KATA PENGANTAR DARI KETUA PENYELENGGARA
Ada banyak cara menyampaikan risalah hati salah satunya adalah puisi. Ketika semua mata sibuk memandang Indonesia dari segala segi, saya pun mulai mengatur strategi untuk mengetahui pandangan para sahabat dari berbagai anak bangsa tentang pandangan mereka pada Indonesia lewat puisi.
Perlahan saya pun berencana membuat suatu antologi bersama rekan-rekan pecinta puisi yang memiliki waktu dan kesempatan untuk saling berbagi pandangan lewat puisi.
Lewat event ini saya mulai menyadari, tidaklah mudah menyakinkan para sahabat yang ada di sekeliling kita, yang hanya kita kenal nama di dunia maya,tanpa pernah bersua secara langsung. Namun apa pun rintangannya, keyakinan memang harus diterjemahkan secara nyata.
Melalui status saya mencoba mengajak satu demi satu sahabat untuk ikut memeriahkan event yang saya adakan kemudian berlanjut pada catatan di facebook.
Awalnya event ini saya buka 8 Juni 2011-29 Juni 2011 jam 21:00 WIB namun melihat antusias para sahabat dalam berkarya maka diundur hingga 1 Juli 2011 jam 20:00 WIB.
Tak ada yang dianak emaskan dalam penyeleksian ini, semua memiliki nasib yang sama, memang ada beberapa yang sengaja saya minta dari penyairnya seperti karya Acep Zamzam Noor, Rama Prabu dan Jumardi Putra karya-karya mereka mengandung makna filosofi yang memikat hati saya, namun ada pula yang melewati seleksi yang ketat.
Setelah seganap usaha dan segala kemampuan saya kerahkan, Allhamdulillah beriring ridla Allah lahirlah karya-karya anak bangsa seperti yang akan anda baca. Akhirnya kepada seluruh penyair yang ada dalam antologi ini, saya haturkan terimakasih semoga menjadi ladang amal yang mendapat ridla di sisiNya dan kepada segenap pembaca saya haturkan selamat membaca, selamat menelaah dan mengapresiasi antologi yang lahir dari tangan anak bangsa.
Ketua Penyelenggara Antologi Puisi Indonesia Di Mata Penyair
Moh. Ghufron Cholid, Madura
PROLOG
PUISI MENGGAMBARKAN KEUNIVERSALAN
Oleh Kony Fahran
SATU puisi jatuh ke tangan orang 15, maka 15 juga makna maupun apresiasi yang diberikan. Itu berarti tidak bisa diseragamkan daya tangkap penikmat puisi. Dapat diseragamkan hanya satu rasa, penikmat tidak mau mewarisi kesedihan pribadi penulis puisi.
Misal menulis sedih dari gambaran ratapan pribadi tanpa sama sekali menyentuh ke bagian luar, si penikmat umumnya seragam menolak keberadaan ratapan itu dengan alasan tak hendak mewarisi ratapan pribadi yang penikmat anggap si penulis tidak lain hanya ingin mengasihani diri sendiri melalui tulisan.
Berbeda jika puisi sedih menggambarkan keuniversalan kemanusiaan, derita orang lain, derita lingkungan, derita alam, derita bangsa atau apa saja di luar dari diri pribadi. Seperti mengemukakan persoalan cinta secara hakiki, erotisme, maupun perjuangan yang tak kunjung tuntas, religius, kemiskinan, atau pun membidik demensi-demensi moral dan lainnya, sudah tentu penikmatnya akan terikut oleh sentuhan emosional yang jembar dan memberikan penawaran kebernasan.
Apalagi Puisi-puisi yang sudah mampu menembus dimensi-dimensi itu memiliki ciri pegucapan yang berbeda dari kebanyakan orang dalam cara mengucapnya, misal berkekuatan daya lentur dan indah, berdiksi dan berkata-kata nan ekonomis guna memberikan keterbebasan dari kemubaziran kata, sehingga memiliki kesan apik dalam memilih kata.
Lebih lagi puisi ‘ditiupkan roh’ guna menghidupkan kata perkata dengan menggunakan kejernihan bahasa yang dikemas ke dalam perangkat-perangkat sastra yang memang sudah baku seperti pendalaman bahasa metafor, simile bunyi, derap, persajakan, kesemantikan antara kepala dengan isi diksi.
MENCERMATI kumpulan puisi yang digawangi Moh. Ghufron Chalid, penyair dari Pulau Madura “IdiMP (Indonesia di Mata Penyair) ” yang di depannya ditambahkan antologi berarti kumpulan. Dilihat dari pengucapan maupun wawasan estetik, karya para penyair dalam antologi di tangan anda ini sudah cukup menguasai perangkat-perangkat sastra di bidang puisi sebagai akar sastra tulis.Para penyairnya, tentu tak berlebihan disebut telah mampu ‘menyeret’ ke luar pengucapan esoterik lokal (individu lengkap dengan ratapan pribadi) untuk dikesampingkan dan dibawa ke dalam linguistik yang bersifat universal.
Mengekor perkataan penyair Korrie Layun Rampan: “Puisi lokal dalam ranah Indonesia sudah saatnya terbebas oleh ras, etnik, bangsa dan agama, lebih-lebih belenggu keindividuan. Dengan begitu, karya puisi mampu mendobrak pintu maupun tembok dogmatik untuk kemudian membawa nilai-nilai metafisis dan ‘menyenggamakan’ nilai itu pada buhulan sosioreligius dan berancang pada religiositas.
Menyimak secara fisik terhadap karya-karya yang ada dalam IdiMP, ada kesan keberagaman tema yang ditawarkan para penyair. Asep Zamzam Noor misalnya, mengapari kata dalam kejernihan bahasa sehingga memunculkan perbandingan antara kesemrautan harga-harga dalam negeri dengan penyanyi dangdut yang harganya terus melambung. Ada kesan jenaka satiris yang sebenarnya membangkitkan rasa emosional ketika berkali-kali membaca puisi itu sambil senyum. Itulah barangkali negeri yang pencitraannya kalah dengan penyanyi dangdut.
Selebihnya adalah peringatan, seperti yang dilakukan Elis Tating Bardiah mengenai negeri ini dan ulat bulu. Lalu, Jumardi Putra mengkemas persoalan kharismatik ulama Indonesia. Kemudian tentang tsunami dibidik Khalil Zaini. Berikut, Moh. Ghufron Chalid sang gawang antologi ini dengan ‘jumawa santun’ memotret kebernasan penghuni Pulau Madura dengan kekayaan sastra. Dan penyair lainnya membawa pesan tema masing-masing, sehingga dalam antologi ini bermunculan bernas-bernas tema yang boleh dikata mumpuni dalam meneropong dimensi-dimensi yang ada secara universal dan membawa puisi keuniversalan kemanusiaan dan menghadirkan nilai-nilai satir terhadap negeri ini – Indonesia dengan sudut pandang serta intuisi penyairnya.
Nah, ketika saya menulis ini, kebetulan di kantor tempat saya bekerja Bmagazine, seorang anak kelas 6 SD, anak salah satu karyawan se kantor dengan saya datang mendekat dan memperhatikan monitor komputer saya, lalu anak itu bertanya: “Apa pentingnya menyandang gelar penyair?”
Sebelum menimpali pertanyaannya, saya tersenyum sambil memandang tepat ke wajah anak itu yang sudah cukup akrab dengan saya. Kemudian saya katakan: “Gelar penyair itu tidak penting. Tetapi, penyair memiliki kehalusan rasa, budi dan ketajaman intuisi dibanding yang bukan bergelar penyair.”
Anak itu melongo tapi sepertinya berpikir mencoba untuk memahami dan saya biarkan ia begitu.
=================================================
Kony Fahran, kelahiran Banjarmasin – Kalsel, 17 Agustus 1960. Sejak 1978 menulis cerpen, cerber dan puisi. 1984 memulai karier di bidang jurnalistik diawali di Harian Dinamika Berita Banjarmasin. 1991 hijrah ke Samarinda Kaltim, gabung dengan Harian Kaltim Pos rekanan Surat Kabar Harian Jawa Post. Kemudian 2004 mundur dari Kaltim Pos, lalu dikontrak DPRD Kutai Kartanegara di Kota Tenggarong masih di wilayah Kaltim untuk membuat majalah interen. Sampai tahun 2009. Kini dipercaya sebagai redaktur umum dan pemegang rubrik sastra di Bmagazine (Majalah Bongkar) sambil mengisi siaran sastra di radio Samarinda. Email: redaksi@bongkar.co.id dan Email: majalahbongkar@gmail.com.
Abdul Ghafar Ibrahim
DI JAKARTA
satu jambatan
atasnya menonton manusia sekumpulan.
Atas jambatan
ciliwung di bawah
anjing gila nyalak menyalak
gigit menggigit
rantai di leher putus sudah.
Suara-suara bersuara-
bukan gila, bung
anjing baik, pak
iya, bu
mas, adik, kakak, saudara
anjing gila itu sahabat kita
ha-ha-ha
tiba-tiba
dalam ber-ha-ha-ha
anjing gila mencabut kepala
sayangnya terutama kena kepada
kepala-kepala.
tapi, iya
ALLAHku Maha Kaya
anjing gila sisesat itu
dikebawahkan
kebawahkan-kebawahkan-kebawahkan
dan kau Kota Jakarta bertahan
atas jambatanmu bertahan-han-han-han
dan kau saksikan sendiri sepuas-puasnya
anjing gila dibunuh-nuh-nuh-nuh
dan dihanyutkan oleh ciliwung
ciliwung yang setia.
Jakarta 1969
Acep Zamzam Noor
KEPADA SEORANG PENYANYI DANGDUT
Di tengah melambungnya harga-harga
Suaramu semakin merdu saja
Di tengah membengkaknya hutang negara
Wajahmu semakin cantik saja
Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama
Tubuhmu semakin sintal saja
Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana
Goyanganmu semakin heboh saja
Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya
Kehadiranmu semakin berarti saja
Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa
Hargamu semakin melambung saja
Elis Tating Bardiah
MEMBACA MUSIM DI NEGERI KAMI
Musim penghujan semua orang tahu, ia ada di negara tropis
lalu kemarau hadir setelah langit bosan menitikkan air mata
dan dua musim ini ku kenal dulu
dulu, pada zaman jalan berbatu dan bemo
di saat aku masih berseragam putih merah
Kini saat kududuk di depan yang berseragam
aku suka sekali membaca negeri
ternyata musim bertambah
ia muncul bukan dari alam
karena alam sudah bosan dengan tingkah kita
itu menurut Ebit G Ade dalam lagunya
Kini musim lahir dari penghuninya
Musim tikus berseragam
Musim bom bunuh diri
Musim lahirnya penipu
Musim bermekaran ulat bulu
Kupu-kupu tak layak terbang lagi rupanya di negeri ini
karena pulau, lautan, dan pohon-pohon sudah menjadi barang gadaian negeri
apa ulat itu juga sebagai reinkarnasi batu yang dilempar ababil?
supaya abrahah dalam diri layak telanjang dari segala tingkahnya
by: Liz
Bdg, 22 April 2011
Jumardi Putra
KIAI ASYARI
1/
Adalah balairungmu berkalung bintang
Keras bersolek sebening fajar
Kawah dolanan bocah bertaringgarang
Berkepala matahari
Berhati rembulan
Dengan balutan gamis tawaduk dan kasih sayang
: Hasyim Asyari
Bung Besar di kemudian hari.
2/
Di Dusun Keras, tembang cinta berkelana di toatoa fajar
Sedari awal, bahwa sepilihan kuda putih yang berarak pelan
di atas gundukan mawar telah merisalahkan tapakmu.
Kulihat bibir keras, basah dalam rekahan yang merindu.
Ket: Kiai Asyari adalah Ayah dari Kiai Hasyim Asyari. Ia adalah pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
*Palembang, 2011.
Khalil Zaini
TIRAI SEMALAM TEKAL TERSINGKAP
(Sempena Memperingati Tsunami)
Di celah gorden sepi
dingin menyelinap ke ruang duka
babad tragis mampir lagi
menyebak bingkisan emansipasi
kepada laut yang tidak berhati
biar berketi-keti tahun berlalu
ruang gundah terus terjojol
meski tabir tidak mahu – malu
derita tegar menjengah
walau sekilas
di sela yang serupa
Tirai semalam tekal tersingkap
kocak laut
detup gempa
pekik ombak
bersama mewayangkan trauma.
Khalil Zaini
Pantai Dalam, Kuala Lumpur
22.6.2011
Rama Prabu
SANGSAKA PANCASILA
paduka yang mulia, pemimpin besar revolusi
Soekarno memancang sumbu api
menyatukan tanah negeri
ketuhanan yang maha esa
kemanusiaan yang adil dan beradab
persatuan indonesia
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia
dasar itu iman bangsa
alas yang jadi atap pusaka
tanah air nusantara
adab keyakinan dalam perbedaan
mengikat satu dalam hikmat perwakilan
demi adil dan sosial
demi hidup rakyat indonesia
sangsaka pancasila
adalah kibaran bendera yang menghimpun janji bakti
pada tanah air bahasa
pada bangsa bernama indonesia
Bandung, 1 Juni 2011
Niken Larasati
DARI UJUNG MIMPI, DARI SEPUCUK HARAPAN
Barangkali
Dari ujung mimpi
Dari sepucuk harapan
Meluap sebuah makna dalam pecahnya kehidupan
Kuingin menggenggam sejuta mimpi:
diantara kata yang mampu menyelamatkan negeri ini,
yang bilamana kumampu memberikan seunggah senyum
pada sekumpulan jejak orang-orang terpinggirkan
Kuingin menggapai sejuta harapan:
diantara duri-duri yang kian berumpun terjang,
yang berliku aral melintang dalam tangisan negeri ini
pada sekumpulan kisah pedih orang-orang terpinggirkan
Dari ukiran kata yang terucap lewat bahasa,
orang-orang yang tengah dilanda nista ekonomi
sedang meluapkan ingin mereka yang sebenarnya
Namun, tak kunjung didengar oleh pejabat negeri
“Ya, mereka mendengarnya. Tapi seolah tak mendengar.”
Sungguh, pejabat negeri yang begitu dihormati dan
dibanggakan oleh rakyatnya―tak seperti yang terpikirkan
Pun suatu waktu, mereka berucap:
“Pejabat negeri itu hebat. Mereka, orang-orang terhormat.”
Maka janganlah kecewakan pandangan mata mereka
Setidaknya, bukalah hati nurani dan uluran tangan
Karena hanya itulah yang mereka butuhkan
Lewat sebuah puisi, ingin kusampaikan bahwasanya:
Negeri ini tlah lama menangis, menjerit penuh isak
Mereka teraniaya―di negeri orang pun di negeri sendiri
Pula mereka masih mempunyai mimpi-mimpi
yang terkembang dalam sejuta harapan
Hanya saja mereka tak memiliki kesempatan
dan tiada wadah yang menampung aspirasi mereka
Bahkan ketika kesempatan itu berada di depan mata,
justru luka di atas nista yang mereka dapat
Hingga meninggalkan kenangan yang teramat pahit
Wahai saudaraku: “Marilah kita ulurkan tangan!”
Wujudkan daun-daun mimpi orang-orang terpinggirkan
Inilah negeriku, Indonesia...
2011
Windu Mandela
TARAWANGSA
Tarawangsa ,
Tujuh dawai Jentreng memetik daun-daun jati
Helai demi helai berjatuhan di derai padi
Tarawangsa
Menggesek tipis nadi malam
Mengasah menjorok sedikit ujung malam
Makin meruncing
Sekat Hijab pun mulai tertembus angin
Liuk daun turun lirih menari setengah putaran
Naik setengah ketukan
Menyakralkan penuh keagungan
Tuhan
Tarawangsa suci memanah atap bumi
Mematikan jiwa yang congak
Malam menjadi malam
Sunyi menjelma sunyi
Semua diam
Batu,
Tanah,
Air,
Kadang angin keluyuran
Menyangga daun yang jatuh dari petikan Tarawangsa
menari tanpa aturan, tapi berirama
di sumbu bumi
Tarawangsa
Aku dan
Tuhan
Dalam
Tarawangsa
W.M.
(17 juni 2011)
Sumedang,
Tarawangsa merupakan salah satu jenis kesenian rakyat yang ada di Jawa Barat. Istilah "Tarawangsa" sendiri memiliki dua pengertian: (1) alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi dan (2) nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda.
Jentreng, alat musik petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Tarawangsa
Rini Garini Darsodo
PADA PESONA LAUT BIRU
Laut biru
kujelang sepi di bibirmu
Pesona sunyi yang menyihirku dari rasa jemu
Kukirim peluk cumbu penuh getar rindu
Jantungku debar kala ombak debur
Mata terpukau oleh gemulai nyiur
Saat di kota kutemani kalut berbingkai kabut
Tiap pagi menyaji bunyi riuh gemuruh
Asap debu dari kendaraan yang semrawut
Namun di sini
kutemukan:
senyum bibir ranum menawan
beraroma amis nafas lautan
Ingin kumiliki sifat ombakmu
Yang selalu deburkan cinta pada pantaimu
Ingin kumiliki ketegaran nelayan
Dengan gairah mereka jemput penghidupan
Di mana keringat dan darahnya lebur ke dasar lautan
ikan-ikan riang mengisi sampan
: maka laut, ikan, nelayan adalah mata rantai yang tak terputuskan.
di bawah sinar mentari terangkai pada garis Yang Maha Menentukan
By: Karlina Mayasari (Rini Garini Darsodo)
30 April 2010
Catatan: Terinspirasi dari laut Karang Bolong, Cilegon Banten
Sipulan K. Langka
RELIEF
menamai matahari setelah kau bangun dari tidur
aku sempat melihat matamu seperti rangkaian waktu
sejarah yang hampir habis
pada gerimis
rintik-rintik memaksa setiap kita makin dahaga.
aku mungkin lupa namamu
seperti para korban bencana
kita terpaksa satu tenda meski tak saling
kenal.
astaga! kau telanjang
dadamu matahari dan bulan sipit.
bertahun-tahun aku lamun
sekedar menanggul sejarah ketika hujan
banjir yang membuat kota terapung
dan menenggelamkan masa depan;
dulu kita adalah anak-anak kecil
sempat bermain dipercik air.
kau masih lelap rupanya
di saat orang banyak telah pura-pura berfikir
mengeruk bumi untuk persoalan lalu-lalang
menimbun cakrawala dengan batu-batu.
kemudian aku hanya tertegun melihat dadamu
entah kemana matahari?
sejarah yang kita bikin
terang-terang dicuri maling.
Bandung, 2010
Padina Dariyanti
DI DEPAN BENTENG KUTO BESAK
aku masih tak beranjak dari sisi sungai Musi
memandang permukaan coklatnya
yang selalu saja beriak-riak tak tenang
kemaren sore saat kau undang aku ke istana kuasa-kuasamu
meski aku tahu, aku sungguh masih muda
meski aku tahu, aku sungguh sangat bisa
aku masih di sini di depan Benteng Kuto Besak nan rapuh
berbaju putih hingga keringkihannya dan cacatnya tak terlihat
seperti topeng-topeng yang kita pakai
menutupi sisa-sisa darah perjuangan di sana
menutupi bolong-bolong singgahan peluru-peluru
menutupi matanya yang menyaksikan sejarah lebih lama dari kita
menutupi mulutnya yang ingin sekali bicara bahwa negeri ini bukan hanya milik kita
di depanku sepuluh butir pempek goreng menungguku
mengangkat sendok di kanan dan garpu di kiri
membelah-belah keras risaunya di dalam piring plastik
menenggelamkan kepedihannya di sausnya yang encer
tapi aku masih diam di tengah riuh pedagang yang bergurau akan harga-harga dan barang-barang
di bawah intaian seorang pencopet bermata jalang dengan muka tanpa dosa
di alunan ratapan pengemis yang menyerah pada debu nasibnya
aku masih beku dan diam
aku benci kelemahan jiwa
yang membuatku malu berkata-kata
hingga hatiku memilih untuk tetap berdiri di depan benteng ini
yang membuatku malu untuk memakai gaun yang bukan milikku
di pesta pora penggadaian aset-aset bangsa di istana
Aroelika Munar
ACEH
Aceh
Tumpah darahku
Aceh
Air mataku
Aceh
Moyangku
Aceh
Istimewaku
Aceh
Budayaku
Aceh
Kekayaanku
Aceh
Masa depanku
Aceh
Aku ingin kau berdiri lagi dalam kemegahan
seperti tempo samudera pasai
Aku tak ingin kau di permalukan
seperti Marsose menjajahi tanah kita
Aceh
Bawakan Cut Nyak Dien ku kembali
Aceh
Bawakan Iskandar Muda ku kembali
Aceh
Bawakan Panglima Polem ku kembali
Aceh
Bawakan aku Kemalahayati yang dulu
Aceh
Cintaku hanya untukmu
keindahanmu tercipta untukku
Aceh
Lihatlah di ujung Banda
Lhok Nga berpantai indah menepuk sejuk kalbu-kalbu
Belum lagi keindahan Sabang
yang benderang di kilometer Nol
Aceh
Lihatlah mesjid Baiturrahman
Kokoh di tengah Banda
Simbol islam negeri kita
Aceh
Lihatlah mata-mata kalbu
yang menangisimu sepanjang waktu
Mendoakanmu hingga akhir waktu
Aceh
Megahlah sepanjang abad
Rencongmu tetap ku dekap
Matangglumpangdua, 1 Juli 2011
Moh. Ghufron Cholid
KUKENALKAN MADURA PADAMU, SAHABAT
Madura
Tanah tatakrama
Bertabur bunga cinta
Pohon budaya
Lebat daun setia
Kokoh akar percaya
Bila tiba musim kemarau
Wangi tembakau
Menyihir pulau-pulau
Ngapote tanduk majeng menembang
Ruh-ruh menari riang
Lupa segala riuh bimbang
Kerapan sapi
Ajari diri
Hidup terjemahkan mimpi
Suramadu tersaji
Berpacu seluruh nurani
Bercermin diri
Bila seluruh bahasa tatakrama
Tak lagi dimengerti dengan pesona
Carok ada pertahankan merdeka
Musuh tak dicari
Ada pun tak lari
Demikian Madura berbagi jati diri
Kamar Hati, 24 Juni 2011
Tuti anggraeni
BHINEKA TUNGGAL IKA
Kamu suku jawa
Aku jawa berlumur betawi
Kita hirup udara di tanah sunda
Banyak suku bahasa
Padang, batak, melayu
dayak bugis bali sasak flores dan lainnya
Tapi kita tetap bisa berkomunikasi
Dipersatukan bahasa Indonesia
Dunia pewayangan paling kusuka
Tari tarian daerah diperlihatkan
Reog ponorogo disuka tua dan muda
Baju adat dan makanan tersebar di berbagai wilayah
Namun kita tetap disatukan
Bhineka tunggal ika
Asal muasal gajah mada mempersatukan Indonesia
Jayalah bangsaku
***17-6-2011***
Ayumi Maulida
INDONESIAKU BERJAYALAH
/1/
Tujuh belas agustus empat puluh lima
Masih sangat jelas dalam ingatanku
Buliran darah yang tercecer di mana-mana
Mayat-mayat pejuang bergelimpangan
Tangisan melengking yang membahana
Tombak runcing yang menggenggam di tanganmu
Mengharap kemerdekaan segera hadir
Tapi semuanya itu tak mudah
/2/
Tujuh belas agustus empat puluh lima
Teriakan kemerdekaan semakin terasa
Kala sekutu tak lagi menjama’ah bumi pertiwiku
Rakyatku bergema
“Merdeka… Merdeka… Merdeka…”
Nyanyian Indonesia Raya dilantunkan penuh semangat
Kibaran Sang Saka Merah Putih turut berpadu dalam keceriaan
/3/
Tujuh belas agustus empat puluh lima
Rentetan peristiwa itu tak sekalipun tertinggal
Kini, Indonesiaku telah berjaya
Menapak masa depan
Menuai mimpi bagi dunia seluas samudra
Palembang, Agustus 2009
Biodata Penulis
Abdul Ghafar Ibrahim (atau AGI), dilahirkan di Kampung Sesapan Batu Minangkabau, Beranang, Selangor Darul Ehsan pada 31 Ogos, 1943. Beliau rakyat Malaysia yang pertama menjadi penulis tamu di International Writing Program, School of Letters, University of Iowa, Iowa City, Iowa, Amerika Syarikat (1974). Memperolehi Sarjana Muda Seni Halus (Northern Illinois University, DelKalb, Amerika Syarikat, 1976) dan Sarjana Seni (Eastern Illinois University, Charleston, Illinois, Amerika Syarikat, 1977). Latihan perguruannya di Pusat Latihan Daerah, Sungai Petani dan Alor Setar, Kedah (1965 - 1966). Latihan Perguruan Khasnya di Maktab Perguruan Ilmu Khas, Cheras, Kuala Lumpur (1969). Latihan lanjutan perguruannya pula di Maktab Perguruan Bahasa, Lembah Pantai, Kuala Lumpur (1974). AGI menulis puisi, drama, sketsa, wawancara, esei, rencana dan juga seorang pelukis. Puisi sulung beliau 'Ensiklopedia Kehidupan Manusia' disiarkan di Mingguan Malaysia, (8 Ogos, 1965), diikuti dengan 'Nanar', terbitan Berita Minggu (31 Januari, 1966). Kumpulan puisi perseorangan AGI, Tan Sri Bulan (1976), Tak Tun (1978), Dialog Dengan Seniman (1982), Yang Yang (1986, 1990, 2009), Ahhh.Sajak- Sajak Terpilih (2005) dan Takkan Hilang (2008).Kesemua bukunya ini diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam Bahasa Inggeris. Puisi beliau juga diterbitkan dalam bentuk antologi di peringkat tempatan, serantau dan antarabangsa. Antaranya termuat dalam Puisi-puisi Nusantara (1981), Tinta Pena (1981), Kumpulan Puisi Malaysia (1990), Puisi Baharu Melayu 1961-1986 (1990), Cempaka (1992), The Pupperteer's Wayang (London and DBP, 1992), Suara Rasa (1993), Cakerawala Nusantara (1999) danEmas Tempawan (2004). Puisi beliau juga telah diterbitkan dalam surat khabar The Australian (1973), Programme for Writer's Workshop, Murdoch University, Perth, (1975), The Elek Book of Oriental Verse (London, 1979), Outrider (Brisbane, 1987), Bruzde, Serbo-Croatian (Yusgoslavia, 1988), Cikyu (Japan,1988), Malay Literature (Kuala Lumpur, 1989, 2002), Horison (Jakarta,1990), Now Read On-A Course in Multicultural Reading (New York, 1999), Ratib 1000 Syair (2005), Koleksi Puisi Bermontaj Jilid 1 (2005), Kencana (2006),TiaSang (Vietnam, 2006), Antologia De Poéticas Indonesia, Portugal, Malaysia (Jakarta, 2008), Voices Of Malaysian Poets (2009). Karyanya yang lain ialah kumpulan drama Zaman yang Mencabar (1992), kumpulan temu bual dengan seniman dunia Dialog Seniman Dunia (2010), Warkah Biru (2010), Relfeksi Penyair (2010), Cita Cinta Puisi (2010), Ikat - Tie, 101 Konotatif AGI (2011). Sajak AGI berjudul 'www.sibermerdeka.com.my' dan 'Pahlawan ialah Dia' memenangi Hadiah Sastera Perdana Malaysia (2000/2001). AGI juga membaca puisi, antaranya di Adelaide Arts Festival, (Australia, 1974, 1990), Struga Poetry Evenings,(Macedonia,1986), Asian Poets Conference, (Taichung,Taiwan,1988), Kuala Lumpur World Poetry Reading (1986, 1990, 2002), The Malaysian Literature Week, (London, 1992), Asian Artistes Creative Interaction, (Bangkok, 1992), Asian Poets Conference, (Seoul, Korea Selatan, 1993). Suan Pakkad Palace Garden, (Bangkok, 2005). Pada tahun 1990, beliau menjadi tetamu Program Australian Government Cultural Award. Manakala sajaknya, 'Lapangan Ya-Ya-Ya' telah dipilih The Song Company Australia, sebuah vocal ensembles bertaraf antarabangsa dan dipersembahkan di merata dunia dengan lagu digubah oleh Saidah Rastam (1999). Sajaknya 'Apa Yang Nak'diangkat sebagai teks tambahan dalam 'M! THE OPERA' (Saidah Rastam, 2005) di Istana Budaya, Kuala Lumpur. Bersama penyair Kemala, AGI menjadi ahli panel Program Penulisan MASTERA VI (Bengkel Puisi Majlis Sastera Asia Tenggara), (Bogor, Indonesia, 2002). Pada tahun 2005 beliau menerima Anugerah Penulisan Asia Tenggara (S.E.A. Write Awards 2005), Bangkok, Thailand. Beliau pernah berkhidmat sebagai Pembantu Sastera di Dewan Bahasa Dan Pustaka, Kuala Lumpur (1974). Aneka prestasi telah diraihnya.
Acep Zamzam Noor penyair kelahiran Tasikmalaya. Kumpulan puisinya antara lain "Di Luar Kata", Di Atas Umbria", "Jalan Menuju Rumahmu" dan "Menjadi Penyair Lagi".
Elis Tating Bardiah. Lahir di Bandung tahun 1978, lulusan UPI tahun 2002 Jurusan Akuntansi adalah seorang pengajar di sebuah SMA di Bandung. Tertarik menulis di pertengahan tahun 2009. Bergiat di Majelis Sastra Bandung pada awal tahun 2010. Karyanya banyak di-share di akun facebook dan blog pribadinya http://www.raudhohqolbu.blogspot.com. Pernah diminta mengendorse buku “Merancang Masa Depan si Buah Hati”, sebagian karyanya pernah dibukukan dalam E-Book Evolitera Ketika Penyair Bercinta, Bersama Gerimis, dan Hampir Sebuah Metafora. Cerpen, Essai, dan artikelnya pernah dimuat di Majalah Story, Lapak Kata, buletin Halaman Pantai Padang dan www.eramuslim.com. Sekarang sedang proses membuat antologi tunggal dan novel yang berbasic kurikulum Akuntansi.
Jumardi Putra, lahir pada 1986, di Desa Empelu, Kab. Bungo-Jambi. Alumni Pon-Pes Tebuireng Jombang Jawa Timur (2004), dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009). Selama mahasiswa aktif di LPM ARENA Yogyakarta (2005-2009), dan editor penerbit buku Annora MediaGroup Yogyakarta (2009). Di penghujung tahun 2010, menghadiri Seminar Antarbangsa Kesusastraan AsiaTenggara, yang diprakarsai Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) dan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, di Jakarta. Pada April 2011 mengikuti Tarung Penyair Panggung se Asia Tenggara, di Tanjungpinang, dan Juli 2011 akan mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara V (PPN V) di Sumatera Selatan. Karya puisinya tersebar di media cetak, online dan antologi bersama. Kini aktif di Dewan Kesenian Jambi sekaligus menjabat Wakil Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan (HISKI) Komisariat Kab. Bungo-Jambi.
Khalil Zaini ialah nama pena bagi Muhammad Aminul Khalil Bin Zaini. Penuntut Institut Pendidikan Guru Kampus Bahasa Melayu ini lahir di Kuala Lumpur pada 26 Oktober 1990. Beliau mula menulis pada awal 2010 dan cenderung kepada genre puisi, cerpen dan drama radio. Kini beliau sedang mengusahakan sebuah novel. Karya-karyanya tersiar di media tempatan sama ada media cetak atau pun elektronik. Beliau banyak mengikuti kursus dan bengkel anjuran badan penggiat sastera di Malaysia. Segala hal mengenai penyair bisa ditanyakan langsung scorpio_sg8@yahoo.com atau juga via telefon +6013-6613852 (Malaysia), blog: khalilzaini.blogspot.com. Alamat rumahnya: Blok C2-4-9, Taman Ampang Hilir, 55000 Kuala Lumpur, Malaysia.
Rama Prabu, Penyair tinggal di Bandung, Direktur Dewantara Institute “Lembaga Kajian Kebudayaan, Pendidikan dan Politik”. Karya berupa buku Sabda Sang Pencinta/Lovecode (limited edition/2006), Jogja Dalam Keistimewaan (Pendapa Press, 2007), Antologi Puisi Penyair Nusantara/Musibah Gempa Padang (KL, Malaysia, 2009), Segera Terbit Buku Puisi Bulan Mei 2011: Mata Rama, 151 Rubaiyat Rama Prabu, (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Ramayana, 151 Jalan Cinta (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011), Testamen Penyair Merah (Dewantara Institute & Asram Rama Prabu, 2011). Telah menulis kurang lebih 2000 bait puisi. Dapat ditemui di situs www.ramaprabu.org, http://www.facebook.com/ramaprabu, e-mail: lord.ramaprabu@yahoo.co.id dan di 0811 225 7581
Niken Larasati, lahir 1 Mei 1992. Mahasiswi akuntansi STIE PGRI Dewantara Jombang. Aktif menulis cerpen dan novel sejak September 2011. Buku bersamanya: Bismillah, Aku Tidak Takut Gagal (Qultum Media, 2011), INSPIRING TEACHER; Kumpul Guru Jadi Guru (LeutikaPrio, 2011). Cerpen yang di muat dalam Jurnal Sastra dan Budaya Jombangana berjudul ‘Penari Remo’ (Dewan Kesenian Jombang, 2011). Email: niken_venus@yahoo.com.
Windu Mandela, lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada tanggal 17 Agustus 1989. Alamat di Sumedang, Jawa Barat, mahasiswa semester 8 di STKIP Sebelas April Sumedang, yang saat ini sedang dalam proses penyusunan skripsi. Tertarik menulis setelah membaca buku catatan saudaranya yang di dalamnya terdapat puisi. Belajar kepada penyair adalah yang sangat disukai dalam mengasah potensi. Segala hal mengenal penyair bisa ditanyakan langsung via facebook Windu Mandela.
Rini Garini Darsodo lahir di Majalengka, 25 Juli 1961. Tinggal dan berkeluarga di Bandung. Lulus dari Unpad tahun 1987 dan berkarir dengan berwiraswasta. Mulai belajar menulis sejak tahun 2009 di FB. Kini dia bekerja di Sekolah Magistra Ibda Binafsika, Subang.
Sipulan K. Langka, Lahir di Sumenep Madura. Pimpinan teater Kalangka, belajar teater di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung (sekarang ISI). Sejumlah puisinya dibukukan dalam antologi tunggal Taretthep (2007), dan beberapa antologi bersama. Naskah dramanya yang berjudul Surat Keputusan masuk nominasi dalam sayembara penulisan Lakon Realis yang diselenggarakan oleh Jurnal Daundjati (2009).
Padina Dariyanti, lahir di Palembang 8 September 1985. Mulai menjejakkan langkah pertama dalam dunia kepenulisan semenjak tahun pertama kuliah kemudian bergabung dengan Forum Lingkar Pena Cab. Mesir sejak tahun 2005. Salah satu tulisannya pernah tergabung dalam antologi "Lasykar Syuhada" bersama teman-teman FLP Mesir serta antologi cerpen “ Ibuku Perawan” bersama teman-teman PCI-Muhammadiyyah Mesir.Kini bekerja sebagai tenaga pengajar di Pon-pes Raudhatul Ulum Sakatiga Indralaya OI Sumatera Selatan. Alamat FB: Dheens Ruang Putih.
Aroelika Munar adalah nama pena dari Khairul Munar, dilahirkan di Samalanga / 4 Februari 1986. Ia adalah seorang Mahasiswa Universitas Almuslim Kab. Bireuen dan memiliki hobi menulis. Prestasi yang telah diraih Juara II Menulis Puisi, Peksimida Aceh Tahun 2010. Karya-karya lainnya bisa dibaca di catatan facebook Khoirul Munar. Ia sangat senang membacakan puisi-puisinya di atas panggung. Kini tinggal di Ds. Tambue Kec. Simpang Mamplam Kab. Bireuen – Aceh.
Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 Putra KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh seorang Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), seorang Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Yayasan Al-Amien Prenduan. Antologi Puisi Mengasah Alief (SSA, 2007), Antologi Puisi Yaasin (Balai Bahasa Jatim, 2007) Antologi Puisi Toples (Total Media, 2009) Antologi Puisi Akar Jejak (SSA, 2010), Antologi Puisi TigaBiruSegi (Hasfa Publishing, 2010), Dear Love (Hasfa Publishing, 2011), Antologi Puisi Negeri Cincin Api (LESBUMI, 2011). Yang terbit Online Kumpulan Puisi Heart Weather (ebook pertama 2010 di scribd.com dan ebook kedua,2010 di evolitera.co.id), Kumpulan Puisi Dari Huruf Hingga I'tikaf (ebook di evolitera.co.id, 2010), Antologi Puisi Menuju Pelabuhan (ebook pertama di scribd.com,2010 dan ebook kedua di evolitera.co.id,2010). Antologi Puisi Ketika Penyair Bercinta (ebook pertama di scribd.com, 2010 dan ebook kedua di evolitera.co.id, 2010). Antologi Cerpen Cinta Reliji Lintas Negara (evolitera.co.id, 2010) KUN FAYAKUN CINTA Antologi Puisi Reliji Lintas Negara (evolitera.co.id,2010) Antologi Puisi Jadwal Kencan (evolitera.co.id, 2011)Antologi Puisi Indonesia Di Mata Penyair (ebook pertama di evolitera.co.id, 2011 dan ebook kedua di jakartabeat.net, 2011). Alamat Rumah Pondok Pesantren Al-Ittihad Junglorong Komis Kedungdung Sampang. Alamat Kantor Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465. Segala hal mengenai penulis bisa ditanyakan langsung via email putra_blega@yahoo.com/mohghufroncholid@gmail.com CP 087852121488/087759753073.
Tuti anggraeni lahir di Jakarta.tertarik menulis puisi baru pada awal tahun 2010 dan puisinya pernah terbit di buku antologi 105 penyair Pekalongan.Karya karyanya dapat dilihat tutianggraeni.blogspot.com atau bisa mengunjungi www.kompasiana.com/tutianggraeni, http://www.dindingsyair.blogspot.com
Ayumi Maulida nama pena dari Siti Fatimah, A.Ma, Pd. Lahir di Palembang, 5 Juli 1986. Lulusan D-II FKIP PGTK UNSRI 2005. Saat ini tinggal di Jl. Karya Baru No. 375 RT.06 RW.02 KM.7 Palembang 30152. Aktivitas saat ini sebagai seorang guru private TK dan SD. Selain itu, aktivitasnya di Komunitas Virus Baca dan Anggota FLP Palembang. Karya pertamanya di Antologi Puisi Kado Untuk Indonesia 2011(Literar Khatulistiwa), Antologi Puisi Justin Bieber My Idol 2011(Leutika Prio), Antologi Puisi Islami 2011, FF Humor WR 2011, Juara Harapan 2 Lomba Cerpen 30 Kisah Ramadhan 2011, Antologi FTS Hangatnya Dekapan Ramadhan WR 2011.(Masih proses penerbitan). Karya-karya lainnya bisa dibaca di http://istiqomah-ayumi.blogspot.com. Segala hal mengenai penyair bisa ditanyakan langsung melalui istiqomah_ayumi@ymail.com atau 081377579995 bisa juga dihubungi via facebook Shitie Fatimah Maniezz
Endosment
Tangan-tangan lembut dengan jari-jari perkasa telah menorehkan bait-bait penuh makna akan fenomena negeri Indonesia, terasa sekali semangat dan kepedulian yang mereka tuang dalam Antologi Puisi Indonesia Di Mata Penyair. Sebuah karya yang penuh inspirasi dan makna sosial.
Elaine Firdausza. Penulis dan Pecinta Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar