Puisi adalah salah satu alternatif penyair dalam menggambar hati, menerjemah misteri, menakar kemampuan diri.
(Moh. Ghufron Cholid)
Saya berpapasan dengan puisi penyair Tangerang di sebuah beranda FB, Novy menamai anak imaginya Wajah Luka. Saya terus berusaha mengintimi puisi yang hanya terdiri dari tiga bait yang dilahirkan pada hari Jum'at, 16 Mei 2014.
Wajah Luka, saya memandang lekat dan mencoba membaca secara berulang-ulang guna memanggil ruh yang bersemayam dalam puisi ini.
Wajah Luka, saya membacanya lebih lantang dari sebelumnya seraya mencoba merasakan, adakah kelebat yang akan bertamu menuju minda, saya menemukan wajah penuh luka.
Ada kengerian mengintimi minda perihal wajah luka, wajah yang selalu meminta jiwa untuk tabah dalam memandang rupa wajah luka.
Siapa berdiri di atas luka? Novy membuka bait pertama dengan kalimat tanya? Saya seakan menatap berpasang mata saling pandang sesekali merunduk.
Siapa berdiri di atas luka? Semakin terasa raung rasa penasaran penyair untuk memastikan sosok yang berani berdiri di atas luka.
Siapa berdiri di atas luka?/tubuh tercabik penuh memar/detak kalbu mengukir dusta/saat gigil ciuman di lantai// novy terus memburu saya dengan rasa penasaran sementara saya bersikap seolah-olah penonton, saya seakan ingin memberi kesempatan masing-masing diri yang memiliki wajah luka untuk menjawab.
Ada rasa ngeri dan nyeri menyergap saya, Novy Noorhayati Syahfida seakan mempertegas bahwa penyair begitu ingin mengetahui adakah yang mampu berdiri di atas luka. Penyair terus saja mempertanyakan sosok yang bisa berdiri di atas luka, sementara angin membuat rasa penasaran semakin parau, semakin terasing dan tak membiarkan telinga waktu untuk mendengar, tak memperbolehkan dedaun berbisik sekedar mengobati rasa penasaran penyair.
Merasa diabaikan, penyair pun mencoba jalan yang lain untuk mengobati rasa penasaran, ia pun berucap di bait keduanya, siapa berdiri?/linang air mata kerap menyapa/saat menakar kesetiaan cinta/senja meleleh di bibir ranumnya//saya membiarkan Novy menuntaskan pandangan dan kembali mempersilahkan sosok-sosok yang berkerumun menjawab, namun sia-sia.
Informasi yang saya terima semakin bertambah, kesimpulan pertama paling tidak belum ditemukan yang mampu berdiri di atas luka, kesimpulan kedua wajah luka bisa dikenali dari air mata yang kerap menyapa, saat menakar kesetiaan cinta dan senja yang meleleh tanpa pesona, yang hanya menggambar ketakberdayaan yang menimpa.
Lalu saya biarkan melanjutkan rasa yang meraung di hatinya, siapa berdiri di atas luka?/akukah?/ternyata penyair masih dikepung rasa penasaran hingga bait terakhir puisi belum mampu memastikan yang mampu berdiri di atas luka. Berikut saya posting utuh puisi penyair Tangerang, Novy Noorhayati Syahfida berjudul,
WAJAH LUKA
siapa berdiri di atas luka?
tubuh tercabik penuh memar
detak kalbu mengukir dusta
saat gigil ciuman di lantai kamar
siapa berdiri di atas luka?
linang air mata kerap menyapa
saat menakar kesetiaan cinta
senja meleleh di bibir ranumnya
siapa berdiri di atas luka?
akukah?
Kedoya, 16.05.2014
secara garis besar ide yang diusung penyair adalah puisi yang berdialog dengan nuraninya perihal wajah luka.
Oleh tindakan yang diambil inilah sampai bait terakhir puisi ini ditulis belum ada jawaban yang mampu mengobati rasa penasaran.
Namun ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari puisi yang berdialog dengan nurani, Novy seakan membiarkan dirinya diliputi keraguan, mengakui dirinya sebagai manusia yang tidak memiliki hak veto sebagai manusia paling mampu.
Saya seakan menemukan padi yang merunduk dalam diri penyair yang dituang dalam puisi, yang dihadirkan dalam tiga bait.
Ada aroma sufistik yang begitu kental mendiami bait terakhir puisi Wajah Luka yang telah ditulis penyair.
/siapa yang berdiri di atas luka?/akukah// mengajukan pertanyaan pada nurani tentang potensi yang dimiliki adalah wajar, meragukan kemampuan diri paling tidak adalah bentuk kehati-hatian seperti yang dialami kaum arif, yakni tak pernah menepuk dada dengan keberhasilan yang dicapai karena selalu merasa diawasi meski dalam keadaan yang paling aman.
/siapakah yang berdiri di atas luka?/akukah?//hanya yang berjiwa padi yang tak berani mengungkap lebih mengetahui di banding Tuhan. Paling tidak lewat puisi pendek ini kita belajar berjiwa padi.
Madura, 16 Mei 2014
(Moh. Ghufron Cholid)
Saya berpapasan dengan puisi penyair Tangerang di sebuah beranda FB, Novy menamai anak imaginya Wajah Luka. Saya terus berusaha mengintimi puisi yang hanya terdiri dari tiga bait yang dilahirkan pada hari Jum'at, 16 Mei 2014.
Wajah Luka, saya memandang lekat dan mencoba membaca secara berulang-ulang guna memanggil ruh yang bersemayam dalam puisi ini.
Wajah Luka, saya membacanya lebih lantang dari sebelumnya seraya mencoba merasakan, adakah kelebat yang akan bertamu menuju minda, saya menemukan wajah penuh luka.
Ada kengerian mengintimi minda perihal wajah luka, wajah yang selalu meminta jiwa untuk tabah dalam memandang rupa wajah luka.
Siapa berdiri di atas luka? Novy membuka bait pertama dengan kalimat tanya? Saya seakan menatap berpasang mata saling pandang sesekali merunduk.
Siapa berdiri di atas luka? Semakin terasa raung rasa penasaran penyair untuk memastikan sosok yang berani berdiri di atas luka.
Siapa berdiri di atas luka?/tubuh tercabik penuh memar/detak kalbu mengukir dusta/saat gigil ciuman di lantai// novy terus memburu saya dengan rasa penasaran sementara saya bersikap seolah-olah penonton, saya seakan ingin memberi kesempatan masing-masing diri yang memiliki wajah luka untuk menjawab.
Ada rasa ngeri dan nyeri menyergap saya, Novy Noorhayati Syahfida seakan mempertegas bahwa penyair begitu ingin mengetahui adakah yang mampu berdiri di atas luka. Penyair terus saja mempertanyakan sosok yang bisa berdiri di atas luka, sementara angin membuat rasa penasaran semakin parau, semakin terasing dan tak membiarkan telinga waktu untuk mendengar, tak memperbolehkan dedaun berbisik sekedar mengobati rasa penasaran penyair.
Merasa diabaikan, penyair pun mencoba jalan yang lain untuk mengobati rasa penasaran, ia pun berucap di bait keduanya, siapa berdiri?/linang air mata kerap menyapa/saat menakar kesetiaan cinta/senja meleleh di bibir ranumnya//saya membiarkan Novy menuntaskan pandangan dan kembali mempersilahkan sosok-sosok yang berkerumun menjawab, namun sia-sia.
Informasi yang saya terima semakin bertambah, kesimpulan pertama paling tidak belum ditemukan yang mampu berdiri di atas luka, kesimpulan kedua wajah luka bisa dikenali dari air mata yang kerap menyapa, saat menakar kesetiaan cinta dan senja yang meleleh tanpa pesona, yang hanya menggambar ketakberdayaan yang menimpa.
Lalu saya biarkan melanjutkan rasa yang meraung di hatinya, siapa berdiri di atas luka?/akukah?/ternyata penyair masih dikepung rasa penasaran hingga bait terakhir puisi belum mampu memastikan yang mampu berdiri di atas luka. Berikut saya posting utuh puisi penyair Tangerang, Novy Noorhayati Syahfida berjudul,
WAJAH LUKA
siapa berdiri di atas luka?
tubuh tercabik penuh memar
detak kalbu mengukir dusta
saat gigil ciuman di lantai kamar
siapa berdiri di atas luka?
linang air mata kerap menyapa
saat menakar kesetiaan cinta
senja meleleh di bibir ranumnya
siapa berdiri di atas luka?
akukah?
Kedoya, 16.05.2014
secara garis besar ide yang diusung penyair adalah puisi yang berdialog dengan nuraninya perihal wajah luka.
Oleh tindakan yang diambil inilah sampai bait terakhir puisi ini ditulis belum ada jawaban yang mampu mengobati rasa penasaran.
Namun ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari puisi yang berdialog dengan nurani, Novy seakan membiarkan dirinya diliputi keraguan, mengakui dirinya sebagai manusia yang tidak memiliki hak veto sebagai manusia paling mampu.
Saya seakan menemukan padi yang merunduk dalam diri penyair yang dituang dalam puisi, yang dihadirkan dalam tiga bait.
Ada aroma sufistik yang begitu kental mendiami bait terakhir puisi Wajah Luka yang telah ditulis penyair.
/siapa yang berdiri di atas luka?/akukah// mengajukan pertanyaan pada nurani tentang potensi yang dimiliki adalah wajar, meragukan kemampuan diri paling tidak adalah bentuk kehati-hatian seperti yang dialami kaum arif, yakni tak pernah menepuk dada dengan keberhasilan yang dicapai karena selalu merasa diawasi meski dalam keadaan yang paling aman.
/siapakah yang berdiri di atas luka?/akukah?//hanya yang berjiwa padi yang tak berani mengungkap lebih mengetahui di banding Tuhan. Paling tidak lewat puisi pendek ini kita belajar berjiwa padi.
Madura, 16 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar