SELAMAT DATANG TO MY
Rumah karya moh. ghufron cholid, anda bisa bertamasya sambil membaca semua karya dan bisa mengomentarinya dengan penuh perenungan dan berdasar selera masing-masing. Jangan lupa ngisi data kehadiran.Ok!

Minggu, 25 Mei 2014

MENGINTIMI PUISI, MENGINTIMI DIRI

Sabtu yang begitu terik, saya berhadapan dengan puisi Menjadi Tua karya Faruk Tripoli di sebuah beranda facebook. Saya tertegun membaca judul puisi, saya membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi saat menjadi tua.

Adalah peristiwa yang tak bisa dihindari bahwa tiap diri akan mengalami masa menjadi tua, walau pada hakikatnya umur yang dimiliki manusia tidaklah sama. Berbicara 'Menjadi Tua' paling tidak ada dua sebab yang menjadikan seseorang menjadi tua yakni disebabkan usia yang memang beranjak tua, atau memang dipaksa menjadi tua oleh keadaan.

'Menjadi Tua' disebabkan usia adalah peristiwa sunnatullah, takkan pernah lepas dari kehidupan, umumnya tiap manusia akan mendapatkan kesempatan ini, jika ajal belum menjemput. Menjadi tua disebabkan usia tentu akan mengalami perubahan baik fisik maupun mental, perubahan fisik bisa dilihat pada kerut wajah, pada stamina yang semakin menurun, kecantikan dan ketampanan tak lagi bisa menjadi modal untuk menepuk dada. Penglihatan yang dimiliki pun mulai rabun, ingatan mulai berkurang. Perubahan mental lebih banyak bersingguhan dengan kecemasan.

Rasa takut semakin bertambah, tingkah laku mulai mendapat perhatian lebih dan lebih banyak mengingat mati dan akhirat. Menjadi tua karena keadaan (tua yang dipaksakan), biasanya yang berada di masa ini adalah seseorang yang mau tidak mau meninggalkan masa terindah di usianya dan lebih fokus untuk membahagiakan orang lain, atau bisa dikatakan orang yang menjadi tulang punggung keluarganya bukan pada waktunya, atau di luar kebiasaan. Pergolakan batin yang dialami biasanya lebih bersifat keduniaan berkisar membahagiakan orang yang sangat dicintai. Bisa pula dikatakan Menjadi Tua sebelum waktunya adalah keadaan untuk mendewasakan hati dan pikiran dalam menghadapi segenap situasi.

MENGGALI DIRI

Berhadapan dengan puisi Faruk Tripoli seakan belajar terus menggali diri, mengintimi hidup yang sudah, sedang bahkan yang akan dialami. Membaca puisi menjadi tua, paling tidak memberi gambaran tentang hidup yang penuh warna, memaknai perbedaan sebagai karunia yang layak disyukuri dan dijalani sebagai rahmat bagi sesama. Menjadi tua seakan mengajak diri menuju ke arah lebih dewasa, tidak cengeng dalam menghadapi hidup.

Menjadi tua semacam penanda bahwa hidup tak pernah statis, hidup selalu dinamis dari waktu ke waktu. Menjadi tua seakan menjadi cermin yang memantulkan segenap rupa gerak kehidupan, baik yang kita amini atau kita ingkari. Pengalaman adalah guru yang terbaik, maka menyia-nyiakan pengalaman sama halnya menyia-nyiakan kesempatan hidup ke arah yang lebih baik.

Membaca puisi menjadi tua selaksa menggali diri hingga menemukan kilau mutiara, menemukan intisari dari kehidupan. Semakin mengenal diri maka akan semakin mengenal Tuhan, karena dengan mengetahui kelemahan dan kekuatan yang ada dalam diri juga mempengaruhi seberapa besar rasa syukur dan ketaatan kita.

Barangkali penyair telah menyadari gejala alam tentang pergantian waktu yang selalu menyimpan misteri keagungan Ilahi. Barangkali pula inilah jalan yang bisa ditempuh penyair untuk berbagi degup pada pembaca, degup yang berpotensial untuk bisa diatur kelak di saat yang tepat.

Coba dan perhatikan niscaya kau tahu, demikian pepatah bergaung hingga kamar sukma. Paling tidak pikiran dan hati kita telah dapat asupan gizi dalam mengantisipasi laju waktu di hari tua. Orang yang hidup penuh gelombang sudah terbiasa menaklukkan bimbang, biasanya tampak tenang walau dalam keadaan paling getir. Berikut saya posting utuh karya Faruk Tripoli agar kita sebagai pembaca dapat menikmati secara utuh pemikirannya.

MENJADI TUA

menjadi tua
bukan karena terlalu lama
menjadi penghuni dunia
tapi karena rasa bahwa kita
tak lagi berdaya
dan membayangkan masa depan
hanya setapak dari kegelapan
sedang di belakang
tinggal comberan

mungkin juga
karena masa muda
adalah perangkap alam maya
yang mengurung dalam cita
akan dunia yang tak pernah ada
seperti bom yang dipasang di jantung kita
yang berdetak memicu kehendak
hingga sampai pada waktunya
ia meledak persis ketika kita sadar
akan adanya. persis pada
detik terakhir
dan kemudian gelap

atau, waktu sebenarnya tak pernah ada
ruang adalah dimensi tanpa gerak
dan di sanalah kita makan dan berak
mencinta dan membenci,
kecewa dan penuh harap
lahir dan mati. layu dan
tumbuh kembali

menjadi tua
bukan karena terlalu lama
menjadi penghuni dunia
tapi karena kita mulai bisa menerima
apa adanya

Jika kita memperhatikan dan membaca berulang bait pertama maka yang dimaksud menjadi tua, bukan orang yang dituakan usia bukan pula orang yang dituakan keadaan, atau dipaksa tua (dewasa) oleh situasi maupun lingkungan melainkan yang menjalani hidup dalam serba ketakberdayaan.

Mungkin juga adalah masa muda yang telah menjadi perangkap, yang mengurung segenap cita, yang melinglungkan hidup, yang baru kita sadari saat segala menjadi sirna, seperti yang dipaparkan penyair pada bait keduanya.

Barangkali 'Menjadi Tua' hanyalah ilusi belaka dalam hidup mengingat waktu adalah dimensi tanpa gerak, tempat kita menjalani rutinitas kehidupan seperti makan, berak, mencinta, membenci, kecewa, berharap, hidup, mati, layu dan tumbuh lagi, sepi yang diisyaratkan penyair dalam bait ketiga yang ditulisnya.

Yang menarik adalah bait keempat yang menjadi semacam pamungkas, pemikiran penyair tentang 'Menjadi Tua' jika pada bait 1-3, penyair hanya menggambarkan segala kemungkinan 'Menjadi Tua' dengan pemaparan yang tak mengisyaratkan ketegasan pandangan, maka di bait keempatlah sosok penyair Faruk Tripoli menentukan letaknya di mana ia harus tegak berdiri perihal pandangan 'Menjadi Tua' ada baiknya saya hadirkan pandangan penyair perihal 'Menjadi Tua' yang ditulisnya dalam bait keempat. Penyair Faruk menulis begini, menjadi tua/bukan karena terlalu lama/menjadi penghuni dunia/tapi karena kita mulai bisa menerima/apa adanya//

Jadi jelaslah yang membuat kita menjadi tua adalah kita mulai bisa menerima apa adanya, tentang segala hal yang menjadi karunia kita, tentang segala hal yang mengajarkan ketabahan pada kita.

Paling tidak membaca puisi 'Menjadi Tua' karya Faruk Tripoli serupa menggali diri untuk menjadi pribadi yang lebih dewasa menghadapi segala kemungkinan hidup, dan bisa menerima keadaan atau karunia apa adanya, bisa pula dikatakan hidup qonaah.

Madura, 10 Mei 2014

MENGGAMBAR DUNIA PEREMPUAN DAN PERGOLAKAN BATINNYA

Membaca puisi PREMPUAN KEDUA karya Novy Noorhayati Syahfida penyair Tangerang memberikan saya kembara yang penuh pergolakan batin.

Perempuan yang penyair mencoba menggambar dunia kaumnya dengan memposisikan diri menjadi perempuan kedua dalam bercinta.

Sebuah ide yang sangat kental dengan wilayah sensitif dan tak banyak diekspos namun Novy tak ingin pandangan ini dirasakan sendiri, Novy seakan tak mau nasib perempuan kedua menjadi buah bibir tanpa pernah diketahui keperihan yang dialami.

Perempuan yang selalu menjadi yang pertama dalam bercinta, pernahkah membayangkan menjadi perempuan kedua?

Perempuan yang selalu menguasai cinta seutuhnya dari suaminya, yang tak rela ada tempat perempuan lain di bilik hati, pernahkah memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi untuk sedikit berbagi bahagia, semisal memberikan ruang pada istri kedua untuk mendapatkan porsi yang sama dalam berbakti dan mengabdi pada suami yang sama, tentu sangat sulit, kalaupun ada bisa dihitung jari.

Dalam al-Qur'an perihal kehidupan berumah tangga laki-laki mendapat perlakuan istimewa yakni bisa beristri empat, itulah di masa Islam datang lain lagi masa sebelum Islam menikah berapapun boleh, tentu perlakuan ini secara kasat mata tidak adil bagi perempuan, namun agama Islam pun memperhatikan perasaan perempuan, maka jika tidak mampu berlaku adil cukuplah beristri satu, barangkali inilah yang lebih melegakan hati perempuan.

Dalam kitab bulughul maram pernah dikisahkan bahwa ada sahabat yang memiliki istri 10 ketika ada pengaduan pada nabi maka nabi menganjurkan cukup empat saja, pertimbangan demi pertimbangan diambil hingga akhirnya sahabat mentalak 6 orang istrinya dan hanya memilih istri yang lebih layak.

Islam sangat ketat dalam menjaga kehormatan perempuan agar tidak selalu menjadi kambing hitam atau kelinci percobaan dalam bercinta.

Islam begitu memuliakan perempuan dalam hal percintaan terlebih dalam hubungan yang sangat serius yakni menjalin hubungan untuk hidup dalam ikatan suami istri.

Mulai dari taarruf, tunangan sampai pernikahan diatur begitu ketat agar kaum perempuan tidak dirugikan.

Dalam masa taarruf (perkenalan), laki-laki hanya diperkenankan melihat wajah dan telapak tangan, jika ada hal-hal yang meragukan terkait dengan organ tubuh yang dimiliki pasangan maka pihak laki-laki harus mengutus mahramnya atau perempuan yang dapat dipercaya untuk melihat bagian-bagian yang paling rahasia sehingga keraguan tersebut bisa hilang dan hubungan tetap berlanjut.

Perempuan yang sudah dilamar tak boleh dilamar oleh laki-laki kedua tanpa persetujuan pihak pertama atau tanpa ada kabah bahwa perempuan tersebut tidak lagi berstatus tunangan.

Lain lagi jika hendak ingin menikah maka yang harus ditempuh pihak laki-laki jika hendak menikahi perempuan perawan maka harus atas persetujuan orang tua dan perawan yang bersangkutan namun jika janda maka harus persetujuan janda tersebut, meski tanpa persetujuan orang tua pihak perempuan pernikahan masih bisa dilaksanakan.

Mengingat pernikahan adalah hal yang sangat sakral dalam bercinta maka muruah pernikahan sangat dijaga ketat oleh ajaran agama Islam.

Kalau mau menikah haruslah dengan yang sekufuk (setara) hal ini untuk menghindari segala kemungkinan yang tak dikehendaki.

Untuk menjadikan pernikahan bermartabat maka dikabarkan kepada pemeluk agama Islam bahwa talak itu halal namun paling dibenci Allah.

Pemahaman seperti ini perlu diberitahukan agar tiap diri yang menjalani pernikahan tidak main-main. Baik laki-laki dan perempuan akan memiliki bahan pertimbangan untuk lebih memuruahkan pernikahan.

Talak dalam Islam hanya diperbolehkan sebanyak 3 kali, hal ini dimaksudkan agar pasangan suami istri dapat lebih bijak dalam menentukan masa depan keluarga.

Jika talak sudah mencapai 3 kali maka hubungan suami istri tak dapat dilanjutkan lagi meski setelah talak 3 kali ada keinginan rujuk kembali karena cinta kembali menggebu, tentu untuk rujuk atau merajut cinta tak semudah membalikkan telapak tangan.

Perempuan yang sudah ditalak 3 kali oleh suami tidak bisa dinikahi oleh mantan suaminya yang sudah mentalaknya kecuali perempuan tersebut harus menikah lagi dengan lelaki lain yang disebut mahallil(suami pengganti) sebagai bonus dari agama bagi perempuan bagaimana menjadi istri baru dari suami yang baru.

Kalau ada kecocokan dan mahallil mau melanjutkan hubungan hingga seumur hidup maka talak takkan terjadi dan menikah lagi dengan lelaki yang sudah mentalak 3 kali pun takkan terwujud. Namun jika mahallil mentalaknya maka perempuan tersebut bisa menikah lagi dengan lelaki yang pernah mentalaknya 3 kali.

PEREMPUAN KEDUA

kulepas kau tanpa air mata
tanpa kata berpisah
kubungkam kata-kata
agar sepi tak terlalu jauh singgah

kubunuh kerinduan demi kerinduan
sebab jarak adalah kutukan kematian
senantiasa menggoda
di saat kau-aku jauh dari mata

kuusap nyeri yang merasuk di dada
kutandai luka dan bahagia saat bersama
karena aku hanya perempuan kedua
yang tak pantas mengharap apa-apa

Tangerang,2014

WATAK DASAR MANUSIA DAN SKETSA KEHIDUPAN KEDUA

Berhadapan dengan puisi FARUK TRIPOLI berjudul
MAKA HIDUP PUN ABADI di malam yang hening, saya serupa diajak mengembara ke alam semesta tepatnya merenungi kembali gejala alam. Merenungi daun yang jatuh atau merenungi kibas sayap burung yang kemudian mendarat kembali.

Membaca bait pertama Faruk Tripoli saya seakan mendapat isyarat dalam daun yang jatuh atau dalam kibas burung yang mendarat kembali, perihal kehidupan yang tak abadi.

Latar suasana yang terdapat dalam puisi Faruk menuntun saya merenungi muasal kehidupan. Saya pun teringat penolakan iblis yang tak mau mengakui manusia sebagai pemimpin di bumi dikarenakan iblis merasa lebih sempurna dari manusia, iblis yang tercipta dari api tak mau tunduk pada manusia yang tercipta dari tanah, berikut latar suasana yang dibangun Faruk Tripoli.

apa artinya daun jatuh
atau sekedar kibas sayap burung
lalu mendarat kembali
dalam hening
dalam dingin
tanah lembab
lalu mengendap
begitu perlahan

Jadi tanah adalah muasal kehidupan manusia, benarkah manusia tercipta dari tanah? Mempertanyakan sesuatu yang tak rasional adalah watak dasar manusia, oleh sebab itu dalam surat al-baqoroh kita sangat dianjurkan mengimani yang ghaib itu ada, yang tak rasional itu benar adanya, paling tidak ketika kita menggosok kulit berkali-kali lalu menciumnya maka aroma tanah begitu akrab, ini bukti bahwa tanah tak terpisahkan dari diri kita sebab tanah punya hubungan erat dengan kita jadi benarlah muasal manusia tercipta dari tanah.
Lalu penyair mulai mengurai tentang keadaan kita yang selalu berada dalam perangkap senyap. Akhir cerita dari hidup berujung pada kematian dan kematian identik dengan kesenyapan, seperti yang dikabarkan penyair di bait keduanya.

seperti akhir cerita
selalu memerangkap kita
dalam senyap
membuat sesaat terlelap
sebelum kicauan burung hinggap di daun telinga
lalu merayap
dengan rangkaian gerbong dan getaran suara
apa saya

Rupanya Faruk tak hendak berlama-lama dalam senyap, bait ketiga ia sajikan untuk menggambarkan hidup di masa muda, hidup yang penuh semangat, penuh rasa penasaran, gambaran bait ketiga barangkali bisa lebih bermanfaat bagi yang hidup, seumpama talqin yang dibacakan di sekitar kuburan dan didengarkan telinga-telinga yang berada di sekitar makam untuk mendapatkan pelajaran kehidupan yang lebih baik.

lalu cahaya
mengasah pucuk pohon
dan kita pun berloncatan
ke tengah cerita
masa-masa muda yang bergelora
untuk berselancar
di atasnya

Barangkali pula bait ketiga mengisahkan keadaan yang dialami mayat di dalam kubur, mendapat cahaya bagi yang melakukan kebaikan semasa hidup, mendapat keriangan seperti saat masih muda, segala praduga ini bisa saja mengandung kebenaran.

Bukankah cahaya, atau tempat yang lapang juga merupakan hadiah atas amal baik bagi manusia yang telah wafat. Bukankah alam kubur adalah miniatur bahagia atau duka yang akan didapat oleh manusia yang telah meninggal bergantung amal perbuatan.

Lalu bait keempat penyair Faruk Tripoli mencoba menguak watak dasar manusia yang pelupa, yang buta (nurani yang tertutup lantaran belum dapat hidayah), mati rasa (melukiskan keadaan mayat) yang tak lagi merasakan perjuangan untuk meraih segala yang diinginkan.

dan lupa
dan buta
dan mati rasa
begitu tak menyangka
dari bawah kubur daun-daun itu
dari dingin tanah basah yang senyap
sebuah tunas yang menggeliat
merangkai jalan cerita
agar berderap ke akhir
yang sama

Kematian adalah penanda bahwa hidup telah berakhir, bahwa perjuangan telah berakhir bahwa yang bisa menolong hanyalah amal perbuatan yang baik meliputi sedekah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan orang tua.

Gambaran cerita akhir yang sama yang coba dikuak oleh Faruk Tripoli, betapa bait keempat tiap manusia memiliki akhir cerita yang sama dalam kubur yakni menunggu keajaiban yang lahir dari 3 perkara yang tak terputus amalnya. Dengan kata lain akhir yang sama merupakan gambaran bahwa kubur tempat penantian sebelum kita mendapatkan hadiah surga atau neraka atas amal yang kita lakukan semasa hidup.


karena kematian
sekedar jembatan yang sama
bagi abadi hidup selanjutnya
dan kebangkitan tak akan pernah lama
terjadi di tahun ketiga
setelah tahlil berakhir
setelah semua orang lupa
dan kembali bahagia

Adalah hal yang tak bisa disangkal bahwa kematian adalah jembatan fana bagi kehidupan selanjutnya, hidup yang diperoleh selepas kematian yakni kebangkitan.

Selepas mati manusia akan dihidupkan kembali menuju kehidupan yang lebih abadi, kehidupan yang akan mendapat balasan yang layak atas perbuatan semasa hidup.

Maka saya mendapatkan jawaban yang kongkrit atas judul puisi MAKA HIDUP PUN ABADI dinisbatkan pada kebangkitan selepas kita mati. Hidup abadi di surga atau neraka itulah yang akan dialami tiap manusia.

Bait pamungkas Faruk tak hanya mengurai yang dialami manusia selepas mati, melainkan juga membahas kebiasan yang dilakukan manusia yang masih hidup menyikapi kenalan atau kerabat yang telah mati yakni melupakan kesedihan dan kembali bahagia.

Madura, 13 Mei 2014


                             foto faruk tripoli yang karyanya menjadi bahan pembahasan esai apresiatif

Sabtu, 24 Mei 2014

AROMA SUFISTIK DALAM PUISI WAJAH LUKA KARYA NOVY NOORHAYATI SYAHFIDA

Puisi adalah salah satu alternatif penyair dalam menggambar hati, menerjemah misteri, menakar kemampuan diri.
(Moh. Ghufron Cholid)

Saya berpapasan dengan puisi penyair Tangerang di sebuah beranda FB, Novy menamai anak imaginya Wajah Luka. Saya terus berusaha mengintimi puisi yang hanya terdiri dari tiga bait yang dilahirkan pada hari Jum'at, 16 Mei 2014.

Wajah Luka, saya memandang lekat dan mencoba membaca secara berulang-ulang guna memanggil ruh yang bersemayam dalam puisi ini.

Wajah Luka, saya membacanya lebih lantang dari sebelumnya seraya mencoba merasakan, adakah kelebat yang akan bertamu menuju minda, saya menemukan wajah penuh luka.

Ada kengerian mengintimi minda perihal wajah luka, wajah yang selalu meminta jiwa untuk tabah dalam memandang rupa wajah luka.

Siapa berdiri di atas luka? Novy membuka bait pertama dengan kalimat tanya? Saya seakan menatap berpasang mata saling pandang sesekali merunduk.

Siapa berdiri di atas luka? Semakin terasa raung rasa penasaran penyair untuk memastikan sosok yang berani berdiri di atas luka.

Siapa berdiri di atas luka?/tubuh tercabik penuh memar/detak kalbu mengukir dusta/saat gigil ciuman di lantai// novy terus memburu saya dengan rasa penasaran sementara saya bersikap seolah-olah penonton, saya seakan ingin memberi kesempatan masing-masing diri yang memiliki wajah luka untuk menjawab.

Ada rasa ngeri dan nyeri menyergap saya, Novy Noorhayati Syahfida seakan mempertegas bahwa penyair begitu ingin mengetahui adakah yang mampu berdiri di atas luka. Penyair terus saja mempertanyakan sosok yang bisa berdiri di atas luka, sementara angin membuat rasa penasaran semakin parau, semakin terasing dan tak membiarkan telinga waktu untuk mendengar, tak memperbolehkan dedaun berbisik sekedar mengobati rasa penasaran penyair.

Merasa diabaikan, penyair pun mencoba jalan yang lain untuk mengobati rasa penasaran, ia pun berucap di bait keduanya, siapa berdiri?/linang air mata kerap menyapa/saat menakar kesetiaan cinta/senja meleleh di bibir ranumnya//saya membiarkan Novy menuntaskan pandangan dan kembali mempersilahkan sosok-sosok yang berkerumun menjawab, namun sia-sia.

Informasi yang saya terima semakin bertambah, kesimpulan pertama paling tidak belum ditemukan yang mampu berdiri di atas luka, kesimpulan kedua wajah luka bisa dikenali dari air mata yang kerap menyapa, saat menakar kesetiaan cinta dan senja yang meleleh tanpa pesona, yang hanya menggambar ketakberdayaan yang menimpa.

Lalu saya biarkan melanjutkan rasa yang meraung di hatinya, siapa berdiri di atas luka?/akukah?/ternyata penyair masih dikepung rasa penasaran hingga bait terakhir puisi belum mampu memastikan yang mampu berdiri di atas luka. Berikut saya posting utuh puisi penyair Tangerang, Novy Noorhayati Syahfida berjudul,
WAJAH LUKA

siapa berdiri di atas luka?
tubuh tercabik penuh memar
detak kalbu mengukir dusta
saat gigil ciuman di lantai kamar

siapa berdiri di atas luka?
linang air mata kerap menyapa
saat menakar kesetiaan cinta
senja meleleh di bibir ranumnya

siapa berdiri di atas luka?
akukah?

Kedoya, 16.05.2014

secara garis besar ide yang diusung penyair adalah puisi yang berdialog dengan nuraninya perihal wajah luka.

Oleh tindakan yang diambil inilah sampai bait terakhir puisi ini ditulis belum ada jawaban yang mampu mengobati rasa penasaran.

Namun ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari puisi yang berdialog dengan nurani, Novy seakan membiarkan dirinya diliputi keraguan, mengakui dirinya sebagai manusia yang tidak memiliki hak veto sebagai manusia paling mampu.

Saya seakan menemukan padi yang merunduk dalam diri penyair yang dituang dalam puisi, yang dihadirkan dalam tiga bait.

Ada aroma sufistik yang begitu kental mendiami bait terakhir puisi Wajah Luka yang telah ditulis penyair.

/siapa yang berdiri di atas luka?/akukah// mengajukan pertanyaan pada nurani tentang potensi yang dimiliki adalah wajar, meragukan kemampuan diri paling tidak adalah bentuk kehati-hatian seperti yang dialami kaum arif, yakni tak pernah menepuk dada dengan keberhasilan yang dicapai karena selalu merasa diawasi meski dalam keadaan yang paling aman.

/siapakah yang berdiri di atas luka?/akukah?//hanya yang berjiwa padi yang tak berani mengungkap lebih mengetahui di banding Tuhan. Paling tidak lewat puisi pendek ini kita belajar berjiwa padi.

Madura, 16 Mei 2014

MENGGALI KEPEKAAN DIRI LEWAT PUISI

Membaca anak imagi yang dilahirkan oleh Novy Noorhayati Syahfida, Penyair Tangerang yang ia namai kenangan, di malam yang hening namun juga malam yang menegang oleh karena saya juga menyaksikan film Mahabarata yang ditayangkan di ANTV.

KENANGAN, seolah saya dibelai oleh bayang-bayang yang pernah berpapasan.

Kenangan adalah masa lalu yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan, serupa tubuh dan bayang selalu rekat dan jadi penanda.

Kenangan, saya kembali berkencan dengan judul puisi mencoba menghadirkan ingatan demi ingatan yang dulu pernah terlepas lantaran banyak hal-hal lain yang memalingkan pandangan.

Kenangan, judul ini seakan membawa saja menuju ruang yang penuh bayang, ruang yang menjadi cermin memantulkan masa yang pernah berlari dari ingatan.

Masa kecil yang begitu riang bermain petak umpet, slodor, lompat tinggi, main kelereng bersama teman sepermainan yang kini mulai ditinggalkan, lantaran lebih sibuk bercengkrama lewat media elektronik.

Keceriaan masa kecil yang mulai memudar, mulai ditinggalkan oleh anak kecil seusia saya dulu, ya anak kecil masa kini lebih akrab dengan media elektronik, barangkali inilah penanda didiklah anakmu sesuai jamannya.

Jaman memang selalu berganti rupa, barangkali keriangan ketika saya kecil tak sama dengan keriangan yang dirasakan anak sekarang dan peristiwa ini sudah menjadi sunnatullah, yang akan berlaku dari generasi ke generasi.

Kenangan demikian Novy menamai anak imaginasinya yang bisa jadi memang dialami sendiri oleh penyairnya atau dialami orang yang hidup di sekitar penyair atau bisa jadi sebatas hidup dalam pandangan penyair saja.

Kenangan, akankah peristiwa ini tercipta secara alamiah, bisa jadi namun tak ada yang kebetulan dalam hidup ini, semua sudah tertulis dilauhil mahfudz, oleh karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang maka manusia hanya butuh usaha dan doa. Kenangan memang tak bisa benar-benar lepas dari kehidupan. Oleh karena peristiwa telah terjadi maka disebut kenangan. Tak mungkin ada kenangan jika tak pernah mengalami. Tak mungkin ada asap jika tak ada api.

Kenangan memang akan selalu berusaha mengintimi hidup, baik kehadirannya diterima atau ditolak, kenangan akan selalu ada. Kadang meneguhkan kadang pula merapuhkan.

Membiasakan diri mengenang hal buruk cendrung merapuhkan keyakinan. Namun tak semua kenangan buruk tak mendatang manfaat. Adakalanya kenangan buruk bisa menjadi sumber kekuatan, teringat kenangan buruk ketika dihina orang lain akan membuat diri kita lebih tegar dan lebih kuat untuk menghapus pengalaman buruk dengan cara berbenah diri agar mampu menjadi jiwa yang bisa dibanggakan, cemoohan diganti dengan tepukan tangan.

Adakalanya kenangan baik semakin membuat kita semangat dan berusaha menjadi pribadi unggul dari masa ke masa. Namun terlalu larut dalam kenangan baik bisa juga menjadi penanda rapuhnya hati. Terlalu menikmati pujian membuat diri semakin congkak, sombong dan merasa lekas puas dengan prestasi yang telah diraih sehingga mematikan kreativitas dan membuat diri semakin malas belajar.

Lalu seperti apakah rupa kenangan yang hendak diperkenalkan penyair, ada baiknya kita membaca utuh puisi Novy Noorhayati Syahfida di bawah ini,
KENANGAN

di matamu yang badai
aku pernah terserat dalam labirin waktu
hitam, putih, abu-abu
meraba hati tak juga usai

di dadamu yang gemuruh
aku pernah rebah
menerka apa yang kau simpan
dalam hening dan kesunyian

selalu saja ada yang tak mampu aku pahami, bayangmu
juga langkahmu
kaukah kenangan itu?

Tangerang, 18.05.2014

Puisi ini tersaji dalam tiga bait, pada bait pertama penyair mengungkap latar suasana, bagaimana rupa kenangan itu hadir menyapa ingatan, di matamu yang badai/aku pernah tersesat dalam labirin waktu/hitam, putih, abu-abu/meraba hatimu tak juga usai// jadi ada banyak cara kenangan itu hadir. Kenangan bisa berupa hitam (pekat), putih (terang) dan abu-abu (samar), lalu kenangan itu meraba hati tak juga usai. Dengan kata lain kenangan menitip rasa bahagia juga duka, tawa juga airmata.

/di dadamu yang gemuruh/aku pernah rebah/menerka apa yang kau simpan/ dalam hening dan kesunyian// di bait kedua kenangan digambarkan sebagai peristiwa begitu mendebarkan hati. Melatih kepekaan diri dalam memahami hati yang lain. Hati yang bukan menetap dalam diri. Kenangan yang penuh debar asmara, kenangan yang begitu mengintimi kecemasan yang secara sadar diakui, mengencani hening dan kesunyian. Penyair hendak mengabarkan bahwa hening dan sunyi rentan dihuni oleh kenangan.

/selalu saja ada yang tak mampu kupahami, bayangmu/juga langkahmu/kaukah kenangan// dalam bait ini penyair sampai pada puncak cemas dan tak berdaya, penyair menyadari dirinya hanyalah manusia biasa, yang tak mampu memahami bayang juga langkah. Penyair pun mulai meragukan rasa yang berkelebat dengan mengatakan kaukah kenangan itu? Peristiwa yang saya anggap wajar, rasa yang selalu bertukar bisa dikenali sebagai kenangan. Dengan kata lain kenangan dan kenyataan sulit dibedakan kemampuan terbatas.