TENTANG KWANYAR
Memuncak cerita jejak surga
Sunan Cendana, rahasia
Kamar Cinta, 2006-2013
MGC—dengan keeksotisan puisi alitnya—mengajak kita untuk merenungi apa yang ia sembunyikan dalam puisinya. Dalam “Tentang Kwanyar”, MGC mangabarkan betapa abadi sebuah nama yang telah memberikan kontribusi konkrit kepada masyarakat, yaitu dengan jalan penyebaran agama Islam, yaitu Sunan Cendana.
Dalam puisi ini MGC mengajak kita “napak tilas” kehidupan Sunan Cendana, sebab apa nama Sunan Cendana menjadi nama yang selalu dikenang, dan makamnya selalu menjadi salah satu tujuan wisata religi, tentu ada sejarah yang melatarbelakanginya dan tujuan yang melatardepaninya. Satu hal yang khas adalah MGC memotret realitas yang tidak biasa, jika judul “Tentang Kwanyar” diterawang, barangkali kita hanya akan menemukan informasi tentang apa itu Kwanyar secara definitive, namun MGC menyuguhkan sesuatu yang lain, bahwa ada “rahasia yang tersembunyi” di sebuah tempat bernama Kwanyar. MGC mengatakan bahwa di Kwanyar memuncak cerita jejak surga. yaitu jejak suci yang telah ditinggalkan Sunan Cendana.
Di baris terakhir MGC menuliskan /Sunan Cendana, rahasia/. Kata “rahasia” mengingatkan saya pada kitab “Nashoihul ‘ibad” karangan Muhammad Nawawi Bin ‘umar al Jawi yang dalam salah satu babnya mengatakan bahwa salah satu yang dirahasisakan Tuhan adalah perihal “waliyullah”. Menurut kitab itu, bahwa “waliyullah” diistimewakan Tuhan, sehingga keberadaannya dirahasiakan. Untuk kemudian orang-orang saling mencari “rahasia itu” dan seketika telah ditemukan, “Rahasia” itu menjadi sesuatu yang bernilai tinggi, dikagumi dan dilestarikan.
Apa yang telah saya urai dari puisi alit MGC meyakinkan saya bahwa puisi sebagai media ekspresi spiritual, memberikan substansi bagi keindahan di dalam kata-kata, tetapi tidak mengurangi sisi moralitasnya. Puisi menjadi menarik karena adanya keterbatasan bahasa untuk menerangkan sisi keindahan, yakni keindahan pengalaman mistis yang telah dialami penyair. Sesungguhnya, pada sisi lain dunia, masih banyak kejadian-kejadian yang tidak dapat diterima oleh panca indera manusia tentang keindahan, pengetahuan, pemahaman dan wawasan.
Pengalaman religiusitas penyair telah mengendap di alam bawah sadarnya akan membentuk karakter bagi karya-karyanya. Ada keterkaitan antara religiusitas penyair dengan karyanya. Religiusitas penyair menghidupi teks, walaupun saat tertuliskan dan berada dalam pembacaan oranglain religiusitas teks tidak menjadi hilang, teks akan dihidupkan kembali oleh pembacanya menggunakan perspektif pembaca yang sangat mungkin tidak berbeda jauh dengan makna yang dikehendaki penyair, karena dalam ekspresinya penyair juga dibatasi ruang pemahaman publik dalam kebudayaan tertentu. Wallohu a’lam.
Dimas Indianto S. Penyair dan Esais, Lurah Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto. Pengelola Komunitas Pondok Pena Purwokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar