Oleh Moh. Ghufron Cholid
KEMBALI PADA PUISI
saat kesedihan mendera
diterkam jarak dan perpisahan
sebaris abjad kenangan
larut, menjadi lautan doa
maka kembalilah pada puisi
tempat rindu dan luka berkaca
tempat cinta dan airmata bermuara
di sini, di sisi hati
Novy Noorhayati Syahfida, Tangerang, 31 Januari 2013
Pada hakekatnya setelah seorang menulis puisi ia sudah bisa disebut penyair minimal untuk dirinya sendiri selebihnya waktu yang akan menyeleksinya. Apakah ia bertahan atau pun dilupakan setelah kematian menyalami jiwanya. Moh. Ghufron Cholid
Kembali pada puisi, kata Novy seakan ingin meyakinkan segenap hati bahwa ada yang penting dalam puisi. Saya terus saja mengulang yang pernah diucapkan Novy sekedar menghadarkan ingatan, barangkali ada hal penting yang terlupakan. Mengingat ajakan penyair untuk kembali pada puisi, tentu ajakan yang sangat penting untuk ditelusuri kemanfaatannya.
Saya teringat pertanyaan teman kepada saya, mengapa senang menulis puisi padahal puisi tidak menjadikan kita kaya? Barangkali pertanyaan ini berhubungan erat dengan puisi yang disampaikan Novy.
Pertanyaan seorang teman tentulah harus disikapi secara bijak, paling tidak sebagai pijakan untuk menjernihkan hati dalam menulis puisi. Ada benarnya seorang teman mempertanyakan kebiasaan saya dalam menulis puisi. Rasanya kurang afdal tidak dijawab, menulis puisi barangkali tidak membuat kaya penulisnya secara finansial namun kaya hati barangkali yang paling mungkin.
Puisi terus tumbuh dari generasi ke generasi dan cendrung berada dalam event-event istimewa untuk dibacakan pada khalayak ramai. Puisi juga bisa menumbuhkan ruhul jihad seperti halnya perang sabi di Aceh. Puisi juga bisa menjadi media membeningkan hati seperti halnya berzanji yang memuat banyak kisah-kisah nabi yang berhati purnama.
Kembali pada puisi, kata Novy seakan ingin mengingatkan hati akan pentingnya puisi. Saya abaikan ajakan Novy dan memposisikan diri sebagai seorang yang tak menyukai puisi, yang merasa jenuh ketika mendengar orang berbicara puisi.
Saya ingin merasakan menjadi seseorang yang sangat tidak menyukai puisi, sekedar ingin mengetahui adakah dampak pada diri saya yang sangat tampak bila saya meninggalkan puisi. Namun betapa piciknya saya jika saya mengabaikan sepenuh hati ajakan Novy untuk kembali pada puisi sementara saya belum membaca sama sekali yang terkandung dalam puisi yang disampaikan Novy.
Saya pun segera melangkah mendekati puisi dan mulai membuka bait pertama yang dituturkan penyair,
saat kesedihan mendera
diterkam jarak dan perpisahan
sebaris abjad kenangan
larut, menjadi lautan doa
Saya baca berulang ulang bait pertama yang masih bersifat pandangan umum yang saya kira belum utuh menyentuh sisi sensitif saya pada puisi. Saya hanya menemukan hidup sebatas tiupan angin tak ada yang istimewa. Penyair hanya mengabarkan hal yang umum yang biasa dirasakan manusia. Kesedihan mendera, diterkam jarak dan perpisahan adalah kejadian yang lumrah tak ada daya kejut yang mampu menggetarkan hati saya, yang mampu menyihir saya untuk kembali pada puisi, mengikuti anjuran penyair.
Di bait pertama, saya hanya menemukan hidup mengalir, larik tiga dan empat mulai membuat saya mengerutkan dahi dan menatap lebih serius untuk semakin mengenali puisi. Penyair berucap, sebaris abjad kenangan/larut, menjadi lautan doa. Saya meyakini telah ada pergolakan jiwa terjadi yang merupakan efek yang dilahirkan puisi.
Ada lompatan ide yang dihadiahkan penyair dari pergolakan batin yang terjadi, hidup yang mengalir tenang tiba-tiba penuh goncang. Ada yang coba dihiperboliskan dari sebaris abjad kenangan bisa larut menjadi lautan doa. Tak tanggung-tanggung penyair menata pergolakan hidup.
Penyair seakan ingin mengukuhkan pandangan bahwa kenangan, sebuah masa yang pernah kita lewati namun menyisakan ingatan mampu membuat lautan doa dalam pandangan pelaku kenangan.
Sangat hebatkah kenangan itu sehingga lautan doa yang dihadirkan? Saya pun tak henti diburu pertanyaan, lama saya merenung untuk mendapatkan jawaban. Saya pun memaklumi kenangan buruk, memang sarat pergolakan batin, sarat dengan kekhusyu'an dalam berdoa bagi pelaku kenangan. Barangkali yang dimaksud lautan doa adalah suatu masa yang mampu membuat pelaku kenangan semakin dekat dengan Tuhan agar sedih tak terlalu mendera.
Belum cukup saya dikepung renung, penyair segera datang, kembali meyakinkan saya bahwa kembali pada puisi sangatlah penting. Penyair berucap di bait kedua, maka kembalilah pada puisi/tempat rindu dan luka berkaca/tempat cinta dan airmata bermuara/di sini, di sisi hati//
Jadi sangat berasalan mengapa penyair meminta pembaca untuk kembali pada puisi sebab puisi bisa menjadi cermin hidup menuju ke arah lebih baik. Lewat puisi pula kita banyak mengingat segala kenangan baik bahagia maupun duka. Tidak berlebihan, jika saya menilai puisi ini sebagai upaya membeningkan hati yang buram dan kampanye untuk mencintai puisi dengan tawaran sisi kemanfaatan buat hidup lebih baik.
Madura, 16 Juli 2014
* Pendiri Dengan Puisi Kutebar Cinta, menetap di Junglorong Sampang Madura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar