SELAMAT DATANG TO MY
Rumah karya moh. ghufron cholid, anda bisa bertamasya sambil membaca semua karya dan bisa mengomentarinya dengan penuh perenungan dan berdasar selera masing-masing. Jangan lupa ngisi data kehadiran.Ok!

Jumat, 16 Desember 2011

PUISI DI HARI YANG ISTIMEWA TERUNTUK RUH YANG ISTIMEWA

: Hardho Sayoko Spb

Daun-daun usia berguguran
Namun akar kenangan
Kukuh dalam tanah ingatan

Di pelaminan
Puluhan tahun silam yang rupawan
Gadis rupawan masih jadi permaisuri idaman

Kini
Terbuka segala tabir misteri
Puisi pun jelma maskawin hati

Kau sunting hari
Debar hati istri
Tebar wangi kasturi

Alangkah pikat hati
Ulang tahun dapat hadiah puisi
Dari sahabat berbagi

Kamar Hati, 16 Desember 2011

BISIKAN RINDU

: Shinta Miranda, Penyair Kumpulan Puisi Constance

Membisikkan rindu dalam jantung waktu
Kelabat bayangmu antarkan aku
Pada abjad-abjad harapan pilu

Selaksa capung jelma kupu
Lerai luka dalam gebu
Keterasingan
Kukuhkan harapan

Kamar Hati, 16 Desember 2011

MELINTASI HELAI DEMI HELAI WAKTU RUMAH HATIMU

: Anie Din, Novelis Singapura

Melintasi helai demi helai waktu dalam rumah hatimu bernama masih ada yang sayang
Lindap segala bimbang susuri kamar-kamar yang mulai terang

Kau mulai rapal masa depan
Ada topan terjang keyakinan

Kau terjungkal
Segera kau rampungkan tapal-tapal

Perlahan
Embun di matamu semakin kuyup

Kecup harapan
Sesekali temukan jalan kemesraan

Dalam kesetiaan yang rupawan
Kegelisahan mulai malu-malu beradu pandangan

Kamar Hati, 17 Desember 2011

Minggu, 31 Juli 2011

CURHAT SEORANG HAMBA KEPADA TUHAN TENTANG KABUT KEMATIAN
















TUHAN BILA HAMBA MATI NANTI

Tuhan, bila hamba mati nanti
Rindu menyanyi di altar sepi
Biarkan puisi jadi saksi
Semua jalan menujuMu
Nyalakan lampu nurani
Sepanjang detak waktu
Buat kuntum-kuntum bunga baru

Kamar Hati, 14 Juli 2011

Inilah lukisan hati hamba, lukisan hati yang hanya bisa hamba abadikan dalam puisi. Kematian sungguh teka-teki waktu. Terkadang menebar rindu dan ragu, dalam detak hari yang tak henti bertamu.

Berulang kali hamba, menelaah kematian namun selalu saja berujung di jalan ketidakmengertian dan ketidakberdayaan. Saat hamba saksikan, KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA kau beri undangan lewat Izrail di lima belas lembar Ramadhan 2007 lalu, hati hamba berguncang. Hati hamba berada antara yakin dan ragu.

Hamba bergetar, menyaksikan betapa sepoi dan badai begitu anggun berdekapan dalam angin kebersamaan. Bunga-bunga negeri saling berdatangan ke pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura, sekedar menyaksikan prosesi pemakaman guru hamba.

Perlahan langit sunyi pecah, hujan doa semakin deras mengalir. Rerumputan semakin khusyuk bertahlilan dan beburung semakin khidmat membaca yasin. Sungguh pemandangan yang sangat menawan, menggoda penuh kemesraan. Sungguh Engkau telah menampakkan ayat-ayat kebesaranMu.

Jika tentaraMu telah gugur, bumiMu bergetar dahsyat. Langit dan rumput saling berjabat. Hamba semakin hilang dalam ketakjuban yang semakin karib. Namun hamba juga semakin ragu, bila hamba mati kelak, adakah kematian hamba menakjubkan seperti hamba-hama pilihanMu. Ataukah hamba hanya menjadi bangkai yang tak seorang pun mengenalnya.

Tuhan yang Maha Agung dan Maha Pemberi Ampunan. Mati di jalanMu adalah impian tiap muslim sejati hingga akhir zaman nanti. Menyaksikan saudara-saudari di Gaza yang semakin anggun memperjuangkan kemerdekaan, menyaksikan saudara-saudari di Afganistan yang begitu semangat menghadiahkan hidup demi kemerdekaan, menyaksikan saudara-saudari di Irak yang tak ragu berkamar debu demi meraih kemerdekaan dan menerjemahkan keyakinan, sungguh cuaca hati hamba semakin tak menentu. Semakin ragu, apakah hamba bisa seperti hamba-hambaMu yang lain. Namun hamba yakin bersamaMu hamba akan semakin berarti. Bersama bimbinganMu hamba akan semakin bermakna.

Tuhan, bila hamba mati, adakah dunia saling merapatkan barisan, rerumput bertahlilan, beburung membaca yasin? Hanya Engkau yang tahu. Namun jika kematian hamba adalah yang terbaik untuk agama hamba maka matikan segera. Jika kehidupan hamba lebih bermanfaat untuk kemajuan agamaMu, maka karuniakan hidup yang penuh dengan keridlaanMu. Hidup yang bertabur ilmu yang bermanfaat.

Terbit di LeutikaPrio, 2011

Kamis, 14 Juli 2011

ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR BAGIAN II

KATA PENGANTAR DARI KETUA PENYELENGGARA

Ada banyak cara menyampaikan risalah hati salah satunya adalah puisi. Ketika semua mata sibuk memandang Indonesia dari segala segi, saya pun mulai mengatur strategi untuk mengetahui pandangan para sahabat dari berbagai anak bangsa tentang pandangan mereka pada Indonesia lewat puisi.

Perlahan saya pun berencana membuat suatu antologi bersama rekan-rekan pecinta puisi yang memiliki waktu dan kesempatan untuk saling berbagi pandangan lewat puisi.

Lewat event ini saya mulai menyadari, tidaklah mudah menyakinkan para sahabat yang ada di sekeliling kita, yang hanya kita kenal nama di dunia maya,tanpa pernah bersua secara langsung. Namun apa pun rintangannya, keyakinan memang harus diterjemahkan secara nyata.

Melalui status saya mencoba mengajak satu demi satu sahabat untuk ikut memeriahkan event yang saya adakan kemudian berlanjut pada catatan di facebook.

Awalnya event ini saya buka 8 Juni 2011-29 Juni 2011 jam 21:00 WIB namun melihat antusias para sahabat dalam berkarya maka diundur hingga 1 Juli 2011 jam 20:00 WIB.

Tak ada yang dianak emaskan dalam penyeleksian ini, semua memiliki nasib yang sama, memang ada beberapa yang sengaja saya minta dari penyairnya seperti karya Acep Zamzam Noor, Rama Prabu dan Jumardi Putra karya-karya mereka mengandung makna filosofi yang memikat hati saya, namun ada pula yang melewati seleksi yang ketat.

Setelah seganap usaha dan segala kemampuan saya kerahkan, Allhamdulillah beriring ridla Allah lahirlah karya-karya anak bangsa seperti yang akan anda baca. Akhirnya kepada seluruh penyair yang ada dalam antologi ini, saya haturkan terimakasih semoga menjadi ladang amal yang mendapat ridla di sisiNya dan kepada segenap pembaca saya haturkan selamat membaca, selamat menelaah dan mengapresiasi antologi yang lahir dari tangan anak bangsa.

Ketua Penyelenggara Antologi Puisi Indonesia Di Mata Penyair
Moh. Ghufron Cholid, Madura

PROLOG
PUISI MENGGAMBARKAN KEUNIVERSALAN
Oleh Kony Fahran


SATU puisi jatuh ke tangan orang 15, maka 15 juga makna maupun apresiasi yang diberikan. Itu berarti tidak bisa diseragamkan daya tangkap penikmat puisi. Dapat diseragamkan hanya satu rasa, penikmat tidak mau mewarisi kesedihan pribadi penulis puisi.

Misal menulis sedih dari gambaran ratapan pribadi tanpa sama sekali menyentuh ke bagian luar, si penikmat umumnya seragam menolak keberadaan ratapan itu dengan alasan tak hendak mewarisi ratapan pribadi yang penikmat anggap si penulis tidak lain hanya ingin mengasihani diri sendiri melalui tulisan.

Berbeda jika puisi sedih menggambarkan keuniversalan kemanusiaan, derita orang lain, derita lingkungan, derita alam, derita bangsa atau apa saja di luar dari diri pribadi. Seperti mengemukakan persoalan cinta secara hakiki, erotisme, maupun perjuangan yang tak kunjung tuntas, religius, kemiskinan, atau pun membidik demensi-demensi moral dan lainnya, sudah tentu penikmatnya akan terikut oleh sentuhan emosional yang jembar dan memberikan penawaran kebernasan.

Apalagi Puisi-puisi yang sudah mampu menembus dimensi-dimensi itu memiliki ciri pegucapan yang berbeda dari kebanyakan orang dalam cara mengucapnya, misal berkekuatan daya lentur dan indah, berdiksi dan berkata-kata nan ekonomis guna memberikan keterbebasan dari kemubaziran kata, sehingga memiliki kesan apik dalam memilih kata.
Lebih lagi puisi ‘ditiupkan roh’ guna menghidupkan kata perkata dengan menggunakan kejernihan bahasa yang dikemas ke dalam perangkat-perangkat sastra yang memang sudah baku seperti pendalaman bahasa metafor, simile bunyi, derap, persajakan, kesemantikan antara kepala dengan isi diksi.

MENCERMATI kumpulan puisi yang digawangi Moh. Ghufron Chalid, penyair dari Pulau Madura “IdiMP (Indonesia di Mata Penyair) ” yang di depannya ditambahkan antologi berarti kumpulan. Dilihat dari pengucapan maupun wawasan estetik, karya para penyair dalam antologi di tangan anda ini sudah cukup menguasai perangkat-perangkat sastra di bidang puisi sebagai akar sastra tulis.Para penyairnya, tentu tak berlebihan disebut telah mampu ‘menyeret’ ke luar pengucapan esoterik lokal (individu lengkap dengan ratapan pribadi) untuk dikesampingkan dan dibawa ke dalam linguistik yang bersifat universal.

Mengekor perkataan penyair Korrie Layun Rampan: “Puisi lokal dalam ranah Indonesia sudah saatnya terbebas oleh ras, etnik, bangsa dan agama, lebih-lebih belenggu keindividuan. Dengan begitu, karya puisi mampu mendobrak pintu maupun tembok dogmatik untuk kemudian membawa nilai-nilai metafisis dan ‘menyenggamakan’ nilai itu pada buhulan sosioreligius dan berancang pada religiositas.

Menyimak secara fisik terhadap karya-karya yang ada dalam IdiMP, ada kesan keberagaman tema yang ditawarkan para penyair. Asep Zamzam Noor misalnya, mengapari kata dalam kejernihan bahasa sehingga memunculkan perbandingan antara kesemrautan harga-harga dalam negeri dengan penyanyi dangdut yang harganya terus melambung. Ada kesan jenaka satiris yang sebenarnya membangkitkan rasa emosional ketika berkali-kali membaca puisi itu sambil senyum. Itulah barangkali negeri yang pencitraannya kalah dengan penyanyi dangdut.
Selebihnya adalah peringatan, seperti yang dilakukan Elis Tating Bardiah mengenai negeri ini dan ulat bulu. Lalu, Jumardi Putra mengkemas persoalan kharismatik ulama Indonesia. Kemudian tentang tsunami dibidik Khalil Zaini. Berikut, Moh. Ghufron Chalid sang gawang antologi ini dengan ‘jumawa santun’ memotret kebernasan penghuni Pulau Madura dengan kekayaan sastra. Dan penyair lainnya membawa pesan tema masing-masing, sehingga dalam antologi ini bermunculan bernas-bernas tema yang boleh dikata mumpuni dalam meneropong dimensi-dimensi yang ada secara universal dan membawa puisi keuniversalan kemanusiaan dan menghadirkan nilai-nilai satir terhadap negeri ini – Indonesia dengan sudut pandang serta intuisi penyairnya.

Nah, ketika saya menulis ini, kebetulan di kantor tempat saya bekerja Bmagazine, seorang anak kelas 6 SD, anak salah satu karyawan se kantor dengan saya datang mendekat dan memperhatikan monitor komputer saya, lalu anak itu bertanya: “Apa pentingnya menyandang gelar penyair?”

Sebelum menimpali pertanyaannya, saya tersenyum sambil memandang tepat ke wajah anak itu yang sudah cukup akrab dengan saya. Kemudian saya katakan: “Gelar penyair itu tidak penting. Tetapi, penyair memiliki kehalusan rasa, budi dan ketajaman intuisi dibanding yang bukan bergelar penyair.”

Anak itu melongo tapi sepertinya berpikir mencoba untuk memahami dan saya biarkan ia begitu.



=================================================
Kony Fahran, kelahiran Banjarmasin – Kalsel, 17 Agustus 1960. Sejak 1978 menulis cerpen, cerber dan puisi. 1984 memulai karier di bidang jurnalistik diawali di Harian Dinamika Berita Banjarmasin. 1991 hijrah ke Samarinda Kaltim, gabung dengan Harian Kaltim Pos rekanan Surat Kabar Harian Jawa Post. Kemudian 2004 mundur dari Kaltim Pos, lalu dikontrak DPRD Kutai Kartanegara di Kota Tenggarong masih di wilayah Kaltim untuk membuat majalah interen. Sampai tahun 2009. Kini dipercaya sebagai redaktur umum dan pemegang rubrik sastra di Bmagazine (Majalah Bongkar) sambil mengisi siaran sastra di radio Samarinda. Email: redaksi@bongkar.co.id dan Email: majalahbongkar@gmail.com.




Abdul Ghafar Ibrahim
DI JAKARTA

satu jambatan
atasnya menonton manusia sekumpulan.

Atas jambatan
ciliwung di bawah
anjing gila nyalak menyalak
gigit menggigit
rantai di leher putus sudah.

Suara-suara bersuara-
bukan gila, bung
anjing baik, pak
iya, bu
mas, adik, kakak, saudara
anjing gila itu sahabat kita
ha-ha-ha
tiba-tiba
dalam ber-ha-ha-ha
anjing gila mencabut kepala
sayangnya terutama kena kepada
kepala-kepala.

tapi, iya
ALLAHku Maha Kaya
anjing gila sisesat itu
dikebawahkan
kebawahkan-kebawahkan-kebawahkan
dan kau Kota Jakarta bertahan
atas jambatanmu bertahan-han-han-han
dan kau saksikan sendiri sepuas-puasnya
anjing gila dibunuh-nuh-nuh-nuh
dan dihanyutkan oleh ciliwung
ciliwung yang setia.

Jakarta 1969


Acep Zamzam Noor
KEPADA SEORANG PENYANYI DANGDUT

Di tengah melambungnya harga-harga
Suaramu semakin merdu saja

Di tengah membengkaknya hutang negara
Wajahmu semakin cantik saja

Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama
Tubuhmu semakin sintal saja

Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana
Goyanganmu semakin heboh saja

Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya
Kehadiranmu semakin berarti saja

Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa
Hargamu semakin melambung saja

Elis Tating Bardiah
MEMBACA MUSIM DI NEGERI KAMI

Musim penghujan semua orang tahu, ia ada di negara tropis
lalu kemarau hadir setelah langit bosan menitikkan air mata
dan dua musim ini ku kenal dulu
dulu, pada zaman jalan berbatu dan bemo
di saat aku masih berseragam putih merah

Kini saat kududuk di depan yang berseragam
aku suka sekali membaca negeri
ternyata musim bertambah
ia muncul bukan dari alam
karena alam sudah bosan dengan tingkah kita
itu menurut Ebit G Ade dalam lagunya
Kini musim lahir dari penghuninya

Musim tikus berseragam
Musim bom bunuh diri
Musim lahirnya penipu
Musim bermekaran ulat bulu

Kupu-kupu tak layak terbang lagi rupanya di negeri ini
karena pulau, lautan, dan pohon-pohon sudah menjadi barang gadaian negeri
apa ulat itu juga sebagai reinkarnasi batu yang dilempar ababil?
supaya abrahah dalam diri layak telanjang dari segala tingkahnya

by: Liz
Bdg, 22 April 2011


Jumardi Putra
KIAI ASYARI

1/
Adalah balairungmu berkalung bintang
Keras bersolek sebening fajar
Kawah dolanan bocah bertaringgarang
Berkepala matahari
Berhati rembulan
Dengan balutan gamis tawaduk dan kasih sayang
: Hasyim Asyari
Bung Besar di kemudian hari.

2/
Di Dusun Keras, tembang cinta berkelana di toatoa fajar
Sedari awal, bahwa sepilihan kuda putih yang berarak pelan
di atas gundukan mawar telah merisalahkan tapakmu.
Kulihat bibir keras, basah dalam rekahan yang merindu.

Ket: Kiai Asyari adalah Ayah dari Kiai Hasyim Asyari. Ia adalah pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.

*Palembang, 2011.


Khalil Zaini
TIRAI SEMALAM TEKAL TERSINGKAP
(Sempena Memperingati Tsunami)

Di celah gorden sepi
dingin menyelinap ke ruang duka
babad tragis mampir lagi
menyebak bingkisan emansipasi
kepada laut yang tidak berhati

biar berketi-keti tahun berlalu
ruang gundah terus terjojol
meski tabir tidak mahu – malu
derita tegar menjengah
walau sekilas
di sela yang serupa

Tirai semalam tekal tersingkap
kocak laut
detup gempa
pekik ombak
bersama mewayangkan trauma.


Khalil Zaini
Pantai Dalam, Kuala Lumpur
22.6.2011

Rama Prabu
SANGSAKA PANCASILA

paduka yang mulia, pemimpin besar revolusi
Soekarno memancang sumbu api
menyatukan tanah negeri

ketuhanan yang maha esa
kemanusiaan yang adil dan beradab
persatuan indonesia
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia

dasar itu iman bangsa
alas yang jadi atap pusaka
tanah air nusantara

adab keyakinan dalam perbedaan
mengikat satu dalam hikmat perwakilan
demi adil dan sosial
demi hidup rakyat indonesia

sangsaka pancasila
adalah kibaran bendera yang menghimpun janji bakti
pada tanah air bahasa
pada bangsa bernama indonesia


Bandung, 1 Juni 2011

Niken Larasati
DARI UJUNG MIMPI, DARI SEPUCUK HARAPAN

Barangkali

Dari ujung mimpi
Dari sepucuk harapan
Meluap sebuah makna dalam pecahnya kehidupan

Kuingin menggenggam sejuta mimpi:
diantara kata yang mampu menyelamatkan negeri ini,
yang bilamana kumampu memberikan seunggah senyum
pada sekumpulan jejak orang-orang terpinggirkan
Kuingin menggapai sejuta harapan:
diantara duri-duri yang kian berumpun terjang,
yang berliku aral melintang dalam tangisan negeri ini
pada sekumpulan kisah pedih orang-orang terpinggirkan

Dari ukiran kata yang terucap lewat bahasa,
orang-orang yang tengah dilanda nista ekonomi
sedang meluapkan ingin mereka yang sebenarnya
Namun, tak kunjung didengar oleh pejabat negeri
“Ya, mereka mendengarnya. Tapi seolah tak mendengar.”
Sungguh, pejabat negeri yang begitu dihormati dan
dibanggakan oleh rakyatnya―tak seperti yang terpikirkan
Pun suatu waktu, mereka berucap:
“Pejabat negeri itu hebat. Mereka, orang-orang terhormat.”
Maka janganlah kecewakan pandangan mata mereka
Setidaknya, bukalah hati nurani dan uluran tangan
Karena hanya itulah yang mereka butuhkan

Lewat sebuah puisi, ingin kusampaikan bahwasanya:
Negeri ini tlah lama menangis, menjerit penuh isak
Mereka teraniaya―di negeri orang pun di negeri sendiri
Pula mereka masih mempunyai mimpi-mimpi
yang terkembang dalam sejuta harapan
Hanya saja mereka tak memiliki kesempatan
dan tiada wadah yang menampung aspirasi mereka
Bahkan ketika kesempatan itu berada di depan mata,
justru luka di atas nista yang mereka dapat
Hingga meninggalkan kenangan yang teramat pahit

Wahai saudaraku: “Marilah kita ulurkan tangan!”
Wujudkan daun-daun mimpi orang-orang terpinggirkan

Inilah negeriku, Indonesia...

2011



Windu Mandela
TARAWANGSA

Tarawangsa ,

Tujuh dawai Jentreng memetik daun-daun jati
Helai demi helai berjatuhan di derai padi

Tarawangsa
Menggesek tipis nadi malam
Mengasah menjorok sedikit ujung malam

Makin meruncing
Sekat Hijab pun mulai tertembus angin

Liuk daun turun lirih menari setengah putaran
Naik setengah ketukan
Menyakralkan penuh keagungan

Tuhan

Tarawangsa suci memanah atap bumi
Mematikan jiwa yang congak

Malam menjadi malam
Sunyi menjelma sunyi
Semua diam
Batu,
Tanah,
Air,
Kadang angin keluyuran
Menyangga daun yang jatuh dari petikan Tarawangsa
menari tanpa aturan, tapi berirama
di sumbu bumi

Tarawangsa
Aku dan
Tuhan
Dalam
Tarawangsa


W.M.
(17 juni 2011)
Sumedang,

Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah "Tarawangsa" sendiri memiliki dua pengertian: (1) alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan (2) nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda.
Jentreng, alat musik petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Tarawangsa

Rini Garini Darsodo
PADA PESONA LAUT BIRU


Laut biru
kujelang sepi di bibirmu
Pesona sunyi yang menyihirku dari rasa jemu

Kukirim peluk cumbu penuh getar rindu
Jantungku debar kala ombak debur
Mata terpukau oleh gemulai nyiur

Saat di kota kutemani kalut berbingkai kabut
Tiap pagi menyaji bunyi riuh gemuruh
Asap debu dari kendaraan yang semrawut

Namun di sini
kutemukan:
senyum bibir ranum menawan
beraroma amis nafas lautan

Ingin kumiliki sifat ombakmu
Yang selalu deburkan cinta pada pantaimu

Ingin kumiliki ketegaran nelayan
Dengan gairah mereka jemput penghidupan
Di mana keringat dan darahnya lebur ke dasar lautan
ikan-ikan riang mengisi sampan

: maka laut, ikan, nelayan adalah mata rantai yang tak terputuskan.
di bawah sinar mentari terangkai pada garis Yang Maha Menentukan


By: Karlina Mayasari (Rini Garini Darsodo)

30 April 2010
Catatan: Terinspirasi dari laut Karang Bolong, Cilegon Banten

Sipulan K. Langka
RELIEF

menamai matahari setelah kau bangun dari tidur
aku sempat melihat matamu seperti rangkaian waktu
sejarah yang hampir habis
pada gerimis
rintik-rintik memaksa setiap kita makin dahaga.

aku mungkin lupa namamu
seperti para korban bencana
kita terpaksa satu tenda meski tak saling
kenal.
astaga! kau telanjang
dadamu matahari dan bulan sipit.

bertahun-tahun aku lamun
sekedar menanggul sejarah ketika hujan
banjir yang membuat kota terapung
dan menenggelamkan masa depan;
dulu kita adalah anak-anak kecil
sempat bermain dipercik air.

kau masih lelap rupanya
di saat orang banyak telah pura-pura berfikir
mengeruk bumi untuk persoalan lalu-lalang
menimbun cakrawala dengan batu-batu.
kemudian aku hanya tertegun melihat dadamu
entah kemana matahari?

sejarah yang kita bikin
terang-terang dicuri maling.

Bandung, 2010

Padina Dariyanti
DI DEPAN BENTENG KUTO BESAK

aku masih tak beranjak dari sisi sungai Musi
memandang permukaan coklatnya
yang selalu saja beriak-riak tak tenang
kemaren sore saat kau undang aku ke istana kuasa-kuasamu
meski aku tahu, aku sungguh masih muda
meski aku tahu, aku sungguh sangat bisa

aku masih di sini di depan Benteng Kuto Besak nan rapuh
berbaju putih hingga keringkihannya dan cacatnya tak terlihat
seperti topeng-topeng yang kita pakai
menutupi sisa-sisa darah perjuangan di sana
menutupi bolong-bolong singgahan peluru-peluru
menutupi matanya yang menyaksikan sejarah lebih lama dari kita
menutupi mulutnya yang ingin sekali bicara bahwa negeri ini bukan hanya milik kita

di depanku sepuluh butir pempek goreng menungguku
mengangkat sendok di kanan dan garpu di kiri
membelah-belah keras risaunya di dalam piring plastik
menenggelamkan kepedihannya di sausnya yang encer
tapi aku masih diam di tengah riuh pedagang yang bergurau akan harga-harga dan barang-barang
di bawah intaian seorang pencopet bermata jalang dengan muka tanpa dosa
di alunan ratapan pengemis yang menyerah pada debu nasibnya

aku masih beku dan diam
aku benci kelemahan jiwa
yang membuatku malu berkata-kata
hingga hatiku memilih untuk tetap berdiri di depan benteng ini
yang membuatku malu untuk memakai gaun yang bukan milikku
di pesta pora penggadaian aset-aset bangsa di istana

Aroelika Munar
ACEH

Aceh
Tumpah darahku
Aceh
Air mataku
Aceh
Moyangku
Aceh
Istimewaku
Aceh
Budayaku
Aceh
Kekayaanku
Aceh
Masa depanku
Aceh
Aku ingin kau berdiri lagi dalam kemegahan
seperti tempo samudera pasai
Aku tak ingin kau di permalukan
seperti Marsose menjajahi tanah kita

Aceh
Bawakan Cut Nyak Dien ku kembali
Aceh
Bawakan Iskandar Muda ku kembali
Aceh
Bawakan Panglima Polem ku kembali
Aceh
Bawakan aku Kemalahayati yang dulu
Aceh
Cintaku hanya untukmu
keindahanmu tercipta untukku

Aceh
Lihatlah di ujung Banda
Lhok Nga berpantai indah menepuk sejuk kalbu-kalbu
Belum lagi keindahan Sabang
yang benderang di kilometer Nol

Aceh
Lihatlah mesjid Baiturrahman
Kokoh di tengah Banda
Simbol islam negeri kita

Aceh
Lihatlah mata-mata kalbu
yang menangisimu sepanjang waktu
Mendoakanmu hingga akhir waktu
Aceh
Megahlah sepanjang abad
Rencongmu tetap ku dekap

Matangglumpangdua, 1 Juli 2011

Moh. Ghufron Cholid
KUKENALKAN MADURA PADAMU, SAHABAT

Madura
Tanah tatakrama
Bertabur bunga cinta

Pohon budaya
Lebat daun setia
Kokoh akar percaya

Bila tiba musim kemarau
Wangi tembakau
Menyihir pulau-pulau

Ngapote tanduk majeng menembang
Ruh-ruh menari riang
Lupa segala riuh bimbang

Kerapan sapi
Ajari diri
Hidup terjemahkan mimpi

Suramadu tersaji
Berpacu seluruh nurani
Bercermin diri

Bila seluruh bahasa tatakrama
Tak lagi dimengerti dengan pesona
Carok ada pertahankan merdeka

Musuh tak dicari
Ada pun tak lari
Demikian Madura berbagi jati diri

Kamar Hati, 24 Juni 2011

Tuti anggraeni
BHINEKA TUNGGAL IKA

Kamu suku jawa
Aku jawa berlumur betawi
Kita hirup udara di tanah sunda

Banyak suku bahasa
Padang, batak, melayu
dayak bugis bali sasak flores dan lainnya
Tapi kita tetap bisa berkomunikasi
Dipersatukan bahasa Indonesia

Dunia pewayangan paling kusuka
Tari tarian daerah diperlihatkan
Reog ponorogo disuka tua dan muda
Baju adat dan makanan tersebar di berbagai wilayah
Namun kita tetap disatukan

Bhineka tunggal ika
Asal muasal gajah mada mempersatukan Indonesia
Jayalah bangsaku

***17-6-2011***

Ayumi Maulida
INDONESIAKU BERJAYALAH


/1/
Tujuh belas agustus empat puluh lima
Masih sangat jelas dalam ingatanku
Buliran darah yang tercecer di mana-mana
Mayat-mayat pejuang bergelimpangan
Tangisan melengking yang membahana
Tombak runcing yang menggenggam di tanganmu
Mengharap kemerdekaan segera hadir
Tapi semuanya itu tak mudah

/2/
Tujuh belas agustus empat puluh lima
Teriakan kemerdekaan semakin terasa
Kala sekutu tak lagi menjama’ah bumi pertiwiku
Rakyatku bergema
“Merdeka… Merdeka… Merdeka…”
Nyanyian Indonesia Raya dilantunkan penuh semangat
Kibaran Sang Saka Merah Putih turut berpadu dalam keceriaan

/3/
Tujuh belas agustus empat puluh lima
Rentetan peristiwa itu tak sekalipun tertinggal
Kini, Indonesiaku telah berjaya
Menapak masa depan
Menuai mimpi bagi dunia seluas samudra


Palembang, Agustus 2009


Biodata Penulis

Abdul Ghafar Ibrahim (atau AGI), dilahirkan di Kampung Sesapan Batu Minangkabau, Beranang, Selangor Darul Ehsan pada 31 Ogos, 1943. Beliau rakyat Malaysia yang pertama menjadi penulis tamu di International Writing Program, School of Letters, University of Iowa, Iowa City, Iowa, Amerika Syarikat (1974). Memperolehi Sarjana Muda Seni Halus (Northern Illinois University, DelKalb, Amerika Syarikat, 1976) dan Sarjana Seni (Eastern Illinois University, Charleston, Illinois, Amerika Syarikat, 1977). Latihan perguruannya di Pusat Latihan Daerah, Sungai Petani dan Alor Setar, Kedah (1965 - 1966). Latihan Perguruan Khasnya di Maktab Perguruan Ilmu Khas, Cheras, Kuala Lumpur (1969). Latihan lanjutan perguruannya pula di Maktab Perguruan Bahasa, Lembah Pantai, Kuala Lumpur (1974). AGI menulis puisi, drama, sketsa, wawancara, esei, rencana dan juga seorang pelukis. Puisi sulung beliau 'Ensiklopedia Kehidupan Manusia' disiarkan di Mingguan Malaysia, (8 Ogos, 1965), diikuti dengan 'Nanar', terbitan Berita Minggu (31 Januari, 1966). Kumpulan puisi perseorangan AGI, Tan Sri Bulan (1976), Tak Tun (1978), Dialog Dengan Seniman (1982), Yang Yang (1986, 1990, 2009), Ahhh.Sajak- Sajak Terpilih (2005) dan Takkan Hilang (2008).Kesemua bukunya ini diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam Bahasa Inggeris. Puisi beliau juga diterbitkan dalam bentuk antologi di peringkat tempatan, serantau dan antarabangsa. Antaranya termuat dalam Puisi-puisi Nusantara (1981), Tinta Pena (1981), Kumpulan Puisi Malaysia (1990), Puisi Baharu Melayu 1961-1986 (1990), Cempaka (1992), The Pupperteer's Wayang (London and DBP, 1992), Suara Rasa (1993), Cakerawala Nusantara (1999) danEmas Tempawan (2004). Puisi beliau juga telah diterbitkan dalam surat khabar The Australian (1973), Programme for Writer's Workshop, Murdoch University, Perth, (1975), The Elek Book of Oriental Verse (London, 1979), Outrider (Brisbane, 1987), Bruzde, Serbo-Croatian (Yusgoslavia, 1988), Cikyu (Japan,1988), Malay Literature (Kuala Lumpur, 1989, 2002), Horison (Jakarta,1990), Now Read On-A Course in Multicultural Reading (New York, 1999), Ratib 1000 Syair (2005), Koleksi Puisi Bermontaj Jilid 1 (2005), Kencana (2006),TiaSang (Vietnam, 2006), Antologia De Poéticas Indonesia, Portugal, Malaysia (Jakarta, 2008), Voices Of Malaysian Poets (2009). Karyanya yang lain ialah kumpulan drama Zaman yang Mencabar (1992), kumpulan temu bual dengan seniman dunia Dialog Seniman Dunia (2010), Warkah Biru (2010), Relfeksi Penyair (2010), Cita Cinta Puisi (2010), Ikat - Tie, 101 Konotatif AGI (2011). Sajak AGI berjudul 'www.sibermerdeka.com.my' dan 'Pahlawan ialah Dia' memenangi Hadiah Sastera Perdana Malaysia (2000/2001). AGI juga membaca puisi, antaranya di Adelaide Arts Festival, (Australia, 1974, 1990), Struga Poetry Evenings,(Macedonia,1986), Asian Poets Conference, (Taichung,Taiwan,1988), Kuala Lumpur World Poetry Reading (1986, 1990, 2002), The Malaysian Literature Week, (London, 1992), Asian Artistes Creative Interaction, (Bangkok, 1992), Asian Poets Conference, (Seoul, Korea Selatan, 1993). Suan Pakkad Palace Garden, (Bangkok, 2005). Pada tahun 1990, beliau menjadi tetamu Program Australian Government Cultural Award. Manakala sajaknya, 'Lapangan Ya-Ya-Ya' telah dipilih The Song Company Australia, sebuah vocal ensembles bertaraf antarabangsa dan dipersembahkan di merata dunia dengan lagu digubah oleh Saidah Rastam (1999). Sajaknya 'Apa Yang Nak'diangkat sebagai teks tambahan dalam 'M! THE OPERA' (Saidah Rastam, 2005) di Istana Budaya, Kuala Lumpur. Bersama penyair Kemala, AGI menjadi ahli panel Program Penulisan MASTERA VI (Bengkel Puisi Majlis Sastera Asia Tenggara), (Bogor, Indonesia, 2002). Pada tahun 2005 beliau menerima Anugerah Penulisan Asia Tenggara (S.E.A. Write Awards 2005), Bangkok, Thailand. Beliau pernah berkhidmat sebagai Pembantu Sastera di Dewan Bahasa Dan Pustaka, Kuala Lumpur (1974). Aneka prestasi telah diraihnya.

Acep Zamzam Noor penyair kelahiran Tasikmalaya. Kumpulan puisinya antara lain "Di Luar Kata", Di Atas Umbria", "Jalan Menuju Rumahmu" dan "Menjadi Penyair Lagi".

Elis Tating Bardiah. Lahir di Bandung tahun 1978, lulusan UPI tahun 2002 Jurusan Akuntansi adalah seorang pengajar di sebuah SMA di Bandung. Tertarik menulis di pertengahan tahun 2009. Bergiat di Majelis Sastra Bandung pada awal tahun 2010. Karyanya banyak di-share di akun facebook dan blog pribadinya http://www.raudhohqolbu.blogspot.com. Pernah diminta mengendorse buku “Merancang Masa Depan si Buah Hati”, sebagian karyanya pernah dibukukan dalam E-Book Evolitera Ketika Penyair Bercinta, Bersama Gerimis, dan Hampir Sebuah Metafora. Cerpen, Essai, dan artikelnya pernah dimuat di Majalah Story, Lapak Kata, buletin Halaman Pantai Padang dan www.eramuslim.com. Sekarang sedang proses membuat antologi tunggal dan novel yang berbasic kurikulum Akuntansi.

Jumardi Putra, lahir pada 1986, di Desa Empelu, Kab. Bungo-Jambi. Alumni Pon-Pes Tebuireng Jombang Jawa Timur (2004), dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009). Selama mahasiswa aktif di LPM ARENA Yogyakarta (2005-2009), dan editor penerbit buku Annora MediaGroup Yogyakarta (2009). Di penghujung tahun 2010, menghadiri Seminar Antarbangsa Kesusastraan AsiaTenggara, yang diprakarsai Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) dan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, di Jakarta. Pada April 2011 mengikuti Tarung Penyair Panggung se Asia Tenggara, di Tanjungpinang, dan Juli 2011 akan mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara V (PPN V) di Sumatera Selatan. Karya puisinya tersebar di media cetak, online dan antologi bersama. Kini aktif di Dewan Kesenian Jambi sekaligus menjabat Wakil Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan (HISKI) Komisariat Kab. Bungo-Jambi.

Khalil Zaini ialah nama pena bagi Muhammad Aminul Khalil Bin Zaini. Penuntut Institut Pendidikan Guru Kampus Bahasa Melayu ini lahir di Kuala Lumpur pada 26 Oktober 1990. Beliau mula menulis pada awal 2010 dan cenderung kepada genre puisi, cerpen dan drama radio. Kini beliau sedang mengusahakan sebuah novel. Karya-karyanya tersiar di media tempatan sama ada media cetak atau pun elektronik. Beliau banyak mengikuti kursus dan bengkel anjuran badan penggiat sastera di Malaysia. Segala hal mengenai penyair bisa ditanyakan langsung scorpio_sg8@yahoo.com atau juga via telefon +6013-6613852 (Malaysia), blog: khalilzaini.blogspot.com. Alamat rumahnya: Blok C2-4-9, Taman Ampang Hilir, 55000 Kuala Lumpur, Malaysia.

Rama Prabu, Penyair tinggal di Bandung, Direktur Dewantara Institute “Lembaga Kajian Kebudayaan, Pendidikan dan Politik”. Karya berupa buku Sabda Sang Pencinta/Lovecode (limited edition/2006), Jogja Dalam Keistimewaan (Pendapa Press, 2007), Antologi Puisi Penyair Nusantara/Musibah Gempa Padang (KL, Malaysia, 2009), Segera Terbit Buku Puisi Bulan Mei 2011: Mata Rama, 151 Rubaiyat Rama Prabu, (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Ramayana, 151 Jalan Cinta (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Testamen Penyair Merah (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011). Telah menulis kurang lebih 2000 bait puisi. Dapat ditemui di situs www.ramaprabu.org, http://www.facebook.com/ramaprabu, e-mail: lord.ramaprabu@yahoo.co.id dan di 0811 225 7581

Niken Larasati, lahir 1 Mei 1992. Mahasiswi akuntansi STIE PGRI Dewantara Jombang. Aktif menulis cerpen dan novel sejak September 2011. Buku bersamanya: Bismillah, Aku Tidak Takut Gagal (Qultum Media, 2011), INSPIRING TEACHER; Kumpul Guru Jadi Guru (LeutikaPrio, 2011). Cerpen yang di muat dalam Jurnal Sastra dan Budaya Jombangana berjudul ‘Penari Remo’ (Dewan Kesenian Jombang, 2011). Email: niken_venus@yahoo.com.

Windu Mandela, lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Agustus 1989. Alamat di Sumedang, Jawa Barat, mahasiswa semester 8 di STKIP Sebelas April Sumedang, yang saat ini sedang dalam proses penyusunan skripsi. Tertarik menulis setelah membaca buku catatan saudaranya yang di dalamnya terdapat puisi. Belajar kepada penyair adalah yang sangat disukai dalam mengasah potensi. Segala hal mengenal penyair bisa ditanyakan langsung via facebook Windu Mandela.

Rini Garini Darsodo lahir di Majalengka, 25 Juli 1961. Tinggal dan berkeluarga di Bandung. Lulus dari Unpad tahun 1987 dan berkarir dengan berwiraswasta. Mulai belajar menulis sejak tahun 2009 di FB. Kini dia bekerja di Sekolah Magistra Ibda Binafsika, Subang.

Sipulan K. Langka, Lahir di Sumenep Madura. Pimpinan teater Kalangka, belajar teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung (sekarang ISI). Sejumlah puisinya dibukukan dalam antologi tunggal Taretthep (2007), dan beberapa antologi bersama. Naskah dramanya yang berjudul Surat Keputusan masuk nominasi dalam sayembara penulisan Lakon Realis yang diselenggarakan oleh Jurnal Daundjati (2009).

Padina Dariyanti, lahir di Palembang 8 September 1985. Mulai menjejakkan langkah pertama dalam dunia kepenulisan semenjak tahun pertama kuliah kemudian bergabung dengan Forum Lingkar Pena Cab. Mesir sejak tahun 2005. Salah satu tulisannya pernah tergabung dalam antologi "Lasykar Syuhada" bersama teman-teman FLP Mesir serta antologi cerpen “ Ibuku Perawan” bersama teman-teman PCI-Muhammadiyyah Mesir.Kini bekerja sebagai tenaga pengajar di Pon-pes Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya OI Sumatera Selatan. Alamat FB: Dheens Ruang Putih.

Aroelika Munar adalah nama pena dari Khairul Munar, dilahirkan di Samalanga / 4 Februari 1986. Ia adalah seorang Mahasiswa Universitas Almuslim Kab. Bireuen dan memiliki hobi menulis. Prestasi yang telah diraih Juara II Menulis Puisi, Peksimida Aceh Tahun 2010. Karya-karya lainnya bisa dibaca di catatan facebook Khoirul Munar. Ia sangat senang membacakan puisi-puisinya di atas panggung. Kini tinggal di Ds. Tambue Kec. Simpang Mamplam Kab. Bireuen – Aceh.

Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 Putra KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh seorang Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), seorang Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Yayasan Al-Amien Prenduan. Antologi Puisi Mengasah Alief (SSA, 2007), Antologi Puisi Yaasin (Balai Bahasa Jatim, 2007) Antologi Puisi Toples (Total Media, 2009) Antologi Puisi Akar Jejak (SSA, 2010), Antologi Puisi TigaBiruSegi (Hasfa Publishing, 2010), Dear Love (Hasfa Publishing, 2011), Antologi Puisi Negeri Cincin Api (LESBUMI, 2011). Yang terbit Online Kumpulan Puisi Heart Weather (ebook pertama 2010 di scribd.com dan ebook kedua,2010 di evolitera.co.id), Kumpulan Puisi Dari Huruf Hingga I'tikaf (ebook di evolitera.co.id, 2010), Antologi Puisi Menuju Pelabuhan (ebook pertama di scribd.com,2010 dan ebook kedua di evolitera.co.id,2010). Antologi Puisi Ketika Penyair Bercinta (ebook pertama di scribd.com, 2010 dan ebook kedua di evolitera.co.id, 2010). Antologi Cerpen Cinta Reliji Lintas Negara (evolitera.co.id, 2010) KUN FAYAKUN CINTA Antologi Puisi Reliji Lintas Negara (evolitera.co.id,2010) Antologi Puisi Jadwal Kencan (evolitera.co.id, 2011)Antologi Puisi Indonesia Di Mata Penyair (ebook pertama di evolitera.co.id, 2011 dan ebook kedua di jakartabeat.net, 2011). Alamat Rumah Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang. Alamat Kantor Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465. Segala hal mengenai penulis bisa ditanyakan langsung via email putra_blega@yahoo.com/mohghufroncholid@gmail.com CP 087852121488/087759753073.

Tuti anggraeni lahir di Jakarta.tertarik menulis puisi baru pada awal tahun 2010 dan puisinya pernah terbit di buku antologi 105 penyair Pekalongan.Karya karyanya dapat dilihat tutianggraeni.blogspot.com atau bisa mengunjungi www.kompasiana.com/tutianggraeni, http://www.dindingsyair.blogspot.com

Ayumi Maulida nama pena dari Siti Fatimah, A.Ma, Pd. Lahir di Palembang, 5 Juli 1986. Lulusan D-II FKIP PGTK UNSRI 2005. Saat ini tinggal di Jl. Karya Baru No. 375 RT.06 RW.02 KM.7 Palembang 30152. Aktivitas saat ini sebagai seorang guru private TK dan SD. Selain itu, aktivitasnya di Komunitas Virus Baca dan Anggota FLP Palembang. Karya pertamanya di Antologi Puisi Kado Untuk Indonesia 2011(Literar Khatulistiwa), Antologi Puisi Justin Bieber My Idol 2011(Leutika Prio), Antologi Puisi Islami 2011, FF Humor WR 2011, Juara Harapan 2 Lomba Cerpen 30 Kisah Ramadhan 2011, Antologi FTS Hangatnya Dekapan Ramadhan WR 2011.(Masih proses penerbitan). Karya-karya lainnya bisa dibaca di http://istiqomah-ayumi.blogspot.com. Segala hal mengenai penyair bisa ditanyakan langsung melalui istiqomah_ayumi@ymail.com atau 081377579995 bisa juga dihubungi via facebook Shitie Fatimah Maniezz

Endosment


Tangan-tangan lembut dengan jari-jari perkasa telah menorehkan bait-bait penuh makna akan fenomena negeri Indonesia, terasa sekali semangat dan kepedulian yang mereka tuang dalam Antologi Puisi Indonesia Di Mata Penyair. Sebuah karya yang penuh inspirasi dan makna sosial.

Elaine Firdausza. Penulis dan Pecinta Sastra

PERKENALAN


Moh. Ghufron Cholid adalah nama pena Moh. Gufron, S.Sos.I, lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren. Karya-karyanya tersebar di berbagai media seperti Mingguan Malaysia, New Sabah Times, Mingguan Wanita Malaysia, Mingguan WartaPerdana, Utusan Borneo, Tunas Cipta, Daily Ekspres dll juga terkumpul dalam berbagai antologi baik cetak maupun online, terbit di dalam maupun luar negeri seperti Mengasah Alief, Epitaf Arau, Akar Jejak,Jejak Sajak, Menyirat Cinta Haqiqi, Negeri Cincin Api, Sinar Siddiq, Ketika Gaza Penyair Membantah, Unggun Kebahagiaan, Anjung Serindai, Tifa Nusantara 2, Poetry-poetry 120 Indonesian Poet, Flows into the Sink into the Gutter, Indonesian Poems Among the Continents, dll. Beberapa puisinya pernah dibacakan di Japan Foundation Jakarta (10 Agustus 2011), di UPSI Perak Malaysia (25 Februari 2012), di Rumah PENA Kuala Lumpur Malaysia(2 Maret 2012) dan di Rumah Makan Biyung Jemursari Surabaya dalam acara buka bersama Pipiet Senja (30 Juli 2012), di Jogja dalam Save Palestina (2012), di Sragen dalam Temu 127 Penyair Dari Sragen Memandang Indonesia (20 Desember 2012), di Pekalongan dalam Indonesia di Titik 13 (Maret 2013), di Sastra Reboan dalam Temu Sastra Indonesia-Malaysia (Agustus 2013), di P.O.RT AmanJaya, Mydin Mall dan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dalam Kongres Penyair Sedunia ke 33 (21,23, 26 Oktober 2013), di Brunei ketika menikmati indah kampoeng air (7 November 2013) di Al-Izzah Islamic Boarding School Batu Jawa Timur dalam safari menulis bersama Pipiet Senja dkk (Juli, 2014), di RRI Sumenep (5 Januari 2015), di Pondok Pesantren Putri dan Putra Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan (27&28 Juni 2015) di Bandung dalam Temu Sastra Indonesia Malaysia (2015). Alamat Rumah Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang Madura. HP 087759753073

Jumat, 27 Mei 2011

SARENG GUSTE

Ondem tresna
Notop langnge' loka

Toron ojen bunga
Ngilange bumeh sossa

Senenga ate tak remare
Sareng guste

Kamarra Ate, 28 Mei 2011

BERSAMA TUHAN

Mendung cinta
Tutup langit luka

Turun hujan bahagia
Hilangkan bumi gelisah

Senangnya hati tiada henti
Bersama Ilahi

Kamar Hati, 28 Mei 2011

Sabtu, 21 Mei 2011

Sastra Indonesia Mutakhir Jawa Timur

Pengantar Kurator



Arif Bagus Prasetyo





If poetry was man’s first language – or if language is essentially a poetic operation which consists of seeing the world as fabric of symbols and relationships between symbols – then each society is built upon a poem.

- Octavio Paz, Children of the Mire





Sastra Indonesia di Jawa Timur hari ini masih didominasi puisi. Jawa Timur masih sebuah “provinsi penghasil puisi” ketimbang “provinsi penghasil prosa”. Jika kita mencari siapa penulis prosa yang menonjol di Jawa Timur kini, terlebih yang karyanya menasional, maka kita tak mungkin berpaling dari sejumlah nama senior, seperti Budi Darma dan Beni Setia. Tentu saja bukan berarti tidak ada pengarang muda di Jawa Timur yang menekuni penulisan prosa. Buku kumpulan cerpen Pleidooi (2009), misalnya, memuat karya 14 cerpenis muda dari Malang. Tapi memang, setelah kemunculan fenomenal Sony Karsono pada paruh kedua 1990-an, sedikit sekali prosais muda Jawa Timur yang karyanya diperhitungkan di tingkat nasional. Stefanny Irawan, Fahrudin Nashrulloh dan Lan Fang termasuk di antara segelintir penulis prosa terkini di Jawa Timur yang namanya bergaung di luar pagar provinsi.

Sebaliknya, dunia kepenulisan puisi di Jawa Timur seolah mengalami musim semi abadi. Generasi penyair baru terus lahir melapisi generasi sebelumnya (yang sebagian tetap aktif berpuisi sampai hari ini), dan di setiap lapisan generasi penyair itu, selalu ada sejumlah nama yang menyeruak ke permukaan medan sosial sastra di luar lingkup Jawa Timur. Dua tahun silam, dalam kapasitas sebagai kurator sastra Festival Seni Surabaya 2008, saya menyeleksi ratusan puisi karya 12 penyair Jawa Timur yang berusia di bawah 35 tahun. Alasan utama ditampilkannya para penyair Jawa Timur dalam festival itu adalah karena puisi merajai kehidupan sastra Indonesia mutakhir di Jawa Timur.

Data lebih lengkap dan terbaru yang mengilustrasikan supremasi puisi di Jawa Timur disediakan oleh buku Pesta Penyair (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2009) susunan Ribut Wijoto, S. Yoga dan Mashuri. Antologi ini memuat puisi karya 55 penyair yang masih hidup di Jawa Timur, mulai dari D. Zawawi Imron (kelahiran 1945) sampai Eny Rose (kelahiran 1992). Terlihat jelas bahwa supremasi puisi di Jawa Timur dikawal oleh barisan penyair yang mencuat pada abad 20 (Akhudiat, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widianto, Anas Yusuf, Aming Aminoedin dll.), mereka yang muncul pada sekitar pergantian milenium (W. Haryanto, Mashuri, Deny Tri Aryanti, F. Azis Manna dll.), serta sederet pendatang baru (A. Junianto, Dody Kristianto, Alek Subairi dll.).

Mengapa di Jawa Timur puisi jauh lebih subur daripada prosa? Setidaknya ada dua faktor penyebab. Faktor pertama bersifat objektif. Sejak lama, perkembangan sastra di Jawa Timur bukan saja ditopang oleh ruang kebudayaan di media-massa, tetapi terutama digerakkan oleh pelbagai forum dan komunitas sastra yang tersebar di seantero wilayah Jawa Timur. Antara lain berkat “militansi” para penyair Jawa Timur dari dulu sampai sekarang, forum baca puisi di provinsi ini selalu lebih giat dan lebih semarak daripada forum baca prosa. Banyak kota di Jawa Timur punya komunitas sastra yang aktif: Surabaya, Mojokerto, Jombang, Banyuwangi, Jember, Malang, Batu, Gresik, Lamongan, Ngawi, Blitar, Bangkalan, Sumenep dsb. Dan puisi boleh dibilang telah mentradisi sebagai “mata uang” utama yang dipertukarkan di antara anggota komunitas maupun antar-komunitas melalui mimbar-mimbar pembacaan puisi. Medan sosial sastra Indonesia di Jawa Timur selama ini cenderung lebih kondusif bagi pertumbuhan puisi ketimbang prosa.

Faktor kedua bersifat hipotetis. Ketika berbicara tentang Jawa Timur, orang sering lupa bahwa “Jawa Timur” itu sesungguhnya tidak benar-benar ada, atau minimal belum sepenuhnya ada. Sebuah unit administratif bernama Provinsi Jawa Timur memang ada, tapi kita sebetulnya bisa berdebat mengenai keberadaan Jawa Timur sebagai unit sosio-kultural yang nyata.

Tiada masyarakat tanpa bahasa. Sampai dewasa ini, bahasa Indonesia bukanlah bahasa-ibu dari sebagian besar sastrawan Jawa Timur yang menulis dalam bahasa Indonesia. Bahasa-ibu penduduk Jawa Timur umumnya adalah bahasa daerah, dan bahasa daerah di Jawa Timur bermacam-macam. Sebagian penduduk Jawa Timur berbahasa Jawa, sebagian lain berbahasa Madura, sebagian lain lagi berbahasa Osing. Bahasa Jawa orang Madiun di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah lebih halus, mengindahkan tata-krama berbahasa, berbeda dari bahasa Jawa orang Surabaya yang lebih kasar dan egaliter. Pendek kata, tak ada “bahasa Jawa Timur”. Provinsi ini tak punya bahasa regional yang dominan, solid dan otoritatif seperti bahasa Jawa di Jawa Tengah, bahasa Sunda di Jawa Barat, atau bahasa Bali di Pulau Bali. Jika tiada masyarakat tanpa bahasa, sementara tak ada “bahasa Jawa Timur”, adakah “masyarakat Jawa Timur”? Adakah “Jawa Timur”?

Di Jawa Timur, bahasa Indonesia adalah lingua franca: sarana komunikasi bagi sekumpulan penduduk yang berbeda bahasa-ibu, tapi dibayangkan sebagai satu kesatuan “masyarakat Jawa Timur”. Seseorang yang tumbuh-besar di Surabaya, sehari-hari berbahasa Jawa kasar Suroboyoan dan hanya memakai bahasa Indonesia dalam acara resmi, harus menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan orang Madura, dalam kesempatan formal maupun informal. Dia juga harus berbicara dalam bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan kerabat di Ngawi, karena bahasa Jawa egaliter Suroboyoan yang dikuasainya akan terdengar kurang-ajar di telinga warga Jawa Timur bagian barat. Bahasa Indonesia menebus diskomunikasi dan miskomunikasi di tengah kemajemukan bahasa-bahasa lokal di Jawa Timur. Dengan kata lain: “bahasa Jawa Timur” sesungguhnya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang memungkinkan imajinasi tentang sebuah Jawa Timur, suatu mozaik beragam subkultur dan bahasa setempat.

Masalahnya, bahasa Indonesia mengandung endapan kenasionalan yang terlalu pekat untuk menyegel keregionalan Jawa Timur. “Bahasa Jawa Timur” adalah bahasa Indonesia, tetapi bahasa Indonesia adalah milik bangsa Indonesia. Kepemilikan ini diabsahkan secara historis oleh memori kolektif tentang sebuah Indonesia yang didefinisikan oleh Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945. Sedangkan Jawa Timur boleh dibilang tak punya memori kolektif yang cukup solid untuk mendefinisikan diri, untuk dijadikan pijakan mengucapkan diri secara otentik. Ingatan tentang kerajaan-kerajaan besar di Jawa Timur, semisal Singasari dan Majapahit, sudah terlalu rangup dan sayup dimangsa waktu, bagaikan puing-puing candi yang berserakan di Trowulan. Karya pujangga keraton Jawa Timur sulit diakses oleh generasi kini. Dan tak ada bahasa pra-Indonesia yang cukup inklusif untuk membingkai memori kolektif tentang sebuah Jawa Timur. Bingkai memori kolektif tentang sebuah Jawa Timur hanya disediakan oleh bahasa Indonesia, tapi bingkai ini selalu terbetot ke luar, ke arah “bangsa Indonesia”. Jawa Timur tak punya bahasa, kecuali bahasa Indonesia: bahasa yang menyuarakan dan sekaligus membungkam “Jawa Timur”, membentuk dan sekaligus menyangkal “masyarakat Jawa Timur”.

Pada hemat saya, posisi ambigu bahasa Indonesia di Jawa Timur adalah faktor “bawah-sadar” yang menyebabkan kenapa provinsi ini menjadi lahan subur puisi, ragam sastra yang merayakan ambiguitas makna. Menjelajahi medan ambiguitas makna berarti menyusun korespondensi baru antara hal-ihwal, dan itu artinya menciptakan bahasa. Makna “Jawa Timur” hanya eksis dalam hubungan komunikasi via bahasa Indonesia, tetapi eksistensi Jawa Timur baru betul-betul bermakna apabila ia mampu mengucapkan diri secara otentik, menjadikan bahasa Indonesia sebagai milik sendiri. Di sinilah peran penyair sebagai penjelajah medan ambiguitas makna yang menciptakan bahasa. Di Jawa Timur, ada kebutuhan laten untuk terus-menerus mentransformasi bahasa Indonesia menjadi sebentuk bahasa baru yang bergerak dalam tegangan antara kutub komunikasi dan kutub ekspresi: bahasa puisi, bahasa yang sama dan sekaligus berbeda dari bahasa generik bangsa Indonesia. Secara eksistensial, Jawa Timur butuh bahasa puisi. Karena itulah puisi berjaya di Jawa Timur. Bukan berarti prosa tak penting. Hanya saja, karena cenderung memberat ke kutub komunikasi, prosa relatif kurang menjanjikan bahasa baru yang dibutuhkan Jawa Timur untuk mengucapkan diri secara otentik dan mengada.

Dibayangi tarik-menarik antara fungsi komunikatif dan fungsi ekspresif bahasa Indonesia sebagai bagian dari dinamika proses “menciptakan Jawa Timur”, saya memilih enam sastrawan untuk tampil di forum ini: S. Yoga, Indra Tjahyadi, Timur Budi Raja dan A. Muttaqin di bidang puisi, Mardi Luhung dan Stefanny Irawan di bidang prosa. Karya mereka saya nilai representatif untuk menampilkan sketsa perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur kiwari. Namun selain soal kemutakhiran belaka, perkara intensitas kreatif, pencapaian estetik dan kematangan pengucapan menjadi poin penting yang menentukan terpilihnya mereka sebagai wakil Jawa Timur di forum ini.

S. Yoga adalah penyair yang tumbuh dari lingkungan Universitas Airlangga Surabaya pada paruh kedua 1990-an. Pada masa itu, kendati lebih dikenal sebagai aktor teater, ia menulis puisi yang seolah mereaksi gerakan “puisi gelap” yang dikibarkan rekan-rekan sekampusnya. Kiprahnya sebagai penyair mulai tampak menonjol sejak awal abad 21.

Puisi-puisi Yoga mewakili perkembangan terbaik di Jawa Timur dalam arus puisi yang setia menjaga fungsi komunikatif bahasa. Bahasa puisinya terang dan wajar, tidak dirumit-rumitkan atau digawat-gawatkan, tapi secara konsisten diwarnai getaran puitik yang menyembul di sana-sini dari retakan antara penanda dan petanda. Yoga bermain di ambang puisi dan prosa untuk melonggarkan, tanpa pernah melepaskan, ikatan konvensional antara kata dan makna, antara narasi dan pesan. Dalam permainan itu, ia banyak mengaktifkan nostalgia sebagai cara untuk menebus kutuk waktu dan mengatasi fragmentasi realitas. Puisi-puisinya ditulis, sebagaimana ia nyatakan dalam puisi “Naik Sepeda Fongers”, “agar kita tahu betapa isyarat menjadi tanda yang berarti”.

Indra Tjahyadi adalah tokoh gerakan “puisi gelap” yang merebak dari kalangan penyair muda di Universitas Airlangga pada sekitar pergantian milenium. Bersama sejumlah penyair muda lain seperti W. Haryanto, Mashuri dan Deny Tri Aryanti, Indra menjelajahi palung-palung gelap di kedalaman psike manusia modern. Puisi-puisinya merayakan hidup terkutuk dan mimpi buruk, kehancuran dan kegilaan, neraka dan nekrofilia. Dalam kredo puitik “Manifesto Puisi Gelap”, Indra menyatakan bahwa tugas penyair adalah menyelamatkan manusia dari kejatuhan mengerikan ke jurang kebanalan dunia, dan untuk itu penyair harus menghancurkan dunia. Caranya dengan melakukan penggelapan makna: sejauh mungkin mendorong puisi bekerja dalam tataran pemaknaan paling ambigu.

Namun belakangan, karya puisi Indra menampakkan perubahan. Dalam puisi-puisi terbarunya, seperti “Kasidah Kepergian”, kegelapan puitik kian paralel dengan dukalara, kepedihan dan kesedihan. Puisi baru Indra seperti menyedot kepiluan Nyanyi Sunyi Amir Hamzah dan depresi puisi-puisi awal Chairil Anwar, lalu meledakkannya ke arah dalam, menjadi implosi kemurungan. Dan efeknya, mungkin tanpa disadari sang penyair, puisinya justru menjadi semakin terang. Mendung perasaan kian menggusur mendung makna.

Betapa pun, sampai hari ini, di Jawa Timur belum muncul gerakan puitik baru yang semilitan dan seserius “puisi gelap” Surabaya. Mazhab “puisi gelap” mengekspos panorama kegelapan jiwa dengan kadar kepekatan dan kemabukan yang belum pernah terpampang dalam khazanah puisi dari berbagai provinsi lain, sehingga layak dicatat sebagai kontribusi unik Jawa Timur dalam sejarah sastra Indonesia kontemporer.

Timur Budi Raja mewakili penyair muda yang dihasilkan Madura, pulau kecil tandus yang telah melahirkan tiga penyair nasional: Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Jamal D. Rahman. Tapi di luar tiga nama terkenal itu, Madura sesungguhnya tak henti melahirkan penyair. Selain Timur Budi Raja, saat ini Madura memiliki beberapa penyair lain yang aktif, seperti Syaf Anton Wr dan Hidayat Raharja dari generasi senior, M. Faizi, M. Fauzi dan Umar Fauzi dari generasi baru.

Timur menarik perhatian saya karena puisi-puisinya terasa tidak terbebani oleh tauladan literer trio penyair nasional asal Madura yang dengan intens mengeksplorasi dan mengeksploitasi khazanah natural-kultural Madura dan/atau nafas religius Islam (agama orang Madura). Citraan alam Madura memang masih menggenangi puisi-puisi Timur, tetapi hal ini lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa penulisnya tinggal di Pulau Madura. Sebagai orang Madura yang memiliki budaya khas dan bahasa daerah sendiri, selaku anggota kelompok etnis yang relatif eksklusif, Timur tidak terdorong menghadirkan warna lokal Madura dengan pretensi “ideologis”. Dalam puisi-puisinya, tidak terasa adanya suatu pemujaan kepada pulau kelahiran sebagaimana diperagakan oleh puisi Abdul Hadi atau Zawawi Imron.

Madura dalam puisi-puisi Timur cenderung dimaknai sebagai sebentang kesunyian: ranah yang gemetar menanggung perih perpisahan, kepergian dan kehilangan. Itulah Madura yang terus-menerus menyaksikan warganya pergi meninggalkannya ke tanah rantau di seberang lautan. Puisi-puisi Timur menggemakan kesunyian yang seakan menghapus sejarah Madura, mengubah pulau kelahiran sang penyair menjadi sepotong geografi tanpa biografi, tubuh tanpa riwayat, masa kini tanpa masa lampau dan masa depan.

A. Muttaqin adalah sastrawan termuda di forum ini. Ia tumbuh dari lingkungan Universitas Negeri Surabaya, basis sastra penting di Jawa Timur. Prestasinya paling cemerlang di antara para penyair angkatan terbaru Jawa Timur.

Muttaqin meramu anasir-anasir alam, flora, fauna dan mitologi dengan lincah, renyah dan canggih, hingga menjadi bangunan puitik yang terasa akrab dan sekaligus asing, ringan tapi menyimpan kedalaman, rimbun namun bening. Seringkali puisinya seperti menarasikan suatu pokok, terdengar seperti bercerita, tapi makna yang dijanjikan selalu bertukar-tangkap dengan lepas. Puisi-puisinya bagai mengulurkan benang Ariadne yang menuntun dan sekaligus menyesatkan pemaknaan di labirin tanda-tanda, menjerat pembaca dalam permainan tarik-ulur makna yang mengasyikkan.

Muttaqin tahu bahwa makna tak bisa diusir dari bahasa, sementara puisi tak mungkin hidup di luar bahasa. Karena itu, dalam puisi-puisinya, ia tidak berupaya menihilkan makna. Makna diterima, bahkan dipelihara, tapi dikendalikan secara ketat agar tak sampai meringkus puisi menjadi ide atau pesan. Kontrol makna dilakukan dengan menekankan aspek materil bahasa, terutama bunyi. Rima dan ritme terus-menerus menginterupsi makna, tak henti-henti mengembalikan makna kepada bunyi. Dalam puisi-puisi Muttaqin, bunyi menunda makna, dan penundaan ini berefek menyegarkan bahasa.

Mardi Luhung adalah penyair terkemuka di Jawa Timur, namun ia tergolong pendatang baru di bidang penulisan prosa. Cerpen-cerpennya sesekali menghiasi koran lokal antara 1994-1999, lalu absen cukup lama, dan muncul lagi di media-massa daerah dan nasional sejak 2008. Karya prosa Mardi Luhung menawarkan alternatif yang segar dan berani dengan mengaduk kritik sosial, fantasi, humor dan ironi. Narasi Mardi seperti celotehan spontan tukang dongeng kurang-ajar yang meriwayatkan suatu dunia-kehidupan di mana anomali dan abnormalitas, kegilaan dan kekonyolan, diterima dengan akrab dan sedap sebagai suatu keniscayaan.

Cerpen “Ikan yang Menyembul dari Mata” menyodorkan alusi terhadap sejarah, yakni tragedi pembantaian massal 1965. Tak ada plot dalam cerita ini. Sang pendongeng membuka kisahnya dengan informasi biografis yang didefinisikan oleh ingatan tentang prahara pembunuhan besar-besaran: “Aku dilahirkan di bulan Maret. Empat puluh tahun yang lalu. Bertepatan ketika negeriku mengalami hari-hari berdarah.” Dan selanjutnya ia berceloteh seperti orang kesurupan atau mengigau, bertutur melantur kesana-kemari tentang ikan, penyair, pahlawan, pembakaran pasar, teroris pengebom, Sisifus, orang sinting dsb. hingga berakhir, seolah menyelesaikan siklus, pada veteran algojo pembantaian massal. Mardi mengaktualkan trauma sejarah dengan mengaktifkan narasi personal khaotik. Mencampur inskripsi kejadian historis dan strategi refleksi-diri, cerpen ini memproblematisasikan wacana sejarah dan representasi sejarah.

Stefanny Irawan adalah cerpenis muda alumnus Universitas Kristen Petra Surabaya, kampus yang sebelumnya tak pernah dikenal melahirkan sastrawan. Dalam karya-karyanya, Stefanny banyak menyoroti kehidupan kalangan kelas menengah urban, tak jarang dengan menampilkan latar luar negeri dan tokoh-tokoh bernama asing. Ia memanfaatkan daya komunikatif dan kekuatan retorika sastra populer, termasuk sentimentalismenya, untuk mengangkat perkara-perkara yang sebagian masih dianggap tabu oleh masyarakat umum di negeri kita, misalnya lesbianisme dan hubungan seks di luar nikah.

Cerpen “Pelacur” mengisahkan tentang krisis kejiwaan seorang remaja 16 tahun yang begitu menggebu-gebu ingin menjadi pelacur. Stefanny menelusuri sebab-musabab kompleks di balik hasrat seseorang untuk melacur. Dengan peka dan telaten, ia mengurai riwayat perversi psikologis pelik yang melibatkan problem suami-istri, gejolak libido, seduksi citra dan transeksualitas. Serentak dengan itu, makna “pelacur” pun dipertanyakan. Marka-marka moralitas dan normalitas digoyang. Cerpen ini membocorkan sisi gelap sejarah seksualitas kontemporer yang direpresi di lapisan bawah-sadar masyarakat urban.

Jawa Timur adalah konstruksi yang belum selesai karena masih terus dibangun – terutama oleh kerja imajinasi. Sejarah Jawa Timur tidak berakar di masa silam, tapi merentang ke masa depan. Sebagai pekerja imajinasi, enam sastrawan yang tampil di forum ini adalah para perawi sejarah Jawa Timur.





______________

Arif Bagus Prasetyo, sastrawan dan kurator seni rupa. Lahir di Madiun pada 1971, tumbuh di Surabaya, kini tinggal di Denpasar. Pada 2002 mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Amerika Serikat. Bukunya antara lain Mahasukka (2000), Epifenomenon: Telaah Sastra Terpilih (2005), Memento: Buku Puisi (2009).



NB : tulisan Mas Arif BP ini adalah esai kuratorial untuk acara Sastra Indonesia Hari Ini : Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara pada pertengahan tahun 2010. Tulisan ini juga terpublikasi pada rubrik Ruang Putih Jawa Pos, namun dalam versi yang lebih singkat. Maka, pada kesempatan kali ini saya akan menayangkan catatan kuratorial Arif BP secara lengkap dan esai ini (tampilan lengkapnya) tak pernah dipublikasikan secara luas di Jawa Timur.
Sumber http://www.facebook.com/sekar.langitii#!/notes/dody-kristianto/sebuah-esai-yang-menjadi-bahan-perdebatan-di-duna-sastra-jawa-timur-setahun-lalu/10150183088938757?notif_t=note_tag

Rabu, 30 Maret 2011

BELAJAR PUISI JEPANG

PENGENALAN KEPADA HAIKU

Pengenalan

Haiku mulai muncul dalam kesusasteraan Jepun dalam tahun 1662. Seorang pakar haiku yang terkemuka pada masa itu ialah Matsuo Basho (1644-1694) yang mula menulis haikunya ketika berumur 18 tahun. Usaha untuk memperkenalkan haiku di luar Jepun telah dimulai pada awal abad ke-20. Dalam tahun 1905, sebuah antologi haiku dalam bahasa Perancis telah terbit. Dalam pada itu, haiku terus berkembang ke negera-negera Eropah yang lain, dan akhirnya ke Amerika Syarikat, Brazil dan tempat-tempat lain di negeri-negeri Amerika Latin. Menurut suatu laporan, pertandingan haiku telah berlangsung di Perancis seawal-awalnya pada tahun 1924, yang telah menarik 1000 orang peserta.

Haiku mulai terkenal selepas berakhirnya Perang Dunia Ke-2, khasnya di kalangan orang-orang Amerika. Sementara orang-orang Kanada juga menunjukkan minat yang mendalam terhadap haiku. Dalam bulan Januari 1992 dianggarkan sekurang-kurangnya lebih 100,000 orang dari 40 buah negara di seluruh dunia sudahpun menulis haiku dalam bahasa tempatan. Banyak persatuan haiku telah ditubuhkan. Antara yang terbesar ialah Persatuan-persatuan haiku kebangsaan Kanada, Amerika Syarikat, Colombia, Britain, Jerman, Netherland, Belgium, Italy, dan Romania.

Di Jepun sahaja terdapat lebih daripada 1268 jenis majalah haiku pada hari ini.

Apakah Haiku

Haiku ialah sajak pendek yang terdiri daripada 17 suku kata dalam patrun 5/7/5.
5 suku kata pada baris pertama
7 suku kata pada baris kedua
5 suku kata pada bari ketiga.

Memandangkan hanya boleh dikarang dengan jumlah perkataan yang terbatas, maka selain daripada patrun 5/7/5, terdapat juga patrun 5/5/5, 5/6/5, 5/7/4, 5/8/5. Malahan terdapat juga haiku yang patrun yang tidak seragam khususnya apabila ditulis dalam bahasa asing (selain bahasa Jepun).

Bentuk Rangkap
Haiku dalam bahasa Jepun pada asalnya ditulis sebaris tetapi apabila diterjemah atau ditulis dalam bahasa asing, termasuk bahasa Melayu, mengandungi tiga baris. Ia diterjemahkan atau ditulis sedemikian supaya dapat disusun dalam bentuk rangkap. Sebagai contohnya, haiku Basho mengenai musim bunga:
"Furu ike ya kawazu tobikomu mizu no oto"

Terjemahan Inggeris -

An old pond
a frog jumps in
the sound of water

Terjemahan Bahasa Malaysia -

Kolam nan tua
kodok terjun ke dalam
percikan air

Contoh lain, Nakamura Yutara, salah seorang penyair haiku menterjemahkan "Wochi-kochi ni taki no oto kiku wakaba kana" yang ditulis oleh Yosa Buson diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris menjadi -

Terjemahan Inggeris -

rom hither and yon
the sounds of a waterfall
bounce off young leaves

Terjemahan Bahasa Malaysia -

Di sana sini
bunyi air terjun, terdengar
dari dedaunan muda

Konvensi Haiku Dalam Bahasa Asing (Selain Jepun)

Disiplin berikut telah disarankan kepada penyair-penyair luar, jika hendak menulis haiku dalam bahasa masing-masing, iaitu:

a. Penggunaan baris - tiga baris
b. Suku kata - tidak perlu betul-betul terhad kepada 17 sukukata
(ertinya boleh saja kurang atau lebih sedikit)
c. Patrun - tidak perlu terpaksa menggunakan 5/7/5
(supaya bentuk moden atau gaya bebas boleh lahir)
d. Tanda musim (Kigoatau Kidai) - boleh atau boleh juga tidak.

(Hampir setengah dari semua haiku Jepun menyertakan kigo (perkataan bermusim) yang merujuk kepada keindahan alam, tumbuh-tumbuhan, cuaca dan alam sekitar).

Haiku Dalam Bahasa Malaysia

Haiku dalam bahasa Malaysia, bolehlah dikarang berpandukan kepada disiplin-disiplin yang telah diterangkan tadi, iaitu yang berasaskan kepada
penggunaan baris, suku kata, patrun, dan juga tanda musim. Di bawah ini disertakan beberapa contoh haiku:

Wangi Cempaka

Bunga cempaka
Bertaburan di bumi
Masih wangi.
(Oleh: ?)

Harum Chempaka

Harum Chempaka
Penghias Rindu Bonda
Luhur mulia.
(Oleh Tahrizi)

Haiku

Apakah Haiku?
Bonsai intelektual
Hablur cermin dunia
(Oleh Mohd. Affandi Hassan)

Bayu Hati

Bayu hatiku
Seganas ombak laut
Tak jemu ke pantai
(Oleh Tahrizi)

Bas Klang

Kejauhan diri
tanpa berjalan kaki
bas klang ku cari
(Oleh Tahrizi)

Demikianlah apa ada pada serangkap haiku. Yang panjang berjela-jela tidak berlaku pada haiku yang pendek tapi padat.

Apa ada pada serangkap haiku, hanya jauhari saja yang kenal manikamnya.
Selain daripada serangkap, haiku juga boleh ditulis berangkap, menjadikan ia sebuah sajak pendek yang lengkap:

Zikir Di Subuh Hari (i)

Kerdipan bintang
Simbahan cahya bulan
Berseri alam
Seruling bambu
Sayup berlagu syahdu
Menghimpun rindu
Lotus di kolam
Menari mempersona
Menyambut mimpi

Zikir Di Subuh Hari (ii)

Sepoi semilir
Berbisik di dedaun
Membelai mesra
Aku di sini
Berteman bulan bintang
Disapa bayu
Aku di sini
Sujud Syukur pada mu
Rabbul Izzati
(Kedua-dua haiku di atas adalah Dari Laman Kasturi)

Salam buat kast

Senja nan merah
melabuhkan langsirnya
dibibir magrib
camar yang pulang
menyongsong angin utara
kabus berdebu
di pinggir waktu
azam magrib bergema
menyambut malam
pagi yang subuh
terasing di bumi Mu
dalam rusuhan
meninggal keluh
di hujung kerinduan
menguncup sepi
duhai ilahi
kembalikan ruh ini
asal jadi ku.
Oleh: Muhammad74

Embun

Gulita maya
Dalam naungan subuh
Embun menitis
Satu persatu
Layu yang kini mekar
Nikmatmu embun
Oleh: kasturi

Perkembangan Haiku di Malaysia

Catatan menunjukkan haiku telah ditulis di Malaysia semenjak 1980-an lagi. Haiku Puan Azah Aziz banyak disiarkan dalam akhbar Berita Minggu pada masa tersebutr. Pertandingan menulis haiku bagi kanak-kanak sekolah telah mula dianjurkan oleh Japan Airlines (JAL) semenjak 1995. Sebuah buku kumpulan haiku dalam bahasa Melayu berjudul Cendera Kirana telah diterbitkan pada tahun 1994. Selain daripada itu, terdapat banyak penulis haiku yang berkarya melalui Internet.

Ciri-Ciri Haiku Yang Baik

Pada kebiasaannya, haiku menceritakan mengenai keindahan alam sekitar dan juga musim. Penulisan haiku juga biasanya disertakan dengan lakaran mudah sebagai iringan kepada kata-kata indah. Saya masih berpegang kepada struktur 5-7-5 adalah semestinya menjadi ciri kepada sebuah haiku yang baik.
Berikut ialah haiku karya Basho yang diterjemahkan oleh dua penyair barat, Blyth dan Beilenson:

Blyth:
Moonlight slants through
The vast bamboo grove:
A cuckoo cries
Ah, summer grasses!
All that remains
Of the warriors dreams.
Along this road
Goes no one;
This autumn evening.

Beilenson:
Moonlight slanting
through all this long bamboo grove
and nightingale song.
Here where a thousand
captains swore grand conquest
Tall grasses their monument.
By lonely roads
this lonely poet marches
into autumn dusk

Terjemahan Blyth dikatakan lebih menarik daripada terjemahan Beleinson namun Blyth tidak dapat mengekalkan format asal haiku 5-7-5.

Berikut adalah dua haiku dari dua pemenang Pertandingan Menulis Haiku Kanak-Kanak:

Bunga berkembang
Unggas terbang nan bebas
Damainya hati

Flowers are blooming
Insects are flying freely
My heart feels peaceful
(Oleh Aida Izzati Zainal Abidin, 7 tahun)

Luas terbentang
Hamparan nan menguning
Sawah padiku

Spread out far and wide
The harvest turning yellow
In my paddy field
(Oleh Selena Tee Hui Mingage, 11 Tahun)

Rujukan
Terdapat banyak bahan rujukan untuk menulis haiku, khususnya daripada laman web. Cara paling mudah ialah dengan memasukkan “haiku” dalam mana-mana enjin pencari.

Contoh-contoh Haiku dalam bahasa Melayu yang dipetik dari laman Web -

Kasturi:

Mentari rembang
Beburung terbang pulang
Aku pun jua

Sue_marie:

Teriring azan
Teja di kaki langit
Sujud pada Mu

Aku di sini
Dalam denyut zikirku
Hanya Kau SATU

Jebat99:

dalam bayangmu
ada senyum terukir
sendu bersuara

dalam jeling mu
ada rindu membara
dikamar hati

senja nan merah
melabuhkan langsirnya
dibibir magrib

camar yang pulang
menyongsong angin utara
kabus berdebu

di pinggir waktu
azam magrib bergema
menyambut malam

bangunlah angin
tiupkan gema rasa
dihujung atma

bangunlah sepi
hembuskan sesak hati
di kamar usang

bangunlah kasih
belaikan jiwa ini
dengan mistik mu

bangunlah diri
sebelum mati datang
di sisi rabb Nya

raymee:

di senja merah
dan para tamu datang
dibirai waktu

beduk berbunyi
memanggil para tamu
dan jalan pulang

dipersada senja
bertafakur sejenak
mengisi waktu

Gerimis Malam

Gerimis malam
Meliuk dedaun
Rembes beralun

Gerimis Malam
Melihat dalam kelam
Daun yang gugur

jebat99:

Titis
Air di kolam
Menari karp berpasang
Memercik basah
Bayu mengusap
Bening teriak air
Sepi menghuni
Hati nan kontang
Telah berkurun hujan
Penuhkan kolam
Basahlah hati
Tika terpercik air
Biar setitik

Lalang
Teja menghimpun
Di kaki langit kelabu
Bersepoi angin
Di padang sana
Lalang menari asyik
Bebunga terbang
Hinggap di merata
Ngarai atau pun limbah
Di mana saja
Aku tak mahu
Hidup yang sebegitu
Umpama lalang

Penafian:

Bahan-bahan untuk tulisan ini diperolehi dari pelbagai sumber, khususnya dari laman web yang kadangkala tidak jelas penulis atau sumber asalnya untuk dicatatkan penghargaan.

-MBA 2 Jun 2003; kemaskini 4 Jun 2003.

TIPS MENULIS HAIKU

1. 17 suku kata dalam 1 baris.
2. 17 suku kata dalam 3 baris.
3. 17 suku kata dalam 3 baris dibahagi kepada 5-7-5
4. 17 suku kata ditulis menegak (kiri, kanan atau tengah)
5. Kurang dari 17 suku kata ditulis dalam 3 baris, pendek-panjang-pendek
6. Kurang dari 17 suku kata ditulis menegak 3 baris, pendek-panjang-pendek
7. Tulis apa yang boleh dinyatakan dalam satu nafas.
8. Gunakan perkataan musim (kigo) atau merujuk kepada musim.
9. Gunakan untaian sajak di akhir baris pertama atau kedua, tapi bukan kedua-duanya.
10. Jangan sekali-kali menjadikan semua 3 baris untuk menyempurnakan atau menjadikannya ayat.

Nota: tips ini dikutip dari bahan-bahan di internet. Kadang-kadang diri sendiri juga tidak faham apa yang dimaksudkan, namun bolehlah bertanya, moga-moga kita sama-sama boleh belajar daripadanya. – damahuM:

11. Adakan dua imej yang berbandingan apabila menerangkan imej ketiga. Contoh: Dalam berehat/ Mencuci tungku hitam/ Ku basuh tangan.
12. Adakan dua imej yang berkaitan apabila menerangkan imej ketiga. Contoh: Suram cahaya/Tika bulan gerhana /Cantik wajahmu.
13. Adakan dua imej yang bertentangan apabila menerangkan imej ketiga. Contoh: dua biji tungku/tiada ruang bersentuhan/api kian marak
14. Hadkan penggunaan kata nama atau jenama khas.
15. Gunakan ganti nama dalam huruf kecil. Contoh: saya ialah…
16. Gunakan ayat yang berkaitan dalam kedua-dua rangkai kata.
17. Gunakan pecahan-pecahan ayat.
18. Jadikan baris terakhir sebagai kemuncak haiku anda.
19. Cari ayat paling menarik/menawan di baris pertama.
20. Tulis perkara biasa dalam cara biasa menggunakan bahasa biasa.
21. Gunakan hanya imej yang nyata, bukan abstrak. Ch. Lampu adalah nyata, terang cahayanya adalah abstrak.
22. Cipta ungkapan berlirik untuk imej.
23. Cuba adakan makna berganda. Sekali baca ia hanya imej mudah, yang tersirat adalah falsafah/pelajaran dalam kehidupan.
24. Gunakan imej yang membangkitkan kesederhanaan atau kepapaan yang sederhana. (sabi)
25. Gunakan imej yang membangkitkan elegen klasik yang tersendiri (shubumi)
26. Gunakan imej yang membangkitkan nostalgia romantik/tempat cantik (wabi)
27. Gunakan imej yang membangkitkan misteri bersendirian (Yugen)
28. Gunakan paradoks.
29. Tulis sesuatu yang mustahil dalam keadaan biasa.
30. Gunakan imej yang mulia (bukan perang, seks, atau jenayah).
31. Ceritakan seadanya perkara sebenar di sekeliling kita.
32. Gunakan hanya imej daripada alam sekitar (bukan perasaan manusia sahaja)
33. Campurkan alam sekitar dan perasaan manusia dengan cara menghubungkan perasaan manusia tyerhadap alam sekitar.
34. Elakkan merujuk kepada diri sendiri dalam haiku. (aku dsb)
35. Diri sendiri boleh dirujuk secara tidak langsung seperti “orang tua ini” atau “mamat itu”.

HAIKU, SENYRU, dan RENSAKU

HAIKU

Haiku ialah puisi Jepun yang terdiri daripada 17 suku kata dan biasanya ditulis 3 baris dalam bentuk 5-7-5 sukukata. Haiku tradisional menceritakan tentang musim dan alam sekitar. Haiku moden telah ditulis dalam pelbagai bahasa dan masih menggunakan patrun 5-7-5. Sungguhpun haiku ditulis dalam 3 baris, perlu diingat yang haiku mempunyai 2 bahagian memancarkan sedikit kaitan dan menambah makna kepada bahagian yang lain. Bahagian kedua haiku biasanya ialah pada baris terakhirnya. Namun begitu, garis pemisah antara bahagian pertama dengan kedua tidak begitu jelas dan tidak terhad kepada akhir baris kedua.

Haiku moden telah ditulis melampaui sempadan musim dan alam sekitar dan menceritakan tentang hubungan kita dalam dunia moden.
Sepertimana pantun yang boleh dikelaskan kepada pantun kanak-kanak, pantun nasihat, pantun jenaka dan sebagainya, haiku juga boleh dikelaskan begitu.

SENYRU

Senyru ialah haiku yang ditulis dalam pelbagai subjek. Ia tidak lagi tertakluk kepada musim dan alam sekitar. Senyru biasanya mendedahkan tentang hubungan manusia seperti cinta, perasaan, humour, dan sebagainya.

RENSAKU

Rensaku ialah satu siri haiku yang ditulis bertujuan untuk dibaca atau dinikmati sebagai sebuah puisi. Haiku-haiku ini hendaklah ditulis dengan tema yang sama.
Penutup: Kesemua haiku, senyru, dan rensaku ditulis dalam 5-7-5 suku kata.

TANKA

TANKA: Puisi Jepun tertua. Mempunyai 5 baris, dengan 5-7-5-7-7 suku kata. Baris kadangkala dikenali dengan pendek-panjang-pendek-panjang-panjang. Jika anda kenal haiku (5-7-5), anda sudah kenali setengah dari tanka. Tidak seperti haiku, tanka menggalakkan ...perasaan dan emosi...

Perbezaan Antara Tanka (T) Dengan Haiku (H)
1. Tujuan.
T: Keindahan
H: Seadanya

2. Panjang
T: 31 suku kata
H: 17 suku kata

3. Sifat
T:Feminin H: maskulin
T:Berlirik H: sepotong/sepatah-sepatah

4. Latar belakang sosial
T:Atasan H: pedagang/bawahan
T:kesusasteraan H: sebutan harian/mainan

5. Teknik
T: Untuk menikmati keindahan/kecantikan
H:Untuk buka hati/perasaan

T:berkias maksud
H:langsung dan cepat

T:beremosi
H:Tanpa emosi

T: Guna imaginasi
H: deria dengan baris konkrit

T:Ditulis berdasarkan suatu tema
H:berdasarkan satu pengalaman

T: 5 baris
H: 3 baris

T:Boleh/untuk dilagukan
H:cakap/deklamasi

6. Bahasa
T:Bahasa tradisional terhad
H:bahasa biasa

T:Perbendaharaan kata yg. diterima umum (kamus dll.)
H:Bahasa biasa/pasar

T:elegen
H:idea luar biasa

7. Kaedah
T: Refleksi, renungan, tafsiran
H: seadanya



• Nota & Forum > ASAS HAIKU disumbangkan pada Rabu, 27 Jun 2007 10:41:10 PM • Kali terakhir diubah pada Khamis, 28 Jun 2007 3:27:03 PM oleh Rudy_bluehikari
Sumber http://esastera.com/komuniti/forum.asp?c=1&ID=178

Jumat, 25 Maret 2011

ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menciptakan segala makhluk dengan bentuk yang sempurna. Yang telah memberikan karunia kepada kita sehingga ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR bisa kita nikmati bersama kehadirannya.
Antologi Puisi ini digarap mulai bulan Juli hingga Januari 2011, agar menghasilkan karya yang berkualitas. Menghasilkan pandangan tentang Indonesia dari segala aspek.
Membaca ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR, kita sebagai anak bangsa Indonesia bisa mengetahui wajah Indonesia dalam puisi di Mata Penyair.
Julukan penyair pada hakekatnya sudah bisa disandang oleh seseorang setelah menulis puisi, dalam arti yang sangat sempit. Sedangkan penyair dalam arti yang sangat luas, apabila karya puisi yang telah ditulis diakui oleh khalayak ramai. Oleh karena itu, layak tidaknya sebuah karya biarlah pembaca yang menilai.
Nilai yang dimaksudkan di sini adalah nilai dalam pandangan manusia sedangkan nilai dalam pandangan Tuhan, kembali pada niat manusia dalam melakukan segala sesuatu.
Tak ada gading yang tak retak. Begitupun dengan ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR sebab ini hanyalah karya kami selaku manusia, yang takkan pernah bermakna tanpa karuniaNya. Oleh karena itu, segala hal menyangkut isi tulisan ini, bisa ditanyakan langsung kepada penyairnya, atau bisa juga ditanyakan langsung kepada saya (selaku ketua penyelenggara).
Apabila dalam ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR ada isi yang kurang berkenan, semua timbul dari kecintaan para penyairnya terhadap Indonesia. Rasa cinta inilah yang menimbulkan puisi-puisi di dalamnya lahir. Puisi-puisi yang menyuarakan nurani penyairnya.
Ada juga karya penyair Malaysia dan ada pula karya anak bangsa yang telah merantau ke Taiwan. Aku perantau,/Melelang pedih yang menyala/Demi harapan dan cita-cita (bait terakhir PADA TANAH RANTAU) ditulis oleh Zahra Zhou. Puisi ilustrasi yang menggambarkan keadaan bangsa di tanah rantau.
Terimakasih atas segala partisipasi para penyair atau yang tak mau disebut penyair dalam membantu menyukseskan ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR, walau setelah berusaha berulangkali mengirimkan naskah selalu dikembalikan dan diadakan pembenahan, semoga Allah yang membalas segala kebaikan seluruh sahabat.

Al-Amien Prenduan, 17 Januari 2011

Muna Yuki Sastradirja
AKU TULIS UNTUK KAMU

Merapi tetap merendah ditengah pulau Jawa.
Diantara hiruk pikuk kepadatan manusia.
Rumor hujan meteor menyajak kerentaan semesta.
Tak kentara namun terasa dalam kidung nalar.
Seukuran hati berserenade jiwa.

Krakatau tetap tenang tak galau.
Ditengah laut ujung barat pulau Jawa.
Seakan tak ingin terusik dari kebisingan racau.
Dalam senyawa stigma politik.
Alam membuat tempat perenungan.
Untuk mengumandangkan kearifan semesta.

Bumi yang tua tampak bungkuk.
Menahan beban manusia.
Menopang rumusan limbah dan polusi.
Tetap bijak menerima mayat untuk dikuburkan.
Meskipun kotoran terserak ditanah.
Walaupun lumpur sampah setia mengalir.

Langit menyenja biru dongker.
Awan merenta putih kecoklatan.
Matahari sebegitu menyengat isi kedalaman diri.
Rembulan meraut kegamangan malam.
Untaian tautan hidup bergeser jarak keyakinan.
Antara batasan ada dan tiada ada.
Manusia berusaha mengekalkan wujud impian.
Antara dimensi hamba dan Tuhan.
Manusia menjadi pembatah yang nyata.

Terang berarak menuju gelap.
Keresahan sudah terbiasa berada dalam hati.
Kegelisahan sudah melarut setiap jarak pandang.
Manusia lahir.
Manusia hidup.
Manusia mati.
Fase-fase kisi-kisi nafas.
Mencerna kesaksian perjalanan indera.
Dari masa ke masa.

-------------------------
Jakarta, 05 Mei 2010


Syarif Hidayatullah
TENTANG MADURA YANG KUTINGGALKAN

Setiap angin jadi bisik
Membawaku pada ribuan risik
Saat gerimis dan kumulai berlari-lari
Di antara jari-jari kemarau
Yang kukunya terkelupas jadi pepadi

Di segala pematang
Kuhirup kerinduan
Kuhirup harapan
Pada nafas-nafas yang cerutu
Pada segenap tangis yang terkubur
Di nisan-nisan bebatu

Perempuan yang mengelok pada lukisan hujan
bebukit gersang tiba-tiba hilang
di antara nafas tembakau yang perawan

Jalan-jalan kecil
Seperti pipi lesung ibuku
Mengalirkan air perlahan
Menelan jejak-jejakku
Mirip perpisahan
Yang ditunjukkan Tuhan
Di mimpiku yang masih kanak

Dan kini kian nyata
Saat hujan menghantarkanku ke bilik-bilik waktu
Dan menjauhkanku pada drama hujan yang kurindu itu

Sebagian petaka melahirkan air mata
Sedang perpisahan itu bagian dari air mata
Dan ini kuanggap sebagai petaka

Zahra Zhou
PADA TANAH RANTAU
: gadis buruh migran

Tahun beku di tanganku
Tak mampu mengeluh walau telah kuperas langit
Hingga bintang-bintang hanyalah sinarMu

Najis-najis mengental seluas sajadah
Doa doa teronggok di jalanan:
Rindu menyayat air mata ibu

Aku perantau,
Melelang pedih yang menyala
Demi harapan dan cita-cita

Jubei, januari 2011


Isbedy Stiawan Zs
PANTAI KUTA

Mungkin kau akan tenggelam dan hanyut
Ombak yang deras ini akan memagut

Menghitung hari-hari
Dengan jemari legam
Sebelum selancar melarung
Ke laut paling ulung
Kecuplah pasir-pasir pantai
Tubuh-tubuh yang telentang
Mabuk yang tak kepalang
Masuk ke dalam ingatan

Entah pada hitungan ke berapa
Kau akan kembali ke tepi pantai

Atau tenggelam di dalam gulungan pasir
Yang tiba-tiba meledak
Lantakkan seluruh kota-surga
Yang diimpikan dunia

Dan ledakan itu
Akan sampai ke tubuhmu
Dan aku tak bisa pulang

Kuta 1998/2002. lampung 2002

Acep Zamzam Noor
CIPASUNG

Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning
Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri
Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu
Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental
Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup
Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu

Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi
Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari
Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar
Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku
Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan
Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu

Hari esok adalah perjalananku sebagai petani
Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat
Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini
Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan
Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain
Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur




Sufi Akbar
KADO

Di pagi hari yang mengigil, berkabut selimut kedinginan
Menginjak kakiku di tanah penuh luka
Buta mataku akibat dokter salah praktek
Protespun kalah akses dan upeti
Hingga telingaku seperti radar deteksi
Suara menajam

Tajamnya suara pagi hanya tangisan
Ibu tercekik hutang rentenir
Dan Ayah bagi mereka adalah sapi perahan
Diperas keringatnya membangun bangunan asing

Teringat kata ayah “aku terasing disani nak ! “
Melihat mereka mengipas kertas dolar hasil panen dari bumi pertiwi
Sedang bapak kipasan sisa koran kumal

Kami berkumpul
Aku, ayah, ibu, paman, dan adikku
Yang kebetulan lahir bulan agustus
Ingin belikan kado, Hanya saja
Ibu lahir sesuai hari kemerdekaan, tetapi layu
Akibat kantong dompet berlumut
Menunggu uluran bantuan kaum berdasi

Tibatiba paman berijasah sarjana
Dari perguruan kelewat tinggi
Hingga salah sistem
Dengan muka cemberut berkata “lihatlah orang pandai tapi ternyata bodoh”
Ayah bertanya heran karena tidak berpendidikan
: “Dimana bodohnya ? ”
Paman menjawab keras hati menjerit
: “Kita ternyata dianggap angka tanpa ekspresi,
Hingga menambah kerumitan”
Ayah menjawab dengan pasrah
: ”Sudahlah kita hanya orang kerdil yang dikerdilkan !”

Ternyata ayah pindah profesi jadi petani
Keluar dari pintu tanpa cahaya
Hanya pacul dan caping yang digunakannya,
Beralasan

Dari pada membangun bangunan asing untuk orang asing
Lebih baik memacul tanah sendiri, dan
Menunggu musim panen

Sedang aku bermimpi
Kapan aku bisa belikan ibu mesin jahit
Berharap tangan halusnya
Menjahitkan seragam merah putih
:untuk adikku
Dan menjahit bendera merah putih
Agar kampung kami dipenuhi warna merah putih

Kini ibu terkapar
Digerogoti kanker yang menjalar
Di meja kayu yang terus melapuk

Jangan kuatir, Ibu
Aku akan keluar dari pintu
Tanpa cahaya untuk merasakan kehangatan cahaya
Berjuang
Walau buta!


Ahmad Khamal Abdullah
KASYAF DANAU

Kupinjami matamu untuk menatap sisisegi rohaniahku. Menatap puingbudi, puing kasih yang tersimpang entah ke mana, menatap zarah kejadian lagi ajaib, kupinjami kedip nafas dan erangakrab yang menjulurkan makna hidup, kupinjami riak dan kecipak sirip bawal putihyang menolak muslihat sedetik, akal jahat manusia, karang berbungkuslumut hijau, krikil tajam yang tersembunyi. Wah, mustika mimpi yang kangen pada Putri Duyung. Dapatkah kau membalut nestapa yang tersangkut pada suara gemetar halus puisi pandak di malam itu hingga kubawa langsung dalam pulas tidur kembara. Kupinjami kehalusanwatak, kemesraan janji, kemestian diri, keayuan seloka, maka akumelihat diriku di segenap lapangan dan ruang. Adakah ini Kerajaan Airyang tak pernah kulalui? “Kau menggumam diriku atau maknaku?” “Kaumenatap takjub diri atau reda diri?” Maka kupinjami adab yang kucumbudari tegur pertama, dari sapaan pengelana. “Adakah jalan yang takterintis?” Maka kau berpergian jua? “Adakah waham di tengah Majlis?”Maka kau kehilangan kasih? Kupinjami suara mersik bagi menafsirHikayat dan pantun para leluhur. Negeri kita di sekitar danau ini,negeri kita yang takpernah kita pinggirkan walau seliang roma,kupinjami sikap kesayanganmu pada kesenian kata.
“Aku terpikat denganamsal dan kias!” Rindu Danau pada penyair yang pulang ke desanyasetelah jauh memapasilangit. Rindu penyair terhadap danaunya selepas danau sekian waktutergigil sepi. “Aku hamparkan seluruh kedanauanku untukmu! Dan,sudahkah kau kecapi keindahanku?” Inilah cahaya yang datang waktuhampir litup dadaku.Akulah Danau yang menatap Danaumu. Dalam rindu dan tunduk tersipu.


Soni FARID Maulana
POST CARD KAKI LIMA

1

Kabut masa depan membayang di hadapan
Badai dolar hitam merubuhkan ribuan pabrik
Pohonan tumbang bukit-bukit longsor
Kapal tenggelam dihantam gelombang lautan

"Masa depan. Masa depan, adakah bunga
Yang kelak rekah seharum, o, sewangi rupiah?"
Demikian aku dengar nyanyian si miskin
Di gelap malam di ujung gang paling kelam

Sedang jeruri besi membuka dan menutup
Bagi si koruptor kelas teri
Yang luput menangkap kelas kakap

"Masa depan. Masa depan, adakah bunga
Yang kelak rekah seharum, o, sewangi rupiah?"
Demikian aku dengar nyanyian si miskin

7

Kini aku sampai di sebuah langgar
Yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar
Aku dengar seseorang mengaji
Dengan suara lembut orang suci

“Yang Maha Kudus selamatkan negeri kami
Dari marabahaya kaum teroris yang haus
Darah. Selamatkan iman kami dari godaan
Duniawi. Yang Maha Kudus sucikan kami!”

Detik jam kembali berdenyut di urat darah
Dan aku dengar suara itu, nyanyian itu
“Masa depan. Masa depan, adakah bunga

Yang kelak rekah seharum, o, sewangi rupiah?”
Remang cahaya bulan di telam kabut malam
Segala doa dipanjatkan menyeru Tuhan

2008
Diambil dari "Mengukir Sisa Hujan," (Ultimus, 2010)


Muhammad Zainon
INDONESIA DALAM PUISI

Akulah negeri kaya
Yang tiada terhingga kekayaannya
Tanda-tanda kehidupan lautku melimpah
Subur makmur gemah ripah loh jinawi
Malam hari para sufi memohon kepadamu Tuhan
Agar indonesia negeriku tetap dalam naungan panca sila

Al-Amien, 2010


Retno Handoko
PERJANJIAN PARA PEJUANG

Tanah ini masih saja mendung
Sepertinya tak berujung
Malah deras hujan makin tampak mengancam
Langit kelam, hitam

Tanah ini bekas perjanjian para pejuang
Darah hanyalah keringat yang terbuang
Merdeka atau mati!
Maka kami mati

Tanah ini pernah muda, pada tahun kampret

Bungabunga jatuh
Di tanah basah
Menyisakan batangbatang penuh lumut
Semrawut

Kemarin, tanah ini tanah perjanjian
Tertulis berjuta harapan bergambar boneka

Hari ini, tanah ini tanah serapahan
Tertulis maki pada nafas cacingcacing yang bergelinjang
--------------------------------------------------------------


Dimas Arika Mihardja
NURANI, GARUDA ITU

UDARA merdeka, udara mereka dihirup oleh berjuta mulut menganga. Nurani semakin tua. Ia terbatuk-batuk oleh segala bentuk pembangunan yang menyalahi aturan. Daerah Aliran Sungai tumbuh plaza, hypermarket, dan kondominium sementara di bawahnya gembel-gembel, gelandangan, dan anak jalanan menjolok bulan yang kusam. Pembangunan ekonomi yang gila-gilaan membawa bangsa ini menjadi konsumtif. Segala sesuatu diukur dengan ukuran limpahan materi.

Cuaca senja menjadikan Nurani semakin tua, bungkuk, dan tersaruk-saruk jalannya. Ia membayangkan jembatan dan jalan yang dulu ia bangun dengan gotong royong meneteskan keringat dan darah oleh kaki yang luka, ikhlas menyerahkan sebagian dari tanah dan airnya kini meruah airmata bangsa yang mengais nasib di seelokan dan tumpukan sampah pembangunan. Nurani semakin tua dan merasa sia-sia memanjatkan doa.

Burung-burung senja kembali melintas di atas mega. Garuda masih berpaling ke kanan dan di dadanya tergantung perisai yang penuh dengan simbol-simbol. Garuda itu terbang menembus mega, melabrak awan berarak, terbang bebas mengepakkan sayap-sayap keperkasaan. Nurani berbisik dalam hati, "akulah garuda yang melintas mega. Aku terbang menembus gumpalan awan menuju sarang keabadian. Ya, Allah jadikan sayapku perkasa mengepakkan doa-doa purba. Jadikan bulu-bulu di sekujur tubuhku sebagai rindu anak-cucu. Izinkan kini aku terbang menuju pulang ke sarang. Telah kulewati musim-musim pancaroba dan kini senja telah tiba. Aku terbang menuju Gerbang Istana-Mu, mengepakkan sayap-sayap rindu."

Garuda itu kini terbang di keluasan hatiku. Darahku berdebur-debur,menggelombang menerjang karang-karang kehidupan yang keras. Dinding-dinding dadaku menyatu dengan langit biru, menyimpan segala rindu.

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri
Jambi 19 juli 2010


Kirana Kejora
GARUDA PERTIWI

Akulah sang pengembara yang tak miliki pagi,siang,malam...
Bilangan masa bagiku sama saja...
Elang sang pengembara sejati, kembali dengan bekal yang cukup tinggi
Air mata darah itu makin mengiris semua lara...
Kesakitan yang teramat sangat...
Ku terbang tinggi melibas kabut langit melalukan badai!
Paruhku mencium sesuatu
Bau apapun cinta itu akan kuat jika berasal dari kuilNYA
Sebilah rindu menyembelih membabit!
Pencapain itu baru dimulai
Masih belum selesai...
Dan sepertinya tak akan pernah selesai karena setiap helaan nafas adalah obsesi.....
Mimpi-mimpi yang harus terbeli....
Lelaki tanpa senyum
Berdiri bak patung
Matanya membuang pandang sangat jalang
Bicarapun jarang
Sekali bicara, ia bak singa lapar....
Liar, gahar
Sangar mengaumkan kekecewaan pada gurun yang telah diberinya oase sekian
banyak...
Peluhnya tak terbayar!
Jangan salahkan ia jika harus menjadi pembunuh berdarah dingin
Boleh saja kau bersyair sedih..kecewa..lara apapun yang buruk-buruk itu..
Namun ungkapkan dengan sejatinya lelaki!
Meski dengan air mata tertahan
Kalau perlu jadikan batu air mata darahmu itu!
Lalu lelaki itu datang lagi
Ia kembali untuk menggugat..menggugah..menggubah...mengubah bangsa dan negeri ini
Ia tak pernah berhenti terbang...rela mengorbankan hatinya...cintanya buat sebuah pilihan!...
Menerjang kabut,melibas savanna kering, melintas pasir panas yang berbisik...
Memburumu atasNYA
Sayap-sayap baja yang kuat buat bangkitkan bangsa yang makin lemah ini..

Ia membela ibunya

Pertiwi yang kian hari menangis darah!
Ia dengan paruh tajamnya akan mematuk mata-mata kalian!
Para pendurhaka pertiwi...ibu kita yang tak lagi kuasa menahan air mata darahnya...
Merdekalah jiwa-jiwa!
Ia telah datang dengan sebentuk cinta yang sungguh untuk sebuah pembaharuan!
Geliat liat tubuhnya dan tubuhku
Adalah pemberontakan liar yang segera menggempur kau pengkhianat negeri!

Menteng Dalam Jakarta, 23 Mei 2010, buat laskar elang!


Irfan Firnanda
JEJAK DIRI

(Muntok Bangka; Giri Sasana Menumbing)

Napak tilas nenek moyang
Tubuh tubuh pendiriku lampau melayang
Kala timah timah menyusupi tongkang
Penjajah harus mereka tentang

Jejak muntok sebelah barat bangka
Kesaksian bangunan tua
Giri sasana menumbing merenta
Tempat pengasingan sang proklamator terlupa

Setelah melepas sejarah
kala Jejak mencari arah,

Kerusakan alam dan iklim menjadi wacana
Manusia enggan membaca bencana
Pencurian, pencemaran dan vandalisme hanya menjadi bahana
Mereka bangga, kala coretan liar memenuhi wahana

Indonesia tak menangis
Serumpun leluhur tak lagi menitis
Kemandirianlah yang harus merintis
Susuri tapak tentang jejak diri yang terbingkis

2010 "Irfan Firnanda"


Bahana Sang Pelangi
SALAMKU PADAMU WAHAI PERTIWI


PADA BUJUK SANGKA KUREMAS BINGKAI NURANI
PADA RESAH AMARAH KUGENGGAM ASA TAK BERBILANG
MUNGKIN PADA RASA AKU BERPIJAK PADA ANGKARA
MUNGKIN PADA SEMBILU AKU MENGAJAK RINAI MURKA

GILA ...
BODOH ...
MARAH ...
SEDIH ...
ADA SEGENGGAM BUIH DALAM DARAH
MENGALIR PASTI PENGAKUANKU ATAS DETAK-DETAK NADIKU PILU
ADA SEGELINTIR DEBU DALAM NAFAS
MENGALIR PASTI KEADAANKU ATAS DESAH-DESAH LELAH RESAH

HIJAUKU TAK LAGI HIJAU
BIRUKU TAK LAGI BIRU
KUNINGKU TAK LAGI KUNING
NAMUN HITAMKU BERTAMBAH HITAM

ADA APA PERTIWIKU
ADA APA NUSAKU
ADA APA NURANIKU
ADA APA ...
TELAH KUTANYAKAN PADA DASAR LAUT JAWA
TELAH KUTANYAKAN PADA PUNCAK GUNUNG BAWAKARAENG
TELAH KUTANYAKAN PADA BURUNG CENDERAWASIH
TELAH KUTANYAKAN PADA RIAK SUNGAI MAHAKAM

TAK ADA YANG MENJAWAB
TAK ADA YANG BERKOMENTAR
TAK ADA YANG BERKATA
DAN BAHKAN SEMUA HANYA MEMBISU

HUFFHHH

HARUSKAH KUTANYAKAN PADA PUNCAK MENARA EIFFEL
HARUSKAH KUTANYAKAN PADA KOKOHNYA GEDUNG PUTIH
HARUSKAH KUTANYAKAN PADA BUKU-BUKU YANG BERSERAK DI QOM
HARUSKAH KUTANYAKAN PADA TINGGINYA MOUNT EVEREST

BODOH AKU ..
GOBLOK ...
DUNGU AKU ...
TOLOL

HA ... IYA ...
LEBIH BAIK KUTANYAKAN PADANYA
SEKUMPULAN OMBAK YANG MENGHEMPAS ACEH
SEKUMPULAN AWAN PANAS YANG MENARI DI MERAPI
SEKUMPULAN AIR YANG MENGGENANG DI JAKARTA
ATAU PADA
SEKUMPULAN TANGIS BAYI YANG DITEMUKAN DI TONG SAMPAH

AKU CERDAS
AKU HEBAT
AKU BRILLIAN
DAN AKU TERTAWA ATAS KECERDASANKU YANG TAK TERHINGGA

SALAM ATASMU DIMANA AKU BERPIJAK
SALAM ATASMU DIMANA LANGIT KUJUNJUNG
SALAM ATASMU BUNDA
SALAM ATASMU PERTIWI


Badut 'PC'
KEMBALIKAN PARU-PARU BANGSAKU


Aku sudah bosan dengan aroma tulisan
: Anyirnya darah

Bagaimana jika ku ganti suasana lukisan
: Air dan tanah

Ah, selalu saja kita menghasilkan luka goresan
: Banjir yang parah

Manusia,
Kembalikan laut dan hutanku!

10 Januari 2010


Noer Komari
MENATAP INDONESIA

Kucoba naik ke ujung puncak Merapi
Dan menatap Indonesia
Ternyata semua masih berabu kelabu

Kucoba mendaki ke puncak tertinggi Bromo
Dan menatap Indonesia
Ternyata semua masih berpasir debu

Kucoba naik ke puncak es Jayawijaya
Dan menatap Indonesia
Ternyata semua masih putih membatu

Kucoba naik ke puncak Monas
Dan menatap Indonesia
Ternyata semua masih telanjang malu

NK, Bjb, 15 Jan 2011


Jumardi Putra
MENTAWAI

Mentawai porak poranda
Gamang membayang

Tetapi
Pilu tak boleh menggurita
Kami mesti berlayar menebar jala di samudra asa


Ummi Hasfa
ADA SURGA

Ada
surga di negeriku
Andai malaikat - malaikat kami tak pergi dan mati muda

Atau dibunuh
Kreasi dan inspirasinya.


Nero Taopik Abdillah
PUISI UNTUK BOEDI

Bagaimana kabarmu Boedi? lama kita tak bersua
Aku ingin mengenang puisi yang pernah kita bacakan sebagai tanda kesetiakawanan
Di sebuah padang yang kemudian kita kenal sebagai medan
perang
Sebuah padang kembang yang merah yang putih yang merah putih yang merah darah yang putih tulang.

O, kenangan
Padang telah menjadi kebun ilalang. Kampung kita sudah tak punya cukup ruang untuk menanam kembang, sedang engkau menua dalam denyut kota Pernah aku cari engkau ke gunung-gunung ke laut ke goa-goa ke langit-langit pertobatan hingga ke sela-sela lumut. Kemudian aku hanya mencium baumu. Katanya engkau sakit :sakit apa yang kau idap Boedi?

Boedi engkau adalah aku, adalah tubuhku, adalah kekasihku
Sebelum kusudahi hidup ini, sebelum aku gantung diri atau sebelum aku mati suri
Izinkan aku bertanya : kapan engkau bereinkarnasi menjadi aku menjadi tubuhku menjadi kekasihku. Menjadi merah menjadi putih menjadi merah putih menjadi merah darah menjadi putih tulang.

Kau tahu Boedi
Aku ingin menjadi matamu yang bulat hitam
Lalu membaca puisi, menanam kembang di kampung ibu.

Tasikmalaya, November 2010
Ach. Nurcholis Majid

ABRA KADABRA FULUSA

Semalam, sepotong ranting lepas dari pohonnya. Ia bunuh diri di malam yang gelisah, saat bulan kehilangan gairah dan luluh dalam kelam. Ada kemelut yang tak menemukan dingin dan tak menemukan peraduan, ia adalah negeriku tanah bagi darah dan tulang-belulangku.

Semakin hari semakin kabur cuaca di negeriku, ia menjadi sebuah ruang kosong dengan sekian penyihir tanpa rumah gelisah dan belas kasih. Karenanya, siapapun boleh berlaku dengan hajat apapun ia inginkan. Boleh membuat gemeratuk untuk mengesankan gigil, menyalakan api kemudian membakar pasar-pasar, untuk mengusir pedagang yang gelisah tanpa mata uang tetap. Sudah tidak ada cuaca yang asli di negeriku.

Angin hampir purna, embun hampir tiada, tetapi bulan terus dimatikan berulang-ulang. Penyihir telah merobek-robek poster-poster kebenaran dengan angkuh. Caranya sudah pasti, menciptakan poster-poster kecantikan dengan abra kadabra fulusa. Ah, negeriku, setelah terbangun dari tidurku, kau hanya menjadi sekumpulan batu, tanah dan gunung-gunung yang angkuh. Matahari pecah telah menjadi percikan api.



Moh. Ghufron Cholid
AKULAH BHINEKA TUNGGAL IKA

Akulah bhineka tunggal ika
Ruh dari segala raga
Udara dari segala nafas Indonesia
Beriring ridhaNya

Kamar Hati,2011

BIODATA PENYAIR

Muna Yuki Sastradirja, lahir 27 April 1980. Kini tinggal di Jln Petamburan VII, Rt. 009/06 No. 21 Kelurahan Petamburan Kecamatan Tanah Abang. Kode Pos 10260. Jakarta Pusat. No 021 95113933

Syarif Hidayatullah menulis puisi dan cerpen di berbagai media massa. Karyanya tersebar di berbagai antologi seperti Dian Sastro For President End Of Trilogy (On Off, 2005), O. De (Sanggar Sastra Al-Amien, 2005), Mengasah Alif (Sanggar Sastra Al-Amien, 2005), Perempuan Joget Hutan (Sanggar Sastra Al-Amien, 2006), Kumpulan Cerpen Terbaik Lomba Menulis Cerpen 2008 (INTI DKI Jakarta, 2008), Antologi Puisi Berbahasa Daerah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat, 2008), antologi puisi sampena pertemuan penyair nusantara ke-3 Kuala Lumpur, Rumpun Kita (PENA, 2009), Bukan Perempuan (Grafindo, 2010), Puisi Menolak Lupa (Obsesi, 2010), Berjalan ke Utara (ASAS, 2010), Orang Gila yang Marah pada Tuhannya (Sanggar Sastra Al-Amien, 2010), Si Murai dan Orang Gila (KPG, 2010), dan Empat Amanat Hujan (KPG, 2010).

Zahra Zhou, memiliki nama lengkap Zuhrotul Makrifah binti Abdul Hamid. Lahir di Kendal, tanggal 12 oktober 1989. Menyelesaikan pendidikan di SMA 1 CEPIRING pada tahun 2007 dan bekerja sebagai perawat orang jompo di Taiwan sejak januari 2008-2011 demi meraih cita-cita. Berdomisili di No. 480 sec. 1 Sanfong Road Baoshan Township Hsinchu County 30844 Taiwan(ROC) sementara domisili di Indonesia di Dk. Raharjo Ds. Lebosari Rt. 01 Rw. 07 Kec. Kangkung Kab. Kendal Jateng 51353.

Isbedy Stiawan ZS. Saya lahir di Tanjungkarang, Lampung pada 5 Juni 1958 dan hingga kini masih menetap di kota yang sama. Saya merupakan anak keempat dari delapan bersaudara pasangan Zakirin Senet (alm) bersuku Bengkulu dan Ratminah (Winduhaji, Sindanglaut, Cirebon). Saya memiliki lima anak dan dua cucu, buah perkawinan dengan istri tercinta, Adibah Jalili. Anak-anak saya: Mardiah Novriza (26), Arza Setiawan (24), Rio Fauzul (21), Khairunnisa (15), dan Abdurrobbi Fadillah (9) Menjadi pengarang adalah pilihan hidup saya. Selain menulis karya sastra (cerpen, puisi, esai sastra), kini saya aktif di Dewan Kesenian Lampung dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Pernah diundang ke berbagai pertemuan sastra dan budaya di Tanah Air dan luar negeri seperti Malaysia, Thailand. Sempat membacakan puisi-puisinya di Utan Kayu Internationan Binnale (2005), Ubud Writers and Readers Festival (2007), dan lain-lain. Karya-karya sasya dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Suara Merdeka, Sinar Harapan, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Republika, Horison, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Radar Lampung, Riau Pos, dll.

Acep Zamzam Noor dilahirkan di Tasikmalaya, 28 Februari 1960. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren As-Syafi’iyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987). Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993). Mengikuti workshof seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996). Mengikuti pameran dan seminar seni rupa di Guangxi Normal University, Guilin, dan Guangxi Art Institute, Nanning, Cina (2009).Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa terbitan daerah dan ibukota. Juga di Majalah Sastra Horison, Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia). Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi nominator Hadiah Rancage 1994. karya-karya puisinya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Portugal dan bahasa Jepang serta bahasa Arab. Berbagai penghargaan di bidang sastra diraihnya dan berbagai kegiatan sastra baik di dalam maupun di luar negeri diikutinya. Kini Acep tinggal di kampungnya, Cipasung, lima belas kilometer sebelah barat kota Tasikmalaya. Bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan seraya menulis.

Sufi Akbar adalah seorang penulis novel SAIFULOSOFI, kuliah di FMIPA jur Farmasi UII Yogyakarta, latar belakang hidupnya inilah yang menginspirasi melahirkan puisi berjudul KADO. Ada pun karir yang dijalaninya yakni, seorang Sekjend Komisariat PMII UII Yogyakarta,Ketua Komisariat PMII UII Yogyakarta, Bendahara PMII DIY. Karya lainnya bisa dibaca di sang-sunyi.blogspot.com. Kalau ingin lebih mengenal penyair bisa menghubunginya via email:gussufi@yahoo.com atau cp:083869944862.

Ahmad Khamal Abdullah adalah seorang Dato Dr Kemala, poet and literary professor at University Putra Malaysia; President of MCLA since 1993. He read poems at iip 2002 and also at world poetry festivals.He was fellow of IWP, Iowa University, US in 1993.Pemenang SEA Write Award (1986); gelar pujangga dari Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung Malim(2003); menerima Anugerah Abdul Rahman bin 'Auf (2006); menerima Anugerah Tokoh Sasterawan Siber Selangor (2010). Kumpulan puisinya Meditasi (1972), Ayn (1983), Titir Zikir (1995), MIM (1999) memenangkan hadiah Sastera Perdana Malaysia. Dia secara aktif berpartisipasi dengan sasterawan Indonesia semenjak 1976 lagi membaca puisi dan menulis kertas kerja. Dia menerbitkan antologi puisi Nusantara Musibah Gempa Padang (2009) dan Meditasi Dampak 70 (2011). Menerima gelar Dato Paduka Mahkota Selangor (2001). Pada tahun 1993 dia sebagai fellow di IWP, University of Iowa, Amerika Serikat. Kini sebagai Sarjana Tamu pada Universiti Putra Malaysia.

Soni Farid Maulana lahir 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat, dari pasangan Yuyu Yuhana bin H. Sulaeman dan Teti Solihati binti Didi Sukardi. Masa kecil dan remaja, termasuk pendidikannya, mulai tingkat SD, SMP, dan SMA ditempuh di kota kelahirannya. Tahun 1985, Soni menyelesaikan kuliah di Jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Saat ini bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung, dan pernah mengelola lembaran seni dan budaya Khazanah bersama teaterawan Suyatna Anirun. Aktif menulis puisi sejak tahun 1976. Sejumlah puisi yang ditulisnya dipublikasikan di berbagai media massa cetak terbitan daerah dan ibukota seperti HU Pelita, HU Berita Buana, HU Sinar Harapan, HU Prioritas, HU Suara Karya Minggu, HU. Bandung Pos, HU Suara Pembaruan, HU Pikiran Rakyat, HU Kompas, HU Tempo, dan HU Republika. Juga dimuat di Majalah Sasra Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi Renung, dan Jurnal Orientiërungen (Jerman.Sejumlah puisi yang ditulisnya sudah dibukukan dalam sejumlah antologi puisi tunggal, antara lain dalam antologi puisi Variasi Parijs van Java (PT. Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (PT. Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (PT. Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (PT Kiblat Buku Utama, 2008) dan Peneguk Sunyi (PT Kiblat Buku Utama, 2009), Mengukir Sisa Hujan (Ultimus, 2010) dam Antologi Puisi Bersama seperti dalam Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (PT Gramedia, 1987), Winternachten ( Stichting de Winternachten, Den Haag, 1999), Angkatan 2000 (PT. Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001(Penerbit Buku Kompas, 2001) Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002) Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi Penerbit Buku Kompas, 2003) Nafas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan Living Together (Kalam, 2005), Antologia de Poéticas (PT Gramedia, 2009) dan sejumlah antologi puisi lainnya.Berbagai kegiatan sastra digelutinya baik di dalam negeri maupun diluar negeri.Dalam berkarya sastra, selain menulis puisi, Soni menulis pula esai, dan cerita pendek. Esainya tentang puisi dibukukan dalam Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Jilid 1, PT. Grafindo, 2004, dan Jilid 2, 2007). Sedangkan sejumlah cerita pendek yang ditulisnya antara lain dibukukan dalam Orang Malam (Q-Press, 2005). Di samping itu, namanya dicatat Ajip Rosidi dalam entri Enslikopedi Budaya Sunda (PT. Pustaka Jaya, 2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (Kiblat Buku Utama, 2003).

Muhammad Zainon, lahir di Sumenep 26 April 1971. Pernah mengikuti Workshop baca puisi bersama WS Rendra di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Juara baca puisi tak terbantahkan sampai saat ini se Madura (penyelenggara teater Akura UNIRA) Pamekasan. Dramawan terbai dalam lakon Syayyid Qutub se Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponerogon (Delegasi Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, 1992). Prestasi fenomenal juara pertama baca puisi se Jawa Timur 2 kali, Juara 1 Porseni SMA se Jawa Timur di Tulungagung, 1990 dan juara 1 baca puisi secabang IAIN Sunan Ampel Jawa Timur, 1995.

Retno Handoko memiliki nama pena Jurang Sepi, lahir di Langkat, Sumatera Utara seorang Mahasiswa Universitas Islam Sumatera Utara jurusan sastra Inggris. Kini berdomisili di Bekasi. Kalau ingin mengenal penyair bisa menghubunginya di 081282825491

Dimas Arika Mihardja adalah seorang penyair Angkatan 2000 dan sekaligus seorang dosen puisi di Universitas Jambi

Kirana Kejora dengan nama pena Eagle fly alone Terlahir di kota Ngawi, 2 Pebruari, single figther dari dua matahari titipan Tuhan, ”ELANG” Arga Lancana Yuananda (15) dan ”EIDELWEIS” Bunga Almira Yuananda (10). Mulai mencintai kertas dan pena sejak usia 9 tahun. Cinta pada puisi, prosa dan seni peran meski tak pernah ada dukungan formal sepanjang hayat. Just ordinary people. Hanya lulusan cumlaude Fakultas Perikanan Univ. Brawijaya yang dulu hanya jurnalis sebuah tabloid kecil di Surabaya, penulis lepas beberapa media cetak, dan kebetulan pernah menjadi Pemakalah, Pembicara pada Seminar Wajah Kepengarangan Muslimah Nusantara Di Malaysia pada tahun 2009. Merasa besar dan belajar di jalan, gunung, gurun, laut, dan langit yang terus dirunut bersama kawan, sahabat, dan saudara yang ditemukan di manapun.Juga banyak belajar pada debu dan angin. Dan merasa wajib terus belajar, berujar, mengejar, setelah kebetulan lagi, bisa menulis 30 Script Film TV, 4 Script Film Layar Lebar, 3 video klip solois Nena (script & director), video klip single ”Aku Selingkuh” by Ade Virguna (script & director) dan kolaborasi 8 puisi dalam album Selingkuh (independent album) dengan Ade Virguna (gitaris Jet Liar dan RriD), serta Alhamdulillah bisa menulis buku Kepak Elang Merangkai Eidelweis (Novelete & Antologi Puisi Tunggal), Selingkuh (Antologi Tunggal Cerpen & Puisi), Perempuan & Daun (Antologi Tunggal Cerpen & Puisi), berbagi puisi di buku Musibah Gempa Padang (Antologi Penyair Indonesia-Malaysia), dan kembali bisa melahirkan Elang (Novel) dan Janji Biru Mahameru (Novel). Kirana Kejora merasa masih menjadi sehelai bulu ayam yang ingin menjadi sayap elang.

Irfan Firnanda, lahir di Jakarta, June 10, 1982. Memiliki hobi membaca, menulis, mendengarkan musik dan menonton film. Kini berdomisili di JL. Elang 10 Blok E16/05 Rt/Rw. 006/013. Kel. Cimuning, Kec. Mustika Jaya, Bekasi Timur Regency - Kota Bekasi. Kalau lebih ingin mengenal pnyair bisa menghubunginya di 0812 789 999 44 / 0811 811 8960 / 021 – 972 923 07/021 – 8261 2043 atau via email : irfan_firnanda@yahoo.com

Bahana Sang Pelangi merupakan nama pena Abu Baqier, lahir di Samarinda Kalimantan Timur, tanggal 01 Januari, alumni fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat, IAIN Alauddin Ujungpandang.

Badut 'PC' Gila, lahir di Surabaya 16 November dan berdomisili di Surabaya. Segala hal yang ingin ditanyakan pada penyair bisa melalui phone: 03172722355 – 085850404446.

Noer Komari, dilahirkan di Surabaya
, tgl 10 Okt 1967..Sekarang berprofesi sebagai dosen kimia di Univ. Negeri di Banjarbaru Kalsel...menulis puisi dan sajak hanya kesenengan utk melampiaskan dan melembutkan jiwa....
Jumardi Putra. Lahir di pelososk Nusantara, Desa Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo-provinsi Jambi (1986). Di samping dimuat di beberapa media massa lokal Sumatra
, beberapa puisinya telah dibukukan dalam Antologi Bersama ; Beranda Senja (Kosa Kata Kita Jakarta, 2010), Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010, (Dewan Kesenian Mojokerto, 2010) dan Menjaring Cakrawala (2010). Hingga kini, Antologi Tunggal sedang dalam proses penseleksian. Aktif di berbagai kegiatan sastra, salah satunya pada tahun 2010, mengikuti Seminar Sastra dan Ideologi Se Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) dan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta.
Hingga kini, berproses kreatif bersama teman seniman-budayawan Jambi. Salah satunya, menjabat Wakil Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Kabupaten Bungo-Provinsi Jambi. Penulis bisa ditemui lewat email: jumardi.putra@yahoo.com.
cp: 085267323168. Alamat rumah: Jalan Syailandra RT.14 No.02, Kelurahan Rawasari Kec. Kota Baru Jambi.

Ummi Hasfa. penikmat hujan.pecinta purnama. ummihasfa.multiply.com.

Nero Taopik Abdillah lahir di Garut 15 Juli 1983, merupakan alumni UPI Kampus Tasikmalaya. Menulis puisi baginya adalah salah satu cara mensyukuri hidup. Semasa kuliah menjadi salahseorang pendiri Komunitas Teater Cagur, kemudian mempelopori berdirinya Komunitas AKSARA (Area Komunitas Seni Sastra UPI Kampus Tasikmalaya). Saat ini berprofesi menjadi guru di SDN 2 Cikuya Kecamatan Culamega Kabupaten Tasikmalaya. Selain itu aktif menjadi pengurus Pondok Media Tasikmalaya, serta menjadi Dewan Penasehat Komunitas AKSARA. Beberapa karyanya termuat di HU Kabar Priangan, HU Radar Tasikmalaya, Kabar Cirebon, Harian Fajar Makasar, Batam Pos, Majalah Ekspresi Bali, Buetin Teras Sastra DKJT, Antologi Berjalan Ke Utara, Antologi Puisi Religi Lintas Negara “Kun Fayakun Cinta”, Antologi puisi Munajat Sesayat Doa, serta tersebar di beberapa media maya seperti situseni.com, kompasiana.com, matapelajar.com dan beberapa media maya lainnya. Segala hal mengenai penyair bisa ditanyakan langsung bia email: gerimisculamega@yahoo.co.id bisa juga lewat Handphone 081323460864


Ach. Nurcholis Majid, lahir di Masalembu 4 Maret 1988. Menyukai puisi, sesekali membuat cerpen dan esai. Karyanya dimuat di berbagai media massa nasional, terkadang memenangkan lomba tingkat nasional dan internasional. Merawat Sanggar Sastra Al-Amien Prenduan bersama kawan-kawan lainnya.

Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 Putra KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh seorang Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), seorang Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Yayasan Al-Amien Prenduan. Antologi Puisi Mengasah Alief (2007,bersama 10 Penyair Angkatan 31), Antologi Puisi Yaasin (Balai Bahasa Jatim,2007 bersama penyair pesantren se Jawa Timur) Antologi Puisi Toples (2009, bersama beberapa Mahasiswa Jogjakarta) Antologi Puisi Akar Jejak (2010,bersama 50 Penyair Al-Amien), Kumpulan Puisi Heart Weather (ebook pertama 2010 di scribd.com dan ebook kedua,2010 di evolitera.co.id), Kumpulan Puisi Dari Huruf Hingga I'tikaf (ebook di evolitera.co.id, 2010), Antologi Puisi Menuju Pelabuhan (ebook pertama di scribd.com dan ebook kedua di evolitera.co.id). Antologi Puisi Ketika Penyair Bercinta (ebook pertama di scribd.com,2010 dan ebook kedua di evolitera.co.id,2010). ANTOLOGI CERPEN CINTA RELIJI LINTAS NEGARA (evolitera.co.id,2010) KUN FAYAKUN CINTA ANTOLOGI PUISI RELIJI LINTAS NEGARA (evolitera.co.id) ANTOLOGI PUISI JADWAL KENCAN (evolitera.co.id, 2011), merupakan kado ultah ke 25 berisi 25 puisi.