(Esai Apresiatif Atas Puisi Melihat Pohon Karya Djazlam Zainal, Penyair dan Kritikus Malaysia)
Oleh Moh. Ghufron Cholid*
MELIHAT POHON
begitu ditimpas angin
ia kembali pada kejatian diri
ia tidak terus membengkok
apalagi tunduk membongkok
ketika hujan menderu
tumbuh gigil merayu
ia tetap pohon azali
kesetiaannya pada identiti
melihat pohon
melihat ke dalam tubuhku
sendiri
Djazlam Zainal, 5 ramadan 1435/ 3 julai 2014
begitu ditimpas angin
ia kembali pada kejatian diri
ia tidak terus membengkok
apalagi tunduk membongkok
ketika hujan menderu
tumbuh gigil merayu
ia tetap pohon azali
kesetiaannya pada identiti
melihat pohon
melihat ke dalam tubuhku
sendiri
Djazlam Zainal, 5 ramadan 1435/ 3 julai 2014
Alam adalah guru, darinya kita
belajar sketsa hidup dari luar untu menempa diri yang bermukim di dalam yakni
nurani. Moh. Ghufron Cholid
Secara sepintas Djazlam selaku
creator tak memberi debar pada saya untuk menekuni membaca puisinya sebab
judulnya terkesan datar dan alamiah, saya pun bisa memaklumi mengingat kebebasan
creator dalam berkarya.
Rasanya saya pun tak adil jika
langsung membuat hipotesa tanpa mau berbetah menekuni puisi Djazlam hingga
tuntas. Melihat Pohon, kata Djazlam seolah berbisik, saya mengabaikan bisikan
sekedar mengumpulkan debar, Djazlam mengulang pandangannya dengan nada yang
semakin lantang, saya pun mulai serius menatap anak nurani Djazlam bernama
Melihat Pohon.
Saya hanya menatap dan terus menatap, mencoba mencari jawaban atas puisi yang telah tersaji, mengapa puisi ini diberi judul yang terkesan biasa-biasa saja, gamblang seakan tak mau muluk-muluk dalam menyampaikan dunia ide creatornya.
Saya hanya menatap dan terus menatap, mencoba mencari jawaban atas puisi yang telah tersaji, mengapa puisi ini diberi judul yang terkesan biasa-biasa saja, gamblang seakan tak mau muluk-muluk dalam menyampaikan dunia ide creatornya.
Djazlam mulai membuat daya kejut, mari kita simak penuturan creator di bait pertama, begitu ditimpas angin/ia kembali pada kejatian diri/ia tidak terus membengkok/ apalagi tunduk membongkok
Djazlam hendak berbagi pengalaman mengenai laku hidup pohon ketika ditempas angin (diterpa segenap permasalan hidup). Pohon akan tetap memiliki jati diri yang tak goyah. Djazlam menginginkan dirinya atau bahkan pembaca puisi melihat pohon bahwa dalam hidup harus memiliki prinsip, agar tidak selalu mengikut hembusan angin tampa tujuan.
Angin bisa kita misalkan ujian, pohon bisa kita umpamakan prinsip, ujian menerpa (tempas angin) bukan alasan untuk senantiasa membuat diri rapuh, mudah goyah dan mengeluh.
Menaklukkan permasalahan hidup dengan segenap kemampuan yang ada atau kembali pada kejatian diri seperti yang dianjurkan creator adalah langkah jitu untuk menjadi pribadi yang penuh wibawa.
Tidak terus membengkok, apalagi tunduk membongkok adalah dua jalan alternatif menuju kejatian diri. Saya pun berpindah pada bait kedua, ingin merasakan daya kejut yang lain, ketika hujan menderu/tumbuh gigil merayu/ia tetap pohon azali/kesetiaannya pada identiti
Bait kedua creator hendak mencipta latar suasa yang alamiah dari sebuah laku kehidupan. Ujian yang selalu istiqomah merayu adalah guru dalam melatih tabah, barangkali inilah terjemahan bebas yang hendak disampaikan creator di bait keduanya.
Saya menghentikan laju baca dan
kembali mendengar gema penuturan Djazlam, Melihat Pohon, saya pun berusaha
mengumpulkan segala kenangan tentang pohon, barangkali ada sesuatu yang
terlupa.
Pohon, saya terus mengulang kata
pohon dengan harapan ada yang mau merayu minda. Ingatan demi ingatan
berdatangan, mengisi ruang demi ruang kenangan.
Pohon itu memiliki daun, akar, batang, reranting darinya pelajaran hidup
begitu dekat. Dari pohon pulalah kebersamaan tampak begitu indah.
Menyaksikan dedaun pengertian, reranting kebersamaan semakin mempesona, akar kesetiaan semakin mengokohkan kehidupan. Saya mulai benar-benar melihat pohon memastikan ada tambahan ilmu yang akan berdatangan mengisi laman minda.
Saya saksikam dedaun dipermainkan
angin, seolah mengajarkan kerapuhan hidup tanpa adanya prinsip, saya seakan
menyaksikan orang menjalani hidup menurut prasangka demi prasangka orang lain,
seakan tak ada ketenangan, seakan selalu diburu ketakutan. Melangkah ke kanan
ke kiri, maju mundur selalu dibayangi perasaan takut disalahkan orang lain.
Saya semakin akrab melihat pohon,
lalu menunggu angin berhenti sekedar ingin menguji benarkah yang creator tulis
lahir dari pengamatan atau hanya sebatas imaji.
Pohon tetap menjadi pohon setelah angin usai, jadi mengikut arah angin
adalah suatu hal yang lumrah, alamiah, namun terus bertahan dalam rapuh adalah
suatu hal yang salah sebab pohon kembali pada identitasnya. Kembali tenang. Tak
goyah.
Diamnya pohon seperti semula, selepas angin menyapa menjadi penanda pada hakekatnya manusia akan mengalami kerapuhan hidup ketika disapa bencana namun yang perlu digaris bawahi adalah berlarut-larut dalam kesedihan.
Maka setelah cukup puas melihat
tingkah laku pohon yang menyerupai laku manusia, saya pun kembali melanjutkan
bait pamungkas, yang merupakan inti dari permasalahan hidup, yang dikabarkan
creator lewat puisi berjudul MELIHAT POHON.
Di bait terakhir creator menulis
begini, melihat pohon/melihat ke dalam
tubuhku/sendiri
Jadi bisa disimpulkan dalam
pandangan creator, pohon itu serupa cermin, apa yang tampak dari kejadian yang
bisa kita peroleh dengan melihat pohon, sejatinya kita belajar mengenali segala
kejadian yang berada di dalam diri.
Madura, 3 Juli 2014
*Pendiri Group Dengan Puisi Kutebar Cinta di FB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar